Oleh: Ndaru Anugerah
Banjir kembali menghantam ibukota. Tak tanggung-tanggung, sekitar 30 orang sudah meregang nyawa sebagai pembuka awal tahun 2020.
Apa penyebab banjir? Rusaknya ekosistem. Dari hulu, hilir hingga muara, semuanya rusak.
Sudah nggak sesuai dengan peruntukkan. Daerah Puncak yang seyogyanya dijadikan kawasan hutan lindung yang dapat menahan laju air hujan, telah beralih fungsi jadi kawasan Kawin Kontrak ala Timteng. Hutan kemudian dibabat demi hunian.
Di hilir, juga nggak kalah set. Sungai yang harusnya dijadikan saluran pembuangan air hujan ke laut, malah makin sempit saja lebarnya oleh karena maraknya pembangunan liar dibantaran sungai. Selain itu, di Jakarta yang namanya kawasan RTH juga makin susah ditemui.
Akibatnya, air hujan nggak bisa diserap oleh tanah. Lha semuanya beton, air mau lari kemana?
Di muara, masalah juga nggak kalah serunya. Begitu air mau dialirkan ke laut, eh lautnya diuruk buat dijadiin pemukiman dengan tema reklamasi. Terus kalo datang banjir, siapa yang disalahkan?
Sadar akan kondisi ini, Jokowi pernah mengatakan: “Jika saya ada di istana, maka penanganan banjir akan lebih mudah.” Pernyataan tersebut punya maksud, jika dan hanya Gubernur DK-nyaI adalah Ahok. Sinergitas akan terjadi dengan mudah. Ada kesesuaian ide dan gagasan.
Namun nasib berkata lain. Gabener-lah yang kini memimpin Jekardah. Dan komunikasi seketika nggak connect pada mantan menteri yang pernah dipecatnya.
Padahal, Jokowi Ahok sudah punya masterplan bersama yang namanya normalisasi sungai Ciliwung. Di hulu akan dibangun bendungan, di bagian hilir akan dilakukan normalisasi sungai selain dibuatnya sodetan kali Ciliwung. Yang namanya normalisasi ya pasti identik dengan penggusuran.
Apa guna normalisasi? Normalisasi kelak akan mengembalikan kondisi lebar kali Ciliwung menjadi 35-50 meter. Diharapkan kali Ciliwung akan dapat menampung air dari 200 m3/detik menjadi 570 m3/detik sehingga air nggak akan sampai meluber ke daratan.
Ini diperkuat dengan rencana pembuatan sodetan Ciliwung. Rencananya sodetan akan menghubungkan kali Ciliwung dari wilayah Bidara Cina ke Kanal Banjir Timur (KBT). Sodetan ini diperlukan agar debit air yang sangat lebat sekalipun kelak akan bisa diarahkan ke KBT.
Jadi, walaupun proyek reklamasi di muara tetap jalan, kelebihan stok air sebanyak apapun akan tetap bisa ‘dikontrol’ dengan adanya rekayasa bertajuk normalisasi sungai plus sodetan.
Begitu kira-kira rencana awalnya, hingga sang gabener merombak susunan masterplan yang ada.
Yang paling sederhana, sedianya masalah pembebasan lahan dibantaran kali Ciliwung yang ditarget sebagai proyek normalisasi, tidak juga dilakukannya. Dari 33 km, baru 16 km yang dikerjakan. Itupun Ahok yang mengerjakan. Aliasnya, selama 2 tahun sang Gabener praktis nggak kerja apa-apa buat normalisasi.
“Yang kami inginkan adalah naturalisasi, bukan normalisasi,” begitu kilahnya. Ujung-ujungnya, AB malak Jokowi sekitar 6 trilyunan untuk proyek naturalisasi-nya, dan tentu saja ditolak.
Kok ditolak?
Pertama, pemda tidak berhak mengurusi sungai karena sungai memang wewenang pemerintah pusat. PP No.38/2011 adalah dasar hukumnya. Kalopun mau ngotot, maka kewenangan pemda DKI hanya sebatas bantaran sungai alias pembebasan lahan yang menunjang program normalisasi.
Kedua, normalisasi adalah program yang sudah ada kajian akademisnya terlebih dahulu. Jadi bisa dieksekusi melalui program. Sedangkan naturalisasi, kan belum ada kajian akademisnya. Hanya sebatas teori semata yang otomatis belum bisa dijadikan program untuk diimplementasikan. Kok tiba-tiba minta duit Jokowi?
“Bagaimana bisa mengelola air dengan konsep RTH ala naturalisasi, lha wong ruang terbuka-nya aja nggak kunjung digarap serius.”
Tahu kenyataan yang ada, bukannya sadar sang gabener buat langkah blunder. Proyek normalisasi Jokowi terpaksa jalan ditempat akibat diboikot oleh sang Gabener. Upaya pembebasan lahan dibantaran kali Ciliwung, tidak dilanjutkan. “Ente gak kasih fulus, ana bakal boikot frogram ente.”
Hal ini bisa terjadi, karena ada UU otonomi daerah yang memungkinkan proyek pemerintah pusat bakal bisa ditampik oleh pemerintah daerah dibawahnya.
Dengan curah hujan tinggi dibilangan 377 mm (padahal batas wajarnya cuma 150 mm) plus air kiriman dari daerah hulu dan banyaknya sampah saat musim kemarau yang lalu, maka banjir awal tahun menjadi peristiwa yang tak terelakkan.
Kembali jurus muter-muter ala gasing yang dikeluarkan sang Gabener yang ujungnya nggak mau disalahkan atas kejadian yang menimpa warga Jakarta, dan malah cari kambing hitam.
“Sebenarnya naturalisasi itu cuma alasan saja. Tujuan utamanya menolak proyek normalisasi adalah politis semata,” demikian ungkap seorang.
Bayangkan, jika proyek normalisasi disukseskan oleh seorang AB, apa yang terjadi kemudian?
Warga bantaran kali Ciliwung yang digusur, tentu tidak akan mau memilih sang Gabener yang akan melaju di 2024 nanti. Stigma “gubernur tukang gusur” itulah yang dihindari dari seorang Anies. “Banyak ruginya ketimbang untungnya.”
Jangan heran, walaupun menabrak logika yang ada, atas nama elektabilitas semua akan dilakukannya sang gebener demi syahwat berkuasa.
Jadi tahu kan, kenapa anggaran penanggulangan banjir kerap dipangkas oleh Gabener saban tahunnya. Kenapa? Yah dalam rangka 2024 tadi.
Dan sekali lagi, jualan sang Gabener pada 2024 nanti adalah pernyataan populis.
“Dulu, waktu saya jadi gubernur DKI, dan Jokowi selaku presiden meminta saya menggusur pemukiman warga yang ada di bantaran kali Ciliwung atas nama normalisasi, tetap tidak saya lakukan. Karena apa? Keberpihakkan saya pada masyarakat miskin.” Begitu kurleb skenario-nya.
“Nggak laku bang, jualan retorika model begitu lagi buat pilpres 2024?”
We’ll see… Karena dengan modal kepandaian merangkai kata sang Gabener ditunjang oleh mesin politik para pengasong khilafah, ibarat tahi kebo akan bisa disulap jadi coklat dengan cukilan ayat-ayat suci.
In the meantime, terima atau nggak popularitas AB makin meroket seiring datangnya banjir.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments