Oleh: Ndaru Anugerah
Apa kesalahan gabener? Namanya aja gabener. Pastinya segala yang dilakukan besar kemungkinan gak bener juga. Terus kapan benernya? “Sampai dia turun. Karena dia naik aja, udah gabener.” Begitulah ledekan yang beredar di dunia maya menyindir eksistensi sang gabener pujaan ummat.
Terlepas dari semua hal yang telah dilakukan gabener, belakangan ada yang beda. Karena ada pihak yang senantiasa berkomentar ke publik terkait kebijakan yang dikeluarkan gabener. Dialah Prasetyo Edi Marsudi selaku Ketua DPRD DKI Jakarta.
Kasus banjir Jakarta, dia kasih komentar.
Kasus revitalisasi Monas, dia kasih komentar.
Kasus revitalisasi TIM, dia juga kasih komentar.
Sampai rencana gelaran Formula E yang akan berlangsung di Jakarta, dia juga ikutan komentar.
Dan yang paling gres, Prasetyo giat menggalang dukungan di DPRD DKI guna menggagas pansus banjir yang sudah pasti akan menyasar sang gabener.
Walaupun sudah jauh-jauh dinyatakan bahwa pansus banjir tersebut bukan bermaksud untuk memakzulkan wan Aibon, sebagai produk politik pastinya ada sesuatu yang mau dituju dari pansus tersebut.
Apa itu? Saya coba ulas.
Pilkada DKI memang masih 2 tahun lagi digelar. Namun, panasnya suhu politik di Jakarta sudah mulai terasa demi memperebutkan kursi DKI-1. Banyak pihak yang mengincar posisi tersebut. Dan salah satu pihak yang akan berencana menggusur gabener sebagai petahana adalah kubu partai Banteng.
Dalam tulisan terdahulu, saya sudah mengulasnya. (baca disini)
Dengan kata lain, partai Banteng punya rencana merebut kursi singgahsana. Rencananya Risma-lah yang akan dimajukan. Namun ada beberapa kendala. Popularitas Risma nggak sebaik gabener saat ini. Gimana mau merebut singgahsana, kalo popularitas aja masih melempem.
Lantas gimana menyiasatinya?
Ada dua hal yang bisa dilakukan.
Pertama merusak stabilitas kepopuleran yang dimiliki lawan. Dan kedua, mendongkrak popularitas calon yang mau diusungnya.
Setelah otak-atik togel, dalam kondisi ini sepertinya partai Banteng berencana menggunakan kedua strategi tersebut secara berbarengan.
Sindiran yang dilontarkan Prasetyo selaku kader partai Banteng, bukanlah kejadian sambil lalu tanpa makna. Justru sarat makna. Targetnya satu, menggembosi popularitas sang gabener sebagai petahana.
Kok bisa?
Karena rumusnya: tingkat popularitas harus bisa dikerek naik terlebih dahulu sebelum bisa mendapatkan elektabiltas. Yang penting popular dulu, sebelum bisa meraih elektabilitas. “Popularitas akan menemukan jalannya ke elektabilitas lewat sentuhan seorang konsultan politik.”
Bahkan elektabiltas yang tinggi sekalipun bisa diaborsi oleh seorang konsultan politik yang piawai.
Pilkada DKI 2017-lah pembuktiannya, dimana popularitas dan elektabilitas Ahok yang sudah demikian tingginya, dipaksa harus rontok lewat politisasi SARA yang dimainkan Eep kala itu yang kebetulan didaulat sebagai konsultan politik wan Abud.
Jangan heran bila pansus banjir yang sekarang giat diusung partai Banteng, bertujuan merontokkan tingkat elektabiltas gabener. Yah, at least popularitas sang gabener yang sudah negatif jadi lebih negatif.
Apalagi pakai embel-embel bakalan panggil Ahok selaku mantan gubernur terdahulu dalam mengatasi permasalahan banjir di Jakarta. Jadi makin keliatan nggak bisa kerja aja, tuh gabener!
“Kalo nggak bisa kerja, ngapain dipilih jadi gubernur?” begitulah kurleb narasinya.
Sampai sini paham, kan?
“Kenapa nggak pakai cara lain? Misalnya lewat jalur hukum. Kan banyak tuh dugaan korupsi yang sudah dilakukan wan Aibon?” tanya seseorang.
Bisa-bisa aja sih. Cuma ada 2 kendala teknis.
Pertama, kalo ambil jalur hukum, akan terlihat main kasar-nya. Dan ujung-ujungnya, pakde juga yang disalahkan. Padahal ini bukan pula maunya pakde. “Lagian bagi pakde itu nggak boleh dilakukan juga.”
Kenapa?
Ini menyangkut kendala yang kedua.
Saat gelaran pilpres 2019 yang lalu, Jokowi sempat dibuat galau oleh elektabilitas dirinya yang naik turun, walaupun secara statistik angkanya masih berada di atas Om Wowo.
Atas masukkan salah satu anggota di tim Bravo 5, “Sebaiknya bapak sowan aja ke Jenggala Center untuk minta dukungan.” Maklum, JC punya jaringan yang lumayan solid dalam memenangkan kontestasi pilkada DKI 2017. Minimal jaringan masjid, mereka kuasai.
Siapa yang berkuasa atas JC, kita semua sudah tahu. Opa jack, lah orangnya. Figur yang sama yang bertindak sebagai ‘pelindung’ gabener saat ini.
Singkat kata, terjadilah deal politik. JC akan mendukung penuh langkah pakde agar pakde bisa mulus melenggang di periode kedua. Namun ada imbal baliknya. “Kencing aja harus bayar.”
Apa itu?
Pertama pakde nggak boleh utak-atik kerajaan bisnis Opa Jack saat berkuasa nanti. Dan kedua, AB selaku golden boy Opa Jack juga nggak boleh dijatuhkan lewat cara apapun. Minimal sampai ujung masa jabatannya berakhir. Begitulah sasus deal-nya.
Jangan aneh kalo sampai Upin Ipin lulus kuliah-pun, gabener bakalan nggak akan ‘tersentuh’ walaupun sejuta kasus hukum, besar indikasi telah dia buat. Lha wong sudah ada deal.
Akankah langkah yang dibesut kubu Banteng membuahkan hasil?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments