Jiwasraya Gate


507

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada 1859, Belanda yang kala itu menjajah Indonesia mendirikan perusahaan asuransi partikelir. Setelah Indonesia merdeka, perusahaan swasta tersebut dinasionalisasi oleh pemerintah Soekarno di tahun 1960an dan dijadikan BUMN. Perusahaan itulah yang kini bernama Jiwasraya.

Selaku BUMN, kiprah Jiwasraya lumayan moncer dengan berbagai penghargaan bergengsi yang pernah diraihnya. Mulai dari lembaga sekelas Markplus, Infobank hingga majalah investor, pernah memberikan penghargaan bagi Jiwasraya.

Dan belakangan ada juga tuh penghargaan dari BUMN Branding and Marketing Award 2018 dalam kategori sebagai The Best Product Development di sektor finansial.

Tak tanggung-tanggung, penghargaan tersebut menyeret nama kondang Prof. Rhenald Kasali sebagai ketua tim dewan juri Award tersebut kala itu.

Tim juri menilai performa perusahaan berdasarkan kinerja keuangannya di tahun 2017 yang konon katanya berhasil membukukan keuntungan sebesar Rp. 2,4 trilyun. Maka, status ‘Kinerja Keuangan Sangat Bagus’ tak ragu disematkan kepada Jiwasraya sebagai perusahaan dengan kondisi finansial prima.

Namun apa lacur. Setelah ditenggarai adanya ketidakberesan, PricewaterhouseCooper mengaudit ulang Jiwasraya di tahun 2018 dan hasilnya sungguh diluar dugaan. Ternyata margin keuntungan yang didapat hanya sekitar Rp 360 milyar, bukan trilyunan seperti yang dirilis sebelumnya.

Dan tipa-tipu tersebut berujung pada fase gagal bayar polis nasabah sebesar Rp. 13,7 trilyun pada September 2019 silam. Angka yang hampir dua kali lipatnya skandal bank Century yang hanya berkisar 7,4 trilyun rupiah.

Jadilah Jiwasraya sebagai skandal asuransi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.

Pertanyaan sederhana: kok bisa Jiwasraya merugi demikian besar?

“Jiwasraya mengalami kerugian karena banyak hal,” tukas seorang pengamat keuangan.

Sebagai imbas krismon 1998, banyak perusahaan yang kesulitan likuiditas mengingat nilai tukar rupiah yang anjlok drastis terhadap dollar AS kala itu. Ditenggarai, manajemen Jiwasraya saat itu mengalihkan investasi dalam mata uang rupiah yang memberikan iming-iming bunga hingga mencapai 60%.

Apesnya, nilai rupiah malah terjun bebas terhadap dollar. Dan sialnya, pemerintah nggak memberikan bantuan keuangan berupa dana talangan (bailout) kepada Jiwasraya, karena Jiwasraya bukan perusahaan perbankan melainkan perusahaan asuransi.

Pusing bin panik dengan keadaan keuangan yang carut marut secara menahun, maka pada 2006 Jiwasraya mulai bermain di sektor investasi. Caranya?

Jiwasraya menjual produk JS Saving Plan (bancaassurance) yang menjanjikan pengembalian kembali dana yang sudah diinvestasikan dengan marjin keuntungan yang sangat besar kepada para nasabah. Tak tanggung-tanggung. Bunganya di atas rata-rata dikisaran 6,5-10%. Gimana nasabah nggak kepincut?

Singkat kata, dengan penjualan produk saving tersebut, terkumpul angka Rp. 53,27 trilyun. Padahal produk saving yang ditawarkan tersebut, prinsip-nya sama aja dengan skema Ponzi alias penipuan berkedok investasi.

Dana yang didapat kemudian dikelola untuk membeli saham kacang goreng (junk stocks) yang diharapkan bakal sehat dikemudian hari, dan bukannya dipakai untuk modal mengembangkan perusahaan. Aliasnya, manajemen Jiwasraya melakukan praktik perjudian dengan memakai dana para nasabahnya.

Bagi manajemen, yang paling penting, dana bisa dikumpulkan dari nasabah sebanyak-banyaknya.

Tercatat sebanyak 17 ribu nasabah baru, termasuk 474 nasabah asal Korea Selatan tertarik untuk membeli produk JS Saving Plan yang dijual Jiwasraya.

Tanpa disadari, saat jatuh tempo tiba, Jiwasraya nggak mampu mengembalikan uang para nasabahnya yang telah dipakai ‘berjudi’ tadi. Lha wong rugi melulu. Akibatnya, beramai-ramai nasabah yang mulai kehilangan rasa percayanya, menagih kliam yang dijanjikan Jiwasraya.

Inilah yang memicu tekanan likuiditas pada Jiwasraya akibat rush yang dilakukan oleh para nasabahnya yang meminta uang mereka dikembalikan.

Dan akhirnya fase gagal bayarpun tak terindahkan. Mau bayar pakai uang darimana, bray?

Seiring hebohnya Jiwasraya gate, berbagai spekulasi kemudian berkembang. Mulai dari keuangan perusahaan yang dipakai buat dana kemenangan Jokowi pada pilpres 2019 yang lalu, hingga permainan orang dalam istana yang konon melakukan aksi patgulipat pada skandal Jiwasraya tersebut.

Benarkah?

Kalo tuduhannya Jokowi telah menggunakan uang Jiwasraya guna kepentingan pilpres 2019, maka ini sungguh mengada-ada. Bukankah Jokowi sebagai petahana punya cukup dukungan dari kalangan pengusaha kakap yang sudah pasti bersedia mati-matian menyokong dana kampanyenya.

Ngapain juga pakai uang Jiwasraya yang cukup beresiko terhadap legalitas kepemimpinan keduanya?

Pernyataan jelas dan tegas juga sudah dikemukakan Jokowi.

Pertama bahwa skandal Jiwasraya sudah ada sejak 10 tahun yang lalu (18/12). Artinya bukan hanya di jaman beliau memerintah saja skandal tersebut terjadi. Kalo 10 tahun yang lalu, berarti era SBY lah sebenarnya masalah bermula.

Kedua menyangkut itikad pemerintah untuk menuntaskan masalah Jiwasraya melalui jalur hukum dengan melibatkan Kejaksaan Agung (5/1).

“Kalau kasus ini hanya dibuatkan pansus di DPR, maka upaya pemerintah untuk menciduk oknum yang menggarong uang negara akan sia-sia, karena pansus sarat muatan politisnya. Paling banter, uang nasabah dikembalikan, dirut-nya dicokok tapi aktor intelektualnya bisa tetap leha-leha.”

Menanggapi langkah yang akan diambil Jokowi, siapa pihak yang kelabakan? Paling gampang, siapa yang paling ngotot untuk diajukannya pansus di parlemen? Partai Cikeas, jawabannya.

“Kami mendukung keberadaan pansus (Jiwasraya) itu, supaya jelas,” ungkap Syarief (Waketum Demokrat) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (7/1).

Kicauan buzzer Demokrat sekelas Andi Arief di media sosial juga mengamini hal tersebut. “Menurut BPK ada perusahaan yg ditempatkan sahamnya oleh Jiwasraya, dan pemiliknya adalah Menteri BUMN,” demikian cuitannya (23/12).

Kenapa juga pihak Cikeas paling sengit dalam menanggapi kasus Jiwasraya?

Logikanya, siapa pihak yang dijadikan manajer investasi manakala Jiwasraya bermain diranah investasi? Dan pada saham perusahaan apa, investasi dominan diberikan?

Berdasarkan temuan, direksi Jiwasraya kala itu menempatkan dana nasabah pada saham-saham yang dikelola oleh Benny Tjokrosaputro seperti PT. Rimo Internasional Lestari Tbk, PT. Capitalinc Investment Tbk, hingga PT. Hanson Internasional Tbk.

BT sendiri merupakan pemilik Batik Keris yang melegenda. Hubungannya dengan dinasti Cikeas dijalin saat BT ‘memberikan jalan’ seorang Annisa Pohan sebagai brand ambassador produk Batik Allure yang dimilikinya. Saat itu ibu Ani SBY menjabat sebagai Ketua Yayasan Batik Indonesia.

Sapa juga yang nggak kesengsem kalo mantu-nya kemudian dijadikan brand ambassador produk yang akan siap go international, kala itu. Dan upaya BT tersebut sukses membuka jalan hubungan yang kian intens dengan pihak Cikeas.

Bersama dinasti Cikeas, BT kemudian mendirikan PT Power Telecom (PowerTel), dimana sang adik (Dicky Tjokrosaputro) ditaruh sebagai Dirut-nya, dan adik ipar SBY (Hartanto Edhie Wibowo) dijadikan Komisaris Utama-nya. Tak ketinggalan, Roy Suryo sebagai kader andalan Cikeas, juga diangkat sebagai komisarisnya.

Kalo kemudian perusahaan milik BT seperti PT. Hanson Internasional Tbk dijadikan tempat berlabuh uang para nasabah oleh direksi Jiwasraya saat Pepo masih berkuasa, yang kemudian berujung kerugian hingga trilyunan, apakah ini faktor kebetulan semata?

Entahlah.

Satu yang pasti. Ssasus yang saya dengar kalo Jokowi amat berniat untuk menuntaskan Jiwasraya Gate, whatever it takes. Makin ngeri-ngeri sedap aja, Bambang….

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!