Kamu Apa Yang Kamu Makan (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas bagaimana makanan cepat saji yang merupakan menu makanan harian bagi kebanyakan warga di AS dan juga anak-anak usia sekolah, beserta kandungan beracun yang ada di dalamnya. (baca disini)
Pertanyaan selanjutnya: kok sudah tahu beracun, mengapa pola makanan modern yang cepat saji terus digunakan? Bukankah seharusnya ada revisi terhadap pola makan ini?
Padahal penelitian terbaru menyatakan bahwa makanan olahan seperti es krim, minuman bersoda, frozen food dan tentu saja makanan cepat saji (fast food) berisiko mendatangkan penyakit kanker, penambahan berat badan dan penyakit jantung. (https://www.theguardian.com/science/2023/oct/10/addiction-to-ultra-processed-food-affects-14-of-adults-global-study-shows)
Dan ironisnya, pola makanan global sangat tergantung pada makanan olahan tersebut.
Apakah otoritas kesehatan (utamanya di negara-negara besar) nggak tahu soal ini?
Masalahnya, semua temuan tersebut menjadi sia-sia saat banyak ilmuwan bersuara lantang untuk mendukung pola makanan modern yang serba instan.
Ini bukan tuduhan tanpa dasar.
Pada September silam, bertempat di London, sejumlah ilmuwan menggelar konferensi pers yang intinya menyarankan agar konsumen nggak perlu khawatir secara berlebihan terhadap makanan olahan.
“Makanan olahan sama baiknya dengan makanan hasil olahan sendiri. Malah terkadang lebih kaya nutrisi yang baik untuk anda santap,” begitu kurleb-nya. (https://www.theguardian.com/science/2023/sep/28/scientists-on-panel-defending-ultra-processed-foods-linked-to-food-firms)
Mengapa ilmuwan justru mendukung program makanan olahan? Apakah mereka bebas kepentingan atau malah sebaliknya?
Selidik punya selidik, panel ahli yang berbicara pada konpers tersebut, terkoneksi dengan produsen makanan terbesar di dunia. Setidaknya 3 dari 5 pakar yang berbicara, telah menerima dukungan finansial bagi penelitian mereka tentang manfaat dari makanan olahan.
Ambil contoh Profesor Janet Cade dari Universitas Leeds yang menyatakan bahwa nggak ada kaitan makanan olahan terhadap dampak buruk kesehatan bagi tubuh manusia. Malahan, Prof. Cade menegaskan bahwa makanan olahan dapat membantu melestarikan nutrisi.
Siapa sosok Prof. Cade?
Beliau adalah ketua komite penasihat pada British Nutrition Foundation yang didalamnya terdapat McDonalds, British Sugar dan Mars, dimana yayasan tersebut disokong oleh perusahaan Big Food seperti: Nestle, Mondelez dan Coca Cola.
Panelis kedua adalah Prof. Pete Wilde dari Quadram Institute yang juga mempromosikan makanan olahan yang katanya ‘nggak beda jauh’ dengan makanan buatan sendiri. Nyatanya sang profesor juga mendapat guyuran dana bagi penelitiannya dari Big Food seperti: Unilever, Mondelez dan Nestle.
Dan yang terakhir ada nama Prof. Ciaran Forde dari Universitas Wageningen, Belanda yang juga mempromosikan makanan olahan sebagai makanan bergizi dan kaya manfaat. Wajar jika Prof. Forde bersuara demikian karena dirinya selain pernah bekerja di Nestle juga mendapatkan gelontoran dana dari Big Food seperti Pepsico dan General Mills.
Jadi, panelis ilmuwan nutrisi tersebut, sarat kepentingan. Makanya mereka bersuara lantang mempromosikan makanan olahan karena ada duit besar di belakangnya.
Menurut salah satu laporan, ada dana besar yang dilibatkan untuk kepentingan lobi industri pangan global. Di Eropa saja, dana sebesar €21,3 juta digelontorkan tiap tahunnya untuk melobi otoritas kesehatan di Uni Eropa guna meloloskan makanan dan minuman yang bersifat manis. (https://corporateeurope.org/en/pressreleases/2016/07/food-lobby-rigs-eu-sugar-laws-while-obesity-and-diabetes-spiral-out-control)
Salah satu badan yang paling banyak dijadikan rujukan dalam tahap lobbying adalah International Life Sciences Institute (ILSI). Secara umum, ILSI adalah NGO global yang bermarkas di Washington DC.
Pada tataran teknis, ILSI menerbitkan banyak jurnal yang sudah ditinjau rekan sejawat, yang isinya berkaitan dengan keamanan pangan dan nutrisi. Sudah tentu jurnal-jurnal tersebut bakal dijadikan rujukan bagi para pengambil kebijakan di banyak negara.
Salah satunya India, dimana ILSI dijadikan rekanan pemerintah dalam menggarap kebijakan pangan. Alih-alih mendatangkan manfaat, kebijakan yang dikeluarkan malah memicu angka obesitas, penyakit jantung dan diabetes di negeri Bombay tersebut. (https://timesofindia.indiatimes.com/blogs/staying-alive/look-at-who-the-niti-aayog-is-consulting/)
Belakangan terkuak bahwa ILSI mendapatkan sokongan dana dari perusahaan Big Food sekelas Coca Cola. Pantas saja jika ILSI menyatakan bahwa efek gula pada minuman Coca-Cola tidak berdampak buruk pada masalah obesitas konsumen-nya. (https://archive.nytimes.com/well.blogs.nytimes.com/2015/08/09/coca-cola-funds-scientists-who-shift-blame-for-obesity-away-from-bad-diets/)
Selain Coca-Cola, sederet perusahaan pangan global juga beramai-ramai mendanai ILSI guna alasan lobi.
Berdasarkan rilis yang diberikan Sarah Steele pada 2020 silam, ILSI terbukti mendapatkan ‘dana hibah’ dari Big Food sekelas PepsiCo, Mars, Mondeles, Kellogs, Hershey, Starbucks, Cargill hingga Unilever dengan angka fantastik. (https://www.cambridge.org/core/journals/public-health-nutrition/article/pushing-partnerships-corporate-influence-on-research-and-policy-via-the-international-life-sciences-institute/C42EDA188F5E66983D80C8A44E90AB21)
Jadi, perusahaan pangan global sengaja ‘menciptakan dan menggunakan’ kelompok ‘berpengaruh’ untuk dijadikan rekanan dalam menciptakan kebijakan pangan di suatu negara.
Masuk akal jika banyak outlet makanan cepat saji dan makanan olahan lainnya, membanjiri pasar, karena ada lobi-lobi yang dilakukan. “Toh makanan cepat saji aman untuk disantap, bukan?”
Kembali ke pertanyaan awal.
Apakah sistem pangan global nggak bisa diubah?
Tentu saja bisa.
Pemerintah dan kita, itu kata kuncinya.
Kalo pemerintah nggak bisa diandalkan untuk mengubahnya, setidaknya kita bisa ambil inisiatif untuk sedapat mungkin meminimalisir menggunakan makanan olahan. Prinsipnya lebih baik belanja ke pasar dan mengolah makanan sendiri daripada beli makanan di gerai fast food.
Masalahnya: apa kita mau melakukannya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments