Ketika Gabener Mulai Terpojok


522

Skandal lem Aibon yang sukses dibongkar oleh kader muda PSI – William Aditya Sarana – mulai membuahkan hasil. Kredibilitas gabener pujaan kaum kadal gurun tersebut mulai rontok di mata publik, minimal warga JKT 58 pendukungnya. “Ah, nyesel gue kemarin milih dia,” demikian umpat seseorang.

Dan bukannya ngucapin syukur karena upaya akal-akalan bisa dicegah, malah statement untuk merubah sistem e-budgeting hingga upaya pelaporan William ke Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta guna memecat yang bersangkutan dari status anggota DPRD.

“Karena William diduga telah melanggar kode etik dewan dan memberikan citra buruk pada kepala daerah.” Ampyun dahh…

Sadar akan usahanya menguak patgulipat anggaran yang dilakukan oleh gabener dan kroninya, William kini makin berani dengan mengajukan petisi melalui change.org.

Tujuannya jelas, agar sang gabener mengunggah anggaran Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 ke situs apbd.jakarta.go.id.

“Biar transparan. Kalau bersih kenapa harus rishi,” demikian ungkap seorang kader PSI yang lain.

Disisi yang lain, pegiat medsos sekaligus dosen UI – Ade Armando – mengunggah figur gebener DKI yang sudah di sotosop, menjadi karakter Joker pada akun facebook miliknya. “Gubernur jahat berawal dari menteri yang dipecat,” demikian bunyi caption-nya.

Tak pelak aksi Ade langsung mendatangkan reaksi. Adalah Fahira Idris yang kemudian melaporkan Ade ke pihak yang berwajib dengan alasan pencemaran nama baik.

Bukan itu saja, ada juga aksi penggalangan tanda tangan melalui change.org yang intinya meminta agar Ade dipecat sebagai dosen UI. Aksi ini dibesut oleh Nadine Olivia, seorang emak muda yang berupaya pansos. Yah, namanya juga usaha, bray. Sapa tahu bisa tenar kek Ade…

Dan terakhir adalah pembongkaran atap JPO yang terletak di jalan Sudirman oleh sang gebener. Alasannya sederhana, agar para penyebrang jalan bisa berswafoto melalui spot JPO tersebut. Aksi inipun mendapat sokongan dari influencer-setianya, Pandji Pragiwaksono.

“Bantu gue berpikir dong. JPO yg dicabut atapnya ini kan nyebrangin org dari trotoar ke trotoar. Persis zebra cross tapi di atas jalan. Fungsinya sama dgn trotoar. Gue & semua orang yang jalan kaki & naik transportasi umum, ga ngomel trotoar ga ada atap. Kenapa yang ini jadi masalah?” tukasnya.

Status konyol.

Pertama, kalo alasannya JPO mirip zebra cross, kenapa nggak selfie aja sekalian di zebra cross, terutama saat jalanan padat merayap? Brani lu, Ndji?

Kedua, fungsi JPO tidak hanya menyebrangkan orang, tapi terlebih menjadi konektor.

Jadi orang tetap bisa melakukan penyebrangan ditengah cuaca hujan dan panas sekalipun. Coba perhatikan JPO, kan pasti terkoneksi dengan gedung ataupun halte. Kelak hujan deras sekalipun, orang nggak terkendala dengan cuaca dan intinya tetap bisa nyebrang.

Dan ketiga, kalopun beralasan bahwa JPO di luar negeri saja nggak beratap, karena memang disana suhunya nggak se-ekstrim Jakarta. Jadi fungsinya lebih kepada estetika, bukan fungsional semata. Apalagi sebagai konektor kek di Jakarta.

Jadi kalo gabener dan cecunguknya hendak mencopot atap JPO dengan beribu alasan agar orang paham, kita tinggal bilang, “Pemahaman nenek lo!”

Coba jeli sedikit. Kenapa ada aksi ofensif lantas dibalas dengan reaksi defensif?

“Ini sebenarnya upaya sistematis yang dilakukan oleh sang gabener setelah mendapatkan masukkan dari para dayang-dayangnya (baca: TGUPP),” demikian ungkap sebuah sumber.

Apa maksudnya?

Reaksi defensif yang dilakukan oleh wan Aibon adalah sekedar upaya pengalihan isu atas posisinya yang mulai tersudut. Bayangkan jika anggaran bisa akses secara transparan kepada publik Jakarta, apa yang akan terjadi? Aksi akal-akalan akan mati gaya. Sama saja bunuh diri.

Ujungnya, upaya menumpuk anggaran buat nyapres di 2024, bakal gagal maning. Dan ini, whatever it takes, nggak boleh terjadi.

Kalo ini terjadi, ya sama saja mengulang upaya serupa yang pernah dilakukan mantan menteri pecatan yang tempo hari ketahuan memanipulasi anggaran lewat Tunjangan Sertifikasi Guru yang belakangan digagalkan oleh seorang Sri Mulyani. Nilainya 23,3 trilyun.

Untuk apa uang sebanyak itu? Ya, buat nyapres.

“Terus kita musti gimana, Bang?”

Tetap fokus pada sosok gabenernya. Apa yang bisa menggagalkan upayanya buat nyapres? Kalo nggak ada dana, tentunya. Darimana fulus didapat? Yah, disitulah kita harus tetap berfokus. Jangan teralihkan dengan isu kaleng-kaleng yang dilemparkan oleh kubu gabener.

Singkatnya, sedikit saja ada indikasi untuk memanipulasi anggaran, langsung diangkat agar social engagement bisa terjadi. Jangan kasih kendor. “Itu kunci suksesnya.”

“Apa lu mau di 2024 punya presiden kek wan Aibon? Gue sih ogah!”

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!