Great Depression
Oleh: Ndaru Anugerah
Dalam sejarah kelam AS, terdapat satu term yang cukup terkenal dalam bidang perekonomian. Inilah yang disebut great depression atau depresi besar.
Depresi besar yang terjadi di AS dimulai saat kejatuhan pasar saham pada 24 Oktober 1929. Peristiwa tersebut terjadi pada Kamis, sehingga orang mengenalnya dengan istilah Black Thursday alias Kamis Kelabu.
Peristiwa tersebut ditandai dengan dijualnya 16 juta saham secara cepat oleh para investor yang dirundung panik karena tidak lagi mempercayai pasar saham.
Tercatat Down Jones Industrial Average anjlok hingga 11% hanya dalam sehari. Mimpi buruk Amerika sudah terbayang di depan mata.
Lantas apa yang memicu terjadinya Great Depression?
Setidaknya ada dua. Pertama ada ketidaksempurnaan dalam sistem perekonomian di AS saat itu dimana The Fed dan Wall street selaku soko gurunya. Kedua sifat serakah dari sistem kapitalisme itu sendiri.
Awalnya, sepanjang 1920-an, ekonomi di AS berkembang begitu pesat. Kekayaan negara meningkat lebih dari 2 kali lipat. Tak heran bila periode ini dijuluki sebagai The Roaring Twenties, mengingat pertumbuhan ekonominya demikian hebat.
Cuma masalahnya, ekonomi yang demikian maju, mendorong orang untuk minta lebih lagi dan lagi. Ini wajar. Bukankah nature dasar manusia adalah serakah? Dan sistem kapitalisme membuka keran keserakahan orang untuk mendapatkan keuntungan yang lebih lagi.
Tadinya cukup dengan keuntungan 10 USD. Namun karena ada peluang untuk mendapatkan keuntungan 100 USD, maka orang berlomba-lomba untuk mengejar keuntungan yang berlipat-lipat.
Hal inilah yang memicu spekulasi besar-besaran di pasar saham, karena marjin keuntungan yang demikian mengiurkan berada disana. Ini mengakibatkan pasar saham menjadi sangat bergairah karena spekulan secara berjamaah lari kesana.
Akibatnya apa? Produksi terus ditingkatkan karena ada suntikan dana segar para investor dari bursa saham. Walhasil indeks saham khususnya bidang industri dan pertanian melejit hingga mencapai puncaknya pada Agustus 1929.
Masalahnya, produksi terus ditingkatkan, lalu siapa yang akan beli produknya?
Hukum pasar otomatis berlaku. Supply yang lebih banyak ketimbang demand-nya menyebabkan harga hancur dipasaran. Pemicunya ya over produksi tadi.
Tahu gelagat tidak beres, investor ramai-ramai menjual saham yang mereka miliki. Terjadi krisis kepercayaan pada sistem ekonomi AS saat itu, dan ini kemudian merembet kemana-mana. Perusahaan bangrut dan bank-bank di serbu oleh para nasabah untuk menarik dananya.
Singkat cerita depresi besar-pun terjadi, karena negara nggak punya cadangan keuangan yang memadai untuk mengatasi krisis. Presiden Herbert Hoover-pun dipaksa mengibarkan bendera putih kepada seluruh warga AS kala itu.
Puncaknya di tahun 1932-1933, dimana banyak pengangguran dimana-mana selain bahaya kelaparan yang terus mengintai. Angka orang misqueen dan gelandangan di AS, jangan ditanya lagi.
Ditengah ketidak pastian akan nasib masa depan AS kala itu, orang menggantungkan harapan mereka pada sosok presiden AS yang baru mereka pilih pada gelaran pilpres 1932 sebagai pengganti Herbert Hoover. Dialah Franklin Delano Roosevelt (FDR).
Begitu terpilih, Roosevelt langsung ambil langkah strategis. Dia mengumpulkan para teknokrat terbaik di negeri tersebut, sebagai penasihat ekonominya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai kelompok Brain Trust.
Dan program paling terkenal yang berhasil diusulkan oleh kelompok tersebut adalah paket New Deal yang kemudian diusung oleh Roosevelt.
Pemilihan diksi New Deal, bukan tanpa alasan. Ini merujuk pada itikad baik untuk memperbaiki hubungan yang baru antara rakyat Amerika dengan pemerintahan mereka dibawah pimpinan Roosevelt. Ini penting dilakukan karena saat itu kepercayaan rakyat pada pemerintah setipis kondom.
Ada 47 program yang diluncurkan Roosevelt untuk menanggulangi depresi berat tersebut. Teknisnya, Roosevelt membentuk agen-agen alfabet sebagai operator lapangnya. Ada CCC (Korps Konservasi Sipil), WPA (Pekerjaan Kemajuan Administrasi), hingga NRA (Administrasi Pemulihan Nasional).
Semua program tersebut dibagi dalam tiga tahapan eksekusi yang dimuliai dari tahun 1933 hingga 1939.
Hal yang dibenahi secara khusus adalah penyehatan perbankan, pemotongan gaji pegawai, menyediakan lapangan kerja bagi 3 juta orang selama 10 tahun untuk menggarap lahan publik, revitalisasi industri hingga memberikan pinjaman kepada para petani untuk bisa menyelamatkan pertanian mereka.
Singkatnya, dibawah kepemimpinan Roosevelt, pemerintahan federal AS mengambil banyak tanggungjawab baru untuk kesejahteraan rakyatnya. Inilah yang menyebabkan dirinya didaulat sebagai presiden terlama dalam sejarah AS, dengan 4 kali masa jabatan karena mendapat mandat dari rakyat.
Sebenarnya apa kunci sukses seorang Roosevelt?
Kepiawaiannya dalam ‘membujuk’ warga AS untuk mau menukarkan emas yang dimilikinya ke The Fed, dengan dollar. Bayangkan jika tanpa emas, apa mungkin Fed bisa mencetak uang untuk dipakai sebagai modal menjalankan roda perekonomian nasional lewat program New Deal-nya Roosevelt?
Dibalik great depression, ternyata ada sesuatu yang bisa diambil hikmahnya.
Bahwa sistem perekonomian saat itu masih jauh dari kata sempurna. Dengan kata lain perlu penyempurnaan.
Pertama: perlunya badan internasional yang bisa menanggulangi krisis ekonomi global sehingga tidak terjebak pada great depression yang sama. Yang kedua, perlu dipikirkan cara untuk mencetak uang bilamana cadangan emas di suatu negara tidak memadai untuk melakukannya.
Inilah cikal bakal lahirnya badan dunia yang bernama Bretton Woods yang akan menjadikan Dollar AS sebagai alat pembayaran internasional berbasis emas. Dan tentu saja, The Fed sebagai bank sentral swasta-lah yang diuntungkan lewat proses ini. (baca disini)
Lalu adakah relevansi great depression dengan kondisi jatuhnya pasar saham saat ini ditengah wabah COVID-19? Saya akan ulas pada tulisan yang lain.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments