Insiden pembakaran bendera HTI, terus digoreng oleh bani kampret sedemikian hingga. Targetnya, apa lagi kalo nggak proyek yang melibatkan fulus alias proyek nasbung. Sudah rahasia umum, jika dalam gelaran pilpres, proyek-proyek tuyul banyak bertebaran untuk menggebuk salah satu paslon.
Dan dalam hal ini, petahana adalah paslon yang sangat empuk untuk dijadikan target sasarannya, mengingat oposisi nggak punya program untuk dijual.
Namun, proyek nasbung ini akan sia-sia jika masih ada Banser. Betapa tidak, semua kegiatan kampret di lapangan, kerap digeruduk dan dibubarkan oleh Banser, dari kegiatan pengajian, sampai deklarasi tagar #2019gantipresiden. Semua berakhir dengan pembubaran.
Terbayang sudah. Gerilya lapangan yang mirip pilkada DKI yang sedianya akan dilakukan door to door dari mesjid ke mesjid untuk menggaet suara mayoritas sebagai ‘gadis seksi’, bakal sia-sia selama eksistensi Banser masih ada.
Mulai-lah rencana dijalankan, agar Banser bisa dibubarkan. Akhirnya, operasi intelijen-pun digelar di Limbangan, Garut pada Hari Santri Nasional (21/10).
Jumat kemarin (26/10) para kampret dibawah komando FPI (dan HTI), mulai menggeruduk kantor PBNU. Bukan itu saja, provokasi makin intens digelar disana. Harapannya, Banser akan melakukan kick-back, dan situasi chaos akan otomatis tercipta.
Sayang beribu sayang, langkah provokasi tak membuahkan hasil. Banser tak menanggapi langkah yang dilakukan oleh ormas yang menamakan dirinya Aksi Bela Tauhid tersebut. Bahkan langkah audiensi yang diminta para demonstran, tidak diindahkan.
Karena merasa nggak dianggap, merekapun kecewa. Akhir kata, kampret kembali menebar ultimatum. Jika sang pembakar bendera ‘tauhid’ tidak diganjar hukuman segera, maka mereka mengancam akan menggelar aksi yang lebih besar pada Jumat minggu depan (2/11).
Disini saja, kita sudah bisa melihat realitanya. Bahwa Aksi Bela Tauhid tidak mendapat respons positif yang diharapkan dari publik. Aliasnya masyarakat sudah mulai kritis terhadap aksi akal-akalan HTI. Walhasil, aksi yang diharapkan menjadi bola salju, malah berakhir anti-klimaks.
Jumlah demonstran yang hadir cuma 1000-an orang. Sangat jauh dari yang diharapkan. Dan para investor demo-pun dibuat kecewa. Padahal hitung-hitungan togelnya, minimal angka ratusan ribu bisa terkumpul. “Lha dari angka jutaan ummat tempo hari, masa langsung ambles jadi 1000? Apa kata dunia?”
Keanehan lainnya adalah tentang status kasus ini. Seharusnya kasus ini sudah klir. Polisi sudah menyatakan berkali-kali bahwa bendera yang dibakar adalah bendera HTI, bukan bendera Tauhid seperti yang diklaim oleh para kampret.
Jadi aneh kalo institusi resmi kepolisian merilis sebuah fakta, terus disangsikan. “Nah terus yang mau dipercaya, siapa lagi kalo bukan pak polisi?” Dengan kata lain, ini mah bisa-bisaan kampret aja. Bukan kampret namanya kalo nggak main otot-ototan..
Saya pikir, upaya keep silent yang dilakukan Banser sudah tepat. Jangan terprovokasi karena itu akan membuat kusut suasana.
Jika dipikir lebih lanjut, HTI bukanlah organisasi kacangan. HTI adalah organisasi klandestin yang sangat terkenal rekam jejaknya dalam upaya penggulingan rejim suatu negara. Dan tindakan dengan memakai atribut kekerasan adalah spesialisasi mereka.
Jadi, dalam menghadapi mereka, perlu tahan emosi. Bukan fight fire with fire. Itu justru yang mereka harapkan. Percayalah…
Apakah langkah provokasi HTI cukup sampai disini? Di berbagai daerah, saya melihat ekskalasi mulai meningkat dari pihak Banser, dengan mengadakan aksi penggalangan massa. Seolah mereka mau mempertontonkan sekaligus menjawab, sedianya mereka sudah siap untuk skenario terburuk sekalipun.
Jadi ngeri-ngeri sedap membayangkan apa yang kemudian bakal terjadi…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments