Cuma Ganti Baju
Oleh: Ndaru Anugerah
Secara resmi, pasukan AS memang akan keluar dari Afghanistan, dan rencananya sebelum peringatan 9/11 tahun ini. Tentang ini saya pernah ulas. (baca disini)
Lantas apakah semua ‘pasukan’ AS akan benar-benar keluar dari Afghanistan?
Menurut laporan yang dibuat Jeremy Kuzmarov, masih ada sekitar 18 ribu kontraktor swasta Pentagon yang akan tetap bercokol di Afghanistan. Dan ini nggak pakai bendera negara, tetapi pakai perusahaan militer swasta. (https://thegrayzone.com/2021/04/16/biden-afghanistan-war-privatizing-contractors/)
Ini sengaja dilakukan agar Pentagon dan juga badan intelijen AS nggak kena pengawasan ketat yang dilakukan Kongres pada mereka karena dianggap abai pada konstitusi. Dengan memakai jasa pasukan swasta yang dijadikan rekanan, maka jika kelak terjadi apa-apa, Pentagon bisa ‘lepas tangan’.
Memang kontraktor swasta yang dimaksud tuh siapa?
Macam-macam. Biasanya mereka veteran pasukan khusus dan juga tentara bayaran, dengan penghasilan yang jauh lebih besar ketimbang jadi prajurit negara. Dan untuk melakukan tugas-nya, identitas mereka akan dirahasiakan agar kelak nggak ada pertanggungjawabannya.
Setidaknya, pejabat senior di AS telah mengkonfirmasi hal tersebut bahwa Washington bakal menggelar operasi intelijen rahasia di Afghanistan dengan menggandeng rekanan ‘swasta’. (https://www.nytimes.com/2021/01/28/us/military-special-ops-investigation.html)
Saat ini, pemerintah Afghanistan dipimpin oleh Ashraf Ghani yang adalah ‘boneka’ AS. Nggak aneh jika AS terus mendanai militer di sana dengan biaya mencapai USD 4 milyar pertahunnya.
Lantas, apa gunanya dana sebesar itu digelontorkan bagai pemertintahan Kabul?
Demi mengamankan jalur pasokan opium.
Di tahun 2007, Afghanistan menghasilkan sekitar 8.200-ton opium yang menjadikannya sebagai pemasok ekslusif obat paling mematikan di dunia sekitar 93%. Dengan opium sebanyak itu, berapa nominal uangnya? (https://www.unodc.org/documents/crop-monitoring/AFG07_ExSum_web.pdf)
Sangat menggiurkan bukan?
Opium di Afghanistan bukan barang baru. Setidaknya pasukan Taliban pernah memproduksi barang ‘haram’ tersebut guna menunjang operasi militernya. (ttps://www.bbc.com/news/world-46554097)
Namun itu berubah saat invasi AS ke Afghanistan, dipicu oleh serangan 9/11 yang ‘konon’ dilakukan oleh Osama Bin Laden yang bercokol disana pada 2001 silam. Akibat invasi tersebut, total produksi opium Taliban hanya mencapai 185 ton saja di tahun 2001. Padahal sebelumnya mencapai 3300 ton di tahun 2000. (https://publications.parliament.uk/pa/cm200203/cmselect/cmintdev/84/8411.htm)
Tapi, semenjak pendudukan AS, setidaknya di tahun 2007, total produksi opium disana kembali meningkat tajam hingga mencapai 8.200 ton.
Kalo dikalkulasi, maka total produksi opium di Afghanistan jauh lebih besar dari gabungan produksi opium di Kolombia, Bolivia dan juga Peru, di tahun yang sama. (http://www.guardian.co.uk/world/2008/feb/06/afghanistan.politics)
Saat AS menduduki Afghanistan, Ahmed Wali Karzai yang dijadikan pemain utama dalam perdagangan opium di Afghanistan dengan backing utama adalah CIA. Nah, uang hasil jualan opium, sudah pasti dikelola oleh CIA, dengan Ahmed Wali sebagai centeng-nya. (https://www.nytimes.com/2009/10/28/world/asia/28intel.html?_r=2&hp)
Memang siapa Ahmed Wali Karzai?
Dia adalah saudara dari presiden Afghanistan saat itu, Hamid Karzai. Apakah ini hanya kebetulan?
Sayangnya, sebagai bidak, Ahmed Karzai nggak bisa dipakai lama, karena di tahun 2011, seorang pengawalnya menembak mati sang Boss di rumah mewahnya di kawasan Helmland. (https://www.nytimes.com/2011/07/13/world/asia/13afghanistan.html)
Apakah ini hanya kebetulan lagi, guna menghindari ‘kicauan’ seorang Ahmed Karzai karena telah menjadi ‘kaki tangan’ CIA?
Jadi, keterlibatan CIA pada bisnis opium nggak pernah bisa ‘dibuka’ secara vulgar.
Tentang keterlibatan CIA pada bisnis narkoba, memang sudah jadi rahasia umum. Saat perang Vietnam berkecamuk, CIA terlibat dengan suku Hmong di Laos dalam perdagangan opium guna menunjang biaya operasinya. (https://renincorp.org/bookshelf/politics-of-heroin-in-south.pdf)
Atau saat perang Mujahidin di tahun 1980an melawan Tentara Merah Soviet. Memang dana operasional ‘black-ops’ CIA didapat darimana selain dari opium? (http://www3.nccu.edu.tw/~lorenzo/Leffler%20911%20and%20Am%20Foreign%20Policy.pdf)
Mungkin karena tahu ‘belang’-nya, Alfred McCoy selaku sejarahwan kondang AS kemudian bertanya, “Bagaimana mungkin satu-satunya negara adidaya di dunia telah bertempur selama lebih dari 16 tahun, dengan mengerahkan lebih dari 100 ribu serdadu dan lebih dari USD 1 trilyun, namun belum berhasil memenangkan perang di negara yang terbilang miskin di dunia (Afghanistan)?”
Ya jelas aja.
Ini memang bukan soal perang semata, tapi soal harta ‘berharga’ yang nilainya lebih besar dari biaya perang itu sendiri, yaitu opium. (https://www.theguardian.com/news/2018/jan/09/how-the-heroin-trade-explains-the-us-uk-failure-in-afghanistan)
Jangan heran bila ‘tangan’ AS lewat serdadu bayaran mereka, nggak akan dengan mudahnya meninggalkan Afghanistan, mengingat potensi opium yang begitu menggiurkan.
Bila kemudian media mainstream rame-rame membuat narasi bahwa Taliban yang memegang posisi kunci dari perdagangan opium, itu patut dipertanyakan. “Siapa yang punya teknologi pengolahan opium dalam skala besar? Siapa juga yang punya jalur perdagangannya?”
Dan Taliban bukan pihak yang punya jawaban atas pertanyaan tersebut.
Kesimpulannya, walaupun secara resmi AS akan hengkang dari Afghanistan, namun lengan deep-state akan tetap bercokol di negeri sorga opium tersebut. Entah sampai kapan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments