Eli Cohen


502

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana Israel sebagai sebuah negara kecil bisa mempertahankan eksistensinya ditengah hegemoni negara-negara Arab yang mengelilinginya?

Dengan memperkuat intelijen yang dimilikinya. Banyak kisah para agen melegenda yang dimiliki oleh Mossad sebagai mesin intelijen negara zionis tersebut.

Salah satunya adalah Eli Cohen yang diberi julukan the impossible spy.

Eli dilahir di Alexandria, Mesir pada Desember 1924. Layaknya imigran Yahudi yang dibesarkan di tanah perantauan, Eli memiliki bakat yang luar biasa di bidang Matematika dan Bahasa. Kedua bakat itulah yang kemudian menghantarkannya sebagai seorang agen spionase yang tangguh.

Setelah dipulangkan paksa oleh Mesir sebagai buntut ketegangan hubungan Israel dan negeri piramid tersebut di dasawarsa 1950-an, Eli mendaftarkan dirinya sebagai agen Mossad sebanyak 2 kali, namun ditolak.

Apa yang menyebabkan dirinya kemudian direkrut adalah kebutuhan Mossad akan figur agen intelijen berdarah Arab.

Kebutuhan ini sangat mendesak, mengingat di awal-awal 1960-an, Israel acap kali mendapat serangan bom dari negara Arab yang berbatasan dengan mereka, seperti Suriah.

Dan kedua menyangkut dataran tinggi Golan milik Suriah yang sudah lama ingin dicaplok Israel, menyangkut lokasinya yang strategis secara geopolitik. Selain itu, sumber air utama Israel, 30%-pasokannya nya disediakan oleh dataran tinggi Golan yang berasal dari sungai Yordan.

Inilah yang akhirnya memaksa Mossad untuk mengirimkan agen terbaiknya ke Suriah untuk melakukan tugas infiltrasi spionase dan melumpuhkan kekuatan militer Suriah.

Dan Eli-lah yang memenuhi kualifikasi tersebut, mengingat perawakannya yang lebih mirip orang Arab ketimbang orang Israel, fasih budaya Arab dan juga dunia Islam. Lewat berbagai seleksi yang ketat, Eli yang pada dasarnya memang cerdas, berhasil terpilih untuk mengemban tugas tersebut.

Setelah siap, Eli langsung diterjunkan ke Argentina guna menjalin kontak dengan komunitas Suriah perantauan. Di Argentina, Eli mendapat nama samaran Kamel Amin Tsa’abet, seorang imigran berdarah Suriah kelahiran Beirut yang tinggal di Argentina dengan berdagang tekstil.

Kontak pertamanya di Argentina adalah dengan seorang atase militer Kedubes Suriah untuk Argentina yang bernama Kol. Amin Al-Hafaz alias Hafez Assad, yang kelak terpilih menjadi presiden Suriah melalui kudeta militer di tahun 1963 dengan didukung partai Ba’ath.

Inilah yang kelak memuluskan langkah Eli untuk bisa menginfiltrasi lingkaran utama kekuasan Suriah yang terkenal sangat ketat dalam menyeleksi orang.

Lewat kepiawaiannya, Eli berhasil diterima dengan tangan terbuka oleh bangsa Suriah, dan utamanya dari kalangan militer. Konon, hanya Eli-lah satu-satunya orang sipil yang diperbolehkan memasuki instalasi militer super rahasia yang dimiliki Suriah.

Usaha ini tentu tidak gratis. Dengan uang banyak yang disediakan Mossad, Eli berhasil membeli ‘persahabatan’ dengan kalangan militer. “Dengan uang, bangsa Suriah yang tadinya super kaku, menjadi bangsa yang mudah dibeli.”

Lobi-lobi yang dilakukan oleh Eli, membuahkan hasil. Dirinya kemudian mendapatkan promosi untuk menduduki jabatan Menteri Pertahanan Suriah, setelah meyakinkan Hafez Assad. Bukan itu saja, sasus beredar Hafez Assad tengah mempersiapkan Eli sebagai pengganti dirinya, kelak.

Namun langkah itu terhenti, saat penyamaran yang dilakukan Eli terbongkar.

Saat dirinya mengirimkan pesan rahasia secara berkala ke Israel lewat saluran rahasia, aksinya tersebut berhasil dideteksi oleh kalangan intelijen Suriah yang mendapat bantuan dari Uni Soviet, kala itu. Penggerebekkan terjadi dan Eli berhasil diringkus.

Eli Cohen mati dengan cara digantung di Martyr’s Square, Damascus pada Mei 1965. Selama 6 jam tubuhnya sengaja dibiarkan tergantung untuk dipertontonkan kepada publik, karena dianggap sebagai aksi spionase yang berhasil mempermalukan bangsa Suriah. Hingga kini jenazahnya tidak jelas dikuburkan dimana.

Apa jasa Eli Cohen bangi Israel? Sangat banyak.

Pertama, atas masukkan Eli, maka bunker-bunker militer Suriah berhasil dikenali oleh pihak militer Israel karena ditanami pohon kayu putih. “Pohon-pohon itu alasannya dipakai sebagai peneduh pasukan Suriah yang kerap kepanasan didalam bunker tanpa tanaman peneduh.”

Kedua, Eli berhasil mengumpulkan nama pilot pesawat tempur Suriah, lengkap dengan nama keluarga mereka. Informasi inilah yang dijadikan militer Israel untuk melakukan perang psikologis saat bom hendak dijatuhkan di Israel oleh pesawat tempur Suriah.

“Kalo kalian nekat menjatuhkan bom, maka jangan salahkan jika keluarga anda akan kami bunuh satu persatu (sambil menyebutkan nama anggota keluarganya).”

Psy-war ini cukup sukses saat Yom Kippur dimana banyak bom pesawat Suriah akhirnya dijatuhkan ke laut ketimbang menyasar target wilayah Israel, karena para pilotnya sudah ketakutan duluan kalo keluarga mereka bakal ‘dihabisi’.

Dan berkat jasa Eli, maka Israel berhasil memenangkan Perang Enam Hari melawan negara-negara Arab, utamanya Suriah. Ini dikarenakan data intelijen yang banyak disediakan Eli, seperti jumlah pasukan, armada tempur dan juga rencana penyerangan yang akan dilakukan.

Belum lagi niatan Suriah yang akan mematikan jalur air untuk Israel dengan merekayasa sungai Yordan agar airnya tak mengalir ke negeri zionis tersebut dengan dibantu Uni Soviet. Langkah ini sekali lagi harus terhenti gegara informasi yang dibocorkan Eli.

Terbayang kalo rencana berhasil dieksekusi, apa nggak kekeringan Israel jadinya?

Dari Eli Cohen, kita bisa belajar banyak hal.

Pertama, kalo ingin serius bangun negara kita, maka segi pertahanan terpaksa harus dibenahi, utamanya dibidang intelijen. Diktum yang menyatakan 1 orang agen intelijen yang handal adalah jauh lebih baik dari pada 1 divisi tentara, memang benar adanya. Israel-lah buktinya.

Selain itu, kita dapat belajar kelemahan jazirah Arab yang berimplikasi pada dunia Islam. Bahwa sebenarnya mereka sangat rentan diadu domba dengan dalih aliran atau mazhab yang memang sengaja diciptakan.

Dan kita tahu bersama, bahwa ISIS adalah boneka ciptaan Mossad untuk menghancurkan Islam dari dalam dengan slogan khilafah yang didengung-dengungkannya.

Emang kalo khilafah terbentuk, pertanyaan sederhana: Imam-nya dari kalangan Sunni apa Syiah?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!