Jejak Sang Filantropis
Oleh: Ndaru Anugerah
Bagi banyak orang, Bill Gates merupakan seorang filantropis yang banyak menggelontorkan dana pribadinya untuk program pengembangan vaksin, terutama pada Big Pharma.
Ini selaras dengan ambisi Microsoft untuk dapat mengendalikan program ID2020 yang berujung pada vaksinasi global, kelak.
Obsesi BG terhadap vaksin dipicu oleh keyakinannya untuk menyelamatkan dunia, dengan bantuan teknologi. Setidaknya begitulah yang terus diulang-ulang pada setiap sesi tanya jawab yang sering digelarnya.
Apakah impiannya selaras dengan yang selama ini telah dia kerjakan?
Di India, BG melalui Bill & Melinda Gates Foundation, menjanjikan uang sebesar USD 450 juta untuk memberantas Polio di Juni 2017, dengan penggunaan teknologi baru.
Apakah teknologi baru yang dimaksudkan oleh BG?
“Kami menggunakan teknologi baru seperti foto satelit, untuk dapat memantau dimana keberadaan anak-anak setiap 3 menit, sehingga dia memiliki data GPS. Ini semua demi melindungi semua anak,” demikian kurleb pernyataan BG pada sesi tanya jawab dengan Charlie Rose pada 28 Februari 2013.
Dengan uang besar yang didonasikannya tersebut, praktis BG mengambil kendali atas National Technical Advisory Group on Immunization in India (NTAGI) yang bertanggungjawab atas program vaksinasi Polio di India.
Pada tataran teknis, BG mengamanatkan penambahan dosis vaksin Polio melalui program imunisasi yang tumpang tindih di India, terutama pada anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun.
Hasilnya sungguh warbiyasah.
Para dokter India beramai-ramai menyalahkan BG atas program vaksinasi Polio tersebut, kerena belakangan 490 ribu anak di India mengalami lumpuh akut non-Polio (NPAFP) selama rentang waktu vaksinasi di tahun 2000 – 2017.
Anehnya, saat 2017 dimana vaksinasi ala BG tidak lagi diterapkan di India, angka kematian akibat lumpuh akut non-Polio (NPAFP) langsung turun drastis.
WHO secara malu-malu sempat merilis laporannya, bahwa kasus ledakan Polio secara global, justru dipicu oleh penggunaan vaksin. Ini didukung oleh temuan di tahun 2018, dimana 70% dari kasus polio global dipicu oleh penggunaan vaksin (Economist, 2018).
Dan kita tahu bersama siapa penyedianya.
Lalu pada 2014, Gates Foundation kembali mendanai tes vaksin HPV yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline (GSK) dan Merck. Percobaan dilakukan pada 23 ribu gadis muda yang ada di provinsi terpencil di India.
Akibatnya sungguh fatal.
Sekitar 1200 gadis muda tersebut menderita efek samping yang parah, seperti autoimun dan gangguan kesuburan, serta 7 orang meninggal dunia.
Investigasi yang dilakukan oleh pemerintah India belakangan, menuduh para peneliti yang didanai Gates tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik di lapangan.
Caranya? Dengan mengintimidasi para gadis muda tersebut sebelum vaksinasi diberikan, memalsukan formulir persetujuan vaksinasi dan juga menolak perawatan medis bagi para korban vaksinasi tersebut.
“Kami telah dijadikan kelinci percobaan oleh para pembuat obat,” ungkap seorang gadis yang telah menjadi korban.
Pada 2010, Gates Foundation juga terlibat dalam pendanaan atas uji coba fase ke-3 dari vaksin malaria pada anak-anak di Afrika. Vaksin tersebut diproduksi oleh GSK.
Dan hasilnya sukses membunuh 151 bayi selain menyebabkan kelumpuhan, kejang dan juga demam pada 1048 dari 5949 anak yang telah menerima vaksin (The New England Journal of Medicine, 7 November 2011).
Kenapa BG terus nekat mendanai Big Pharma untuk terus menciptakan vaksin?
Mungkin pernyataan beliau pada 2010 kepada WHO layak dijadikan rujukan.
“Kita harus menjadikan dekade ini sebagai dekade vaksin.”
Karenanya BG berkomitmen untuk menggelontorkan uang sebanyak USD 10 milyar kepada badan kesehatan dunia tersebut demi mewujudkan ambisinya.
Ini jadi klop, saat sebulan kemudian pada sesi TED Talk, BG menegaskan bahwa vaksin baru yang akan dikembangkan, ‘dapat mengurangi angka populasi’.
Karena banyaknya ‘jejak manis’ yang ditinggalkan oleh sang filantropis tersebut pada masyarakat dunia, maka pendukung kesehatan masyarakat global di seluruh dunia menuding BG telah mengarahkan agenda WHO yang utama, yaitu: penyediaan air bersih, sanitasi, nutrisi dan juga upaya pencegahan penyakit menular ke program vaksinasi massal yang diusungnya.
Ya jelas saja. Dengan dana besar yang digelontorkannya kepada badan kesehatan dunia tersebut, praktis BG lah yang pegang kendali. “Mana ada sih, ‘sumbangan’ yang gratis?” (baca disini)
Ini selaras dengan filosofi pribadi sang filantropis tersebut, bahwa kesehatan yang baik hanya akan datang dari jarum suntik, alias vaksinasi.
Selain bertujuan untuk dapat mengendalikan WHO, GAVI dan PATH (LSM kesehatan global yang berbasis di Seattle), BG juga hobi berinvestasi pada Big Pharma, dalam upaya memproduksi vaksin massal, khususnya vaksin COVID-19.
Nggak aneh kalo belakangan BG tampak yakin bahwa pandemi COVID-19 akan segera berakhir seiring dikeluarkannya vaksin dari Big Pharma yang sudah terlebih dahulu mendapatkan suntikkan dana jumbo darinya.
Dengan semua rekam jejak sang filantropis tersebut, masihkah kita percaya pada impiannya akan masa depan dunia yang lebih baik?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Semakin tegang dan semakin penasaran saya..
Terima kasih Bang atas tulisan2x…???