Bagaimana Vaksin Berbasis m-RNA Dikembangkan?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bagaimana bentuk vaksin Big Pharma yang kini tengah dikembangkan oleh perusahaan farmasi Moderna?” begitu tanya seseorang.
Dulu sepintas saya pernah bilang bahwa vaksin yang akan dipasarkan nanti pasti beda, nggak sama dengan vaksin-vaksin pada umumnya. “Berbasis messenger RNA alias m-RNA,” saya pernah bilang begitu. (baca disini)
Pertanyaan selanjutnya: apa itu m-RNA?
Pada September 2018, lusinan investor masuk ke aula konferensi hotel Marriott di Kendall Square, pusat biotek Cambridge, Mass. Mereka berkumpul untuk mendapatkan pandangan langka di bidang sains tentang teknologi m-RNA yang akan diperkenalkan oleh Moderna Therapeutics. (https://pubs.acs.org/doi/10.1021/cen-09635-cover)
Secara mendasar, m-RNA akan mendorong tubuh seseorang untuk membuat obat sendiri manakala terkena infeksi virus/bakteri. Nah dengan m-RNA tadi, maka penyakit’ kelas kakap’ seperti: penyakit genetik, kanker, dan penyakit menular akan dapat ditanggulangi. (https://cen.acs.org/business/start-ups/mRNA-disrupt-drug-industry/96/i35)
Singkatnya, m-RNA akan memungkinkan tubuh seseorang yang sakit menjadi ‘pabrik’ pembuat obat penawar infeksi alias protein yang dibutuhkan oleh tubuh bagi pemulihan.
Sebagai informasi, vaksin tradisional bekerja dengan menggunakan sedikit protein yang disuntikkan ke tubuh untuk melatih sistem kekebalan dalam melawan virus di masa depan yang memiliki protein yang sama.
Ada dua kelemahan vaksin tradisional. Pertama pembuatannya butuh waktu berbulan-bulan, dan skala waktunya terlalu lambat untuk memerangi epidemi yang muncul. Ini jelas nggak efektif, mengingat virus bermutasi secara eksponensial.
Disisi lain, m-RNA cukup mengkodekan fragmen protein ini dalam untai m-RNA tunggal, sehingga vaksinnya bisa dihasilkan dalam hitungan minggu.
Namun pada tataran teknis, apa semudah itu?
Begitu m-RNA disuntikkan ke dalam tubuh, ia akan memicu sensor kekebalan dan pendeteksi virus yang ada didalam tubuh seseorang. Akibatnya sel-sel berhenti memproduksi protein yang justru diperlukan dalam proses pengobatan.
Katakanlah jika molekul m-RNA berhasil masuk ke dalam sel tubuh, maka besar kemungkinan m-RNA tidak menghasilkan cukup protein yang diperlukan untuk penyembuhan.
Apakah m-RNA pernah diujicobakan pra-klinis?
Di tahun 1990, Dr. Katalin Kariko menerapkan m-RNA pada hewan, namun nyatanya justru memicu reaksi auto-imun pada tubuh hewan yang disuntikkan. (https://cen.acs.org/business/start-ups/mRNA-disrupt-drug-industry/96/i35)
Aliasnya, teknologi m-RNA terbukti nggak aman untuk dipakai, baik pada hewan apalagi pada manusia. Kalopun ada yang nekat ingin memakai teknologi m-RNA, setidaknya harus mengatasi 3 tantangan.
Pertama m-RNA harus berhasil menghindari reaksi kekebalan, lalu m-RNA harus berhasil harus masuk ke sel yang sesuai dan m-RNA kudu berhasil menghasilkan protein yang cukup signifikan bagi pengobatan.
Nah, dalam upaya menangani masalah tersebut, Moderna buat gebrakan dengan mempekerjakan Dr. Melissa Moore pada perusahaannya di tahun 2016. Dr. Moore adalah pemenang Nobel 1993 pada bidang Fisiologi/Kedokteran dengan karyanya RNA yang juga merupakan jebolan Medical School di MIT. (https://www.flagshippioneering.com/press/melissa-j-moore-ph-d-chief-scientific-officer-mrna-research-platform-moderna-elected-national-academy-sciences-2)
Dengan kata lain, Dr. Moore adalah spesialis pada bidang RNA.
Apa yang dilakukan oleh Dr. Moore dalam mengatasi hambatan teknologi m-RNA jika kelak digunakan?
Dr. Moore menggunakan nukleotida yang telah dimodifikasi seperti pseudouridine (sebagai pengganti uridine normal) untuk membantu m-RNA menghindari sel imun dan sensor intarseluler yang dapat mendeteksi RNA asing.
Apakah berhasil? Nah disini masalahnya.
Sejak Moderna telah mengumumkan penemuan vaksin C19 yang bernama m-RNA 1273 (24/2), sasus beredar Moderna melakukan by pass uji pra-klinis pada hewan, dan langsung ujicoba pada manusia (16/3).
Padahal secara medis uji pra-klinis mutlak diperlukan sebelum diujicobakan pada manusia.
Sebenarnya bukan itu juga dibalik ngototnya BG lewat Big Pharma dalam menggunakan vaksin berbasis m-RNA pada kasus C19. Teknologi m-RNA memiliki perangkat lunak digital, sehingga bisa berfungsi seperti sistem operasi pada komputer. (https://www.modernatx.com/sites/default/files/Moderna_The_Digital_Biotech_Company_White_Paper_6.22.17_FINAL.pdf)
Bisa dikatakan bahwa teknologi nano partikel (termasuk perangkat kecil) bisa disuntikkan ke dalam tubuh seseorang melalui m-RNA tadi sebagai sensor atau perangkat pemindai medis. Dan dalam prosesnya, hanya teknologi 5G yang mampu menjawabnya.
Jadi jelas kemana arahnya, kan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments