Dari DI/TII Hingga JI (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Menurut International Crisis Group (ICG), kekalahan AS pada perang Vietnam di tahun 1975, memaksa kepala Intelijen Ali Murtopo lewat BAKIN mendorong pembentukkan milisi bersenjata yang kelak diberi nama Komando Jihad.
Tujuannya sederhana, agar kekuatan komunis bisa dibendung untuk tidak menyebar di kawasan Asia Tenggara, secara khusus Indonesia.
Pengakuan Mohamad Hasan pada persidangan 1979, bahwa dia telah direkrut oleh BAKIN sebagai upaya perang melawan komunis selaras dengan laporan ICG tersebut. (https://www.jstor.org/stable/43818511)
Mengapa Komando Jihad dibredel Soeharto?
Awalnya, lewat opsus bentukkan Ali Murtopo, Komji digunakan untuk memecah suara ummat Islam pada pemilu 1971 dan 1977.
Namun belakangan, kekuatan Komji yang digerakkan aktivis DI/TII tersebut menjadi tidak terkendali. Aksi pelemparan granat yang dilakukan pada acara MTQ di Medan pada 1976 adalah salah satu buktinya. (https://www.jstor.org/stable/20798213)
Singkat cerita, Sungkar dan Bashir diganjar 9 tahun penjara. Tetapi di tahun 1982, mereka berdua dibebaskan setelah mengajukan banding. Selepas dari penjara, mereka langsung melarikan diri ke Malaysia, dimana mereka menetap hingga tahun 1999.
Perang Afghanistan nampaknya menyelamatkan mereka berdua di pengasingan, mengingat Washington berkomitmen penuh untuk menahan kekuatan tentara Soviet disana dengan menggunakan kekuatan wahhabisme yang diusung Arab Saudi dan juga Pakistan. Seruan jihad-pun dikumandangkan dalam melawan komunisme. (https://www.dw.com/en/pakistans-islamization-before-and-after-dictator-zia-ul-haq/a-19480315)
Lewat tangan mereka berdua, agen Saudi yang bertugas merekrut kelompok Indonesia yang siap berjihad ke Afhganistan bisa terlaksana. Van Bruinessenn mengatakan, “Saudi telah mengadakan kontak dengan Sungkar dan elemen DI lainnya pada tahun 1984-1985 guna konsolidasi jihad.” (https://www.jstor.org/stable/23615642)
Laporan ICG memperkirakan bahwa lebih dari 200 orang yang terlibat jaringan Sungkar-Bashir, dikirim ke Afghanistan dimana Liga Dunia Islam bentukan Saudi bertindak sebagai pendananya. Mereka kemudian dilatih di kamp militer Abdul Rasul Sayyaf yang terkoneksi dengan Osama bin Laden. (https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10576100701501984)
Jadi, tanpa ada operasi AS di Afghanistan, kelompok JI maupun Al-Qaeda nggak akan pernah ada. Bahkan sekembalinya dari Afghanistan, kelompok JI yang selamat akhirnya otomatis dianggap pahlawan di lingkungan Islam karena berhasil menumbangkan rejim komunis di Afghanistan.
Bukan itu saja, para kombatan Afghanistan sangat terampil dalam berperang karena telah mendapatkan pelatihan perang yang memadai. Termasuk dalam teknik merakit bom. (https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/indonesia/jemaah-islamiyah-south-east-asia-damaged-still-dangerous#:~:text=26%20August%202003-,Jemaah%20Islamiyah%20in%20South%20East%20Asia%3A%20Damaged%20but%20Still%20Dangerous,one%20of%20its%20top%20operatives.)
JI sendiri adalah organisasi bentukkan Sungkar dan Bashir (1993), yang berisi para eks kombatan Afghanistan. Jadi ada kaitan erat antara JI dan Al-Qaeda lewat perang Afghanistan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Jemaah_Islamiyah)
Lain JI, lain Soeharto. Di Indonesia, pada 1990-an Soeharto mencoba untuk mendapatkan dukungan kelompok Islam yang selama ini disisihkannya, dengan membentuk Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibawah kepemimpinan BJ Habibie, dan ICMI diijinkan menerbitkan korannya sendiri yang diberi nama Republika.
Ini dilakukan Soeharto yang mulai tidak menaruh kepercayaan pada kelompok militer yang selama ini mendukungnya. (https://tirto.id/bj-habibie-dan-icmi-jembatan-soeharto-meraih-dukungan-umat-islam-eh24)
Langkah ini sukses mendorong kelompok DDII untuk memberikan dukungan politis kepada Soeharto dengan dibentuknya KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam). Prabowo Subianto-lah jembatan antara Soeharto dan KISDI.
Kembali ke laptop.
Krisis moneter di Asia pada tahun 1997-1998 sukses menghantar JI untuk berkiprah kembali di Indonesia. Tim Behrend mengatakan bahwa JI bisa diterima banyak kalangan Islam karena mengusung spirit moralitas Islam. (https://www.wsws.org/en/articles/2003/11/ji-12n.html)
“Semua kejahatan yang mengalir dari krisis keuangan Asia adalah bentuk kufur (hukuman) karena mengabaikan berkah Allah,” demikian ungkap Sungkar dan Bashir dalam essay-mereka: Krisis Indonesia Terbaru: Penyebab dan Solusi.
Solusinya? Penerapan negara Islam berbasis syariah. Titik.
Setelah kematian Sungkar di tahun 1999, otomatis Bashir adalah pimpinan JI secara ideologis. Untuk gerakannya di Indonesia, Bashir lantas mendirikan Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) dengan cita-cita utama mendirikan negara Islam.
Kongres pertamanya di Yogyakarta pada Agustus 2000, dihadiri banyak aktivis Islam seperti Hidayat Nur Wahid selaku Ketum Partai Keadilan saat itu. (https://nasional.tempo.co/read/6543/sekitar-15-ribu-orang-akan-menghadiri-kongres-majelis-mujahidin)
MMI inilah yang dijadikan sayap militer JI. Dan konflik di Maluku (1999) telah memberikan kesempatan para anggota JI untuk berperang dan mengikuti pelatihan militer. (https://pure.uva.nl/ws/files/1322217/92002_After_Jihad_Najib_Azca_Final16April2011.pdf)
Setelah memiliki kemampuan yang cukup, jaringan JI mulai menggelar serangkaian aksi teror di Indonesia. Dimulai dengan serangan bom yang menyasar gereja-gereja di malam Natal secara bersamaan di tahun 2000, aksi dilanjutkan pada aksi bom Bali pada tahun 2002.
Menurut laporan ICG, pelaku serangan bom kebanyakan kombatan Afhganistan, semisal Ali Gufron, Ali Imron dan Imam Samudra. (https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/indonesia/jemaah-islamiyah-south-east-asia-damaged-still-dangerous)
Sampai sini paham ya jalan ceritanya?
Lantas bagaimana dengan bom Bali sendiri? Apakah JI melakukan aksi tersebut tanpa ada keterlibatan kelompok lain mengingat adanya operasi logistik besar-besaran?
Pada lain tulisan saya akan mengulasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments