Kisruh di Lembaga Anti Rasuah


522

Pusaran puting beliung yang menerpa tubuh KPK mulai mencapai puncaknya. Perang wacana mulai dimainkan media guna membentuk opini publik. Publik pun terbelah, akibat adanya revisi UU yang menyasar lembaga anti rasuah tersebut. Ada yang pro, namun tidak sedikit yang kontra.

Ada apa sebenarnya? Begitu suara-suara yang saya tangkap beredar di luaran sana. Saya akan coba bahas lewat tulisan ini.

Kisruh di tubuh KPK, sebenarnya nggak berdiri lepas. Ada faktor besar yang menyebabkannya. Masalah ‘kue kekuasaan’, intinya dimana sang Ndoro besar (baca: genk Rothschild) sudah mencium gelagat bakal ditinggal oleh gerbong pemerintahan Jokowi yang sudah melirik China.

Kalo ditinggal, dapat apa? Yah hanya bisa gigit jari saja. Padahal Indonesia terkenal kaya hasil SDA-nya. Sadar posisi, maka diktum-pun dimainkan. “Kalo saya nggak dapat apa-apa, maka orang lain pun juga nggak boleh dapat apa-apa.” Dan ini hanya bisa terjadi bila kondisi Indonesia gaduh.

Dengan adanya kegaduhan dimana-mana, maka minimal pemerintah nggak bisa kerja optimal. Target akhirnya, pemerintah harus ditumbangkan lewat kekuatan massa dengan memainkan berbagi isu. Itu sudah ada sandi operasinya. Saya pernah ulas tentang hal ini.

Jangan heran, bila kemudian pion-pion di lapangan mulai digerakkan untuk satu tujuan, membentuk opini publik bahwa pemerintah nggak becus mengelola jalannya pemerintahan sehingga solusinya harus dimakzulkan.

Tak terkecuali yang terjadi dengan kisruh di KPK.

Masalah bermula ketika muncul ide untuk merevisi UU yang mengatur kewenangan KPK. Wajar direvisi, agar kelak KPK bisa bekerja lebih optimal. Memang KPK bekerja belum optimal? Nyatanya begitu.

“Banyak kasus yang ditangani KPK sifatnya recehan, bukan kasus-kasus kakap,” begitu ungkap seorang anggota DPR.

Berarti kan, ada yang salah di tubuh KPK. Minimal, kenapa misalnya kasus OTT mayoritas menyasar angka yang kecil-kecil jumlahnya, bukan justru kasus-kasus besar?

Maka diajukanlah revisi UU terhadap KPK. “Lagian, revisi UU KPK sudah masuk prolegnas,” demikian ujar narsum.

Tujuannya apa? Selain kinerja, tentu saja tidak menjadikan KPK sebagai lembaga super body yang nggak ada kontrolnya sama sekali. Untuk itu perlu dibentuk yang namanya Dewan Pengawas.

Apa fungsinya? Antara lain memberikan izin terhadap tindakan penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan. Selain itu menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK, yang mungkin saja terjadi berdasarkan laporan dari masyarakat luas.

Kurang lebih fungsinya sebagai internal affair. Dimanapun lembaga negara, bagian pengawasan pasti ada, agar mekanisme kontrol bisa diterapkan. Bayangkan bila KPK bergerak bebas tanpa ada pengontrolnya? Iya kalo dipimpin oleh orang yang ‘benar’, kalo malah sebaliknya?

Terus, siapa saja unsur Dewan Pengawas?

Anggota Dewan Pengawas KPK diangkat oleh presiden secara langsung melalui mekanisme seleksi ketat. Biar transparan dan akuntabel, tentunya. Jumlahnya 5 orang dengan masa jabatan 4 tahun. Syarat calon anggota DP, minimal berusia diatas 55 tahun dan nggak berafiliasi dengan parpol tertentu.

Jadi, teknisnya presiden setor nama-nama ke DPR dan DPR lah yang kemudian memilih kelima anggota DP tersebut. Dan satu yang pasti, DP tidak boleh mengganggu independensi kerja KPK, agar kerja KPK nggak direcokin.

Singkatnya, nggak ada yang aneh dalam draft revisi UU KPK tersebut.

Namun apa yang kemudian terjadi? Polemik langsung terjadi. Karena apa? Kepentingan Ndoro besar yang tidak terakomodasi tadi. Coba cek, siapa-siapa saja yang paling lantang meneriakkan penolakannya terhadap revisi UU tersebut.

Ada kubu LSM, mantan anggota KPK yang terdepak dari posisi mereka alias nggak dapat bagian, anggota DPR dan yang nggak kalah penting peran media mainstream yang digunakan dalam membentuk opini publik.

Memang kisruh ini juga ada kontribusi pemerintah dan DPR dalam menunjuk sosok yang cukup kontroversial sebagai ketua KPK. Irjen Firli Bahuri bukan merupakan sosok ideal karena dinilai banyak pihak telah melakukan pelanggaran etik berat usai menemui TGB Zainul Majdi saat KPK sedang menangani kasus Newmont yang menyasar TGB.

Tapi kan, Firli bukan calon tunggal, alias ada kandidat lain yang juga bersaing memperebutkan jabatan ketua KPK. Namun pilihan anggota DPR secara aklamasi memilih Firli sebagai ketua KPK. Singkatnya ada kolaborasi antara pemerintah dan DPR dalam menggolkan sosok kontroversial tersebut.

Giliran buzzer dan influencer yang pro-Jokowi ramai-ramai membela sosok Firli yang justru digadang-gadang akan membawa lokomotif perubahan pada tubuh KPK. “Sikat kubu Taliban di KPK, Ndan,” begitu kurang lebihnya dukungannya.

Jadi tambah meriah ‘pestanya’.

Dan ‘gerakan moral’ yang sengaja menggiring opini publik lewat media, tetap keukeuh bahwa pemerintahan Jokowi telah offside dalam menangani kisruh di tubuh KPK. Dan gerakan ini kalo boleh jujur memang sengaja diusung untuk memunculkan isu. Ujungnya gampang ditebak: “Turunkan Jokowi.”

Akankah kasus ini tambah panas? Itu sudah jelas apalagi RUU ini belum disahkan.

Namun satu yang pasti, bahwa Jokowi sedang dalam performa terbaiknya saat ini dalam mengkonsolidasikan kekuatan pendukungnya. Aliasnya, gerakan dengan kode ‘jatuhkan’ ini bakalan ejakulasi dini sebelum mencapai sasarannya.

Percayalah Rudolfo.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


error: Content is protected !!