Berebut Ladang Jarahan
Oleh: Ndaru Anugerah
Bicara konteks Indonesia pada setiap peristiwa besar, khususnya yang terjadi di tahun 1965-1966, tak lepas dari upaya paman Sam untuk menancapkan kukunya di Indonesia.
Adalah Bradley Simpson seorang dosen sejarah senior yang berasal dari universitas Princeton, AS yang pernah mengungkapkan keterlibatan AS pada momen di dasawarsa 1960an tersebut.
Menurutnya ada peristiwa yang membuat negeri Paman Sam itu makin tidak sabar untuk segera menghajar PKI dan Soekarno.
Pertama peristiwa keluarnya Indonesia dari PBB dan kedua aksi pengambilalihan secara sepihak perkebunan di Sumatera Utara yang dimiliki oleh US Rubber Company dan Goodyear oleh SARBUPRI yang merupakan underbow PKI. Kontan kedua peristiwa tersebut membuat AS meradang.
Namun upaya menghajar Soekarno dan PKI tidaklah mudah. Perlu ahli dalam strategi gerilya di lapangan. Maka ditunjuklah Inggris sebagai penendang bola-nya. Pilihan ini didasarkan pada kemampuan Inggris yang telah sukses memecah belah negara persemakmuran sekelas India, Pakistan maupun Malaysia.
Singkat kata, operasi lapangan bersandi “Dokumen Gillchrist”-pun digelar. Tujuannya untuk memprovokasi tindakan reaksioner PKI. Memang sudah rahasia umum kalo PKI adalah organisasi reaksioner, dan bukan organisasi revolusioner. Pemberotakkan PKI 1926 dan 1948 adalah buktinya. “Belum apa-apa kok udah ejakulasi?”
Harapannya satu. Dengan sikap reaksioner PKI, maka kubu Angkatan Darat yang telah dibina agen-agen AS lewat Civic Mission Program akan mempunyai alasan untuk bertindak. Diktumnya, ada aksi maka akan ada reaksi.
Dan provokasi-pun menuai sukses. PKI bersifat reaktif menanggapi isu dewan jenderal yang dihembuskan Gillchrist. Dengan adanya gerakan Gestapu, maka Soeharto, AD dan juga sponsor internasionalnya pun punya alasan untuk segera membasmi PKI.
Singkat cerita upaya pembasmian anasir komunis di Indonesia paska peristiwa Gestapu, masif digelar. Dan bantuan AS untuk pembantaian massal tersebut juga makin intensif. Bahkan mantan pejabat Deplu AS Howard Federspiel menanggapi, “Tak ada yang peduli jika mereka disembelih, asalkan mereka komunis.”
Sejarah mencatat, itulah genosida terbesar yang pernah terjadi di Indonesia paska kemerdekaan.
Namun, upaya penyingkiran PKI bukan langkah akhir. Selanjutnya Soekarno-pun harus disingkirkan. Bahaya jika orang seperti Soekarno dibiarkan tetap hidup, karena haluan politiknya yang anti kolonialisme dan imperialisme negara-negera Barat.
Bagaimana caranya?
Pertama membuat perekonomian Indonesia makin kocar-kacir, dan ujung-ujungnya timbul mosi tidak percaya rakyat terhadap kepemimpinan Soekarno.
Salah satu cara yang ditempuh adalah pengalihan sumber devisa Indonesia yang seharusnya masuk Bank Sentral Indonesia, justru masuk ke kroni Soeharto. Tercatat pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada BSI, melainkan kepada rekening siluman yang berlokasi di Belanda.
Tidak cukup sampai disitu. Frans Seda selaku menteri perkebunan malah meng-copas aksi Soeharto tersebut dengan membuka rekening-rekening siluman dan mengalihkan setoran yang harusnya masuk ke kas negara. Bisa ditebak. Rejim Soekarno yang tongpes akibat ulah ini, malah dibuat makin terjepit.
Inflasi seketika terjun bebas. Harga-harga kebutuhan pokok meroket. Dan berujung pada melorotnya kepercayaan publik kepada Soekarno yang mencapai titik nadir. Ini diperburuk oleh aksi-aksi mahasiswa yang disokong oleh AD dan didanai oleh AS dan sekutunya.
Pada maret 1966-pun, rejim Soekarno resmi ditumbangkan dengan adanya perang asimetris berupa aksi Tritura mahasiswa dan rakyat.
Segera setelah Soeharto ambil alih kekuasaan, pemerintahan transisional-pun mulai bekerja. Yang paling utama dilakukan adalah disahkannya UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sangat condong kepada kepentingan Barat, di tahun 1967.
Lembaga-lembaga Bretton Woods, semisal IMF, Bank Dunia, IGGI dan LSM-LSM binaan Rothschild mulai turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya serta model ekonominya yang benar-benar condong terhadap kepentingan Barat.
Contohnya, dalam menyusun UU PMA, AS mengerahkan konsultan untuk membantu Widjoyo Nitisastro dalam merampungkan draft UU tersebut. Begitu rampung, draftnya langsung diserahkan ke kedubes AS untuk direvisi, sekiranya ada klausul yang masih memberatkan pihak investor Barat.
Setelah UU PMA diketok palu, mulai-lah loyalitas rejim Soeharto diuji. Freeport-lah yang dijadikan ujian pertamanya. Setelah proyek Freeport mendulang sukses, ibarat perlombaan lari, maka investor-investor Barat-pun mulai berebut ‘ladang jarahan’ di Indonesia dengan berkedok investasi asing.
Dan Soeharto sekali lagi telah menunjukkan loyalitasnya dengan menjadi anjing yang setia, dengan mengkerek stabilitas nasional guna menjaga investasi ‘tuan-nya’.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Ternyata hiperinflasi di jaman akhir2 BK itu krn dibikin dan disabotase oleh ulah org2 dr dalem sdr toh. Bkn krn BK sdr yg oleh orba dipropagandakan suka bikin proyek2 mercusuar