Ambisi Neo-Ottoman
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa tujuan utama dari seorang Erdogan untuk terlibat secara aktif pada serangkaian intervensi geopolitik mulai dari Suriah hingga Azerbaijan? Nggak lain adalah ambisi sang Sultan untuk mendirikan kekaisaran Neo Ottoman dibawah kepemimpinannya. (baca disini)
Apakah ambisi sang Sultan bisa terwujud? Sepertinya nggak semudah membalikkan telapak tangan. Kenapa? Karena ekonomi Turki kini babak belur.
Di akhir Oktober lalu, Lira sudah anjlok sekitar 3% dalam sehari karena bank sentral Turki nggak mau menurunkan tingkat suku bunga seperti yang diminta Erdogan. Sehingga dalam tahun 2020 ini saja, nilai Lira anjlok 26% terhadap dollar AS. (https://www.rappler.com/business/turkish-lira-us-dollar-exchange-rate-october-26-2020)
Ini bukan yang utama, mengingat tingkat inflasi di Turki juga telah mencapai 12%. (https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2020/11/turkey-bosses-scared-speak-up-crisis-deepen-usd-turkish-lira.html)
Melihat gelagat nggak beres, banyak investor asing mulai ambil ancang-ancang untuk migrasi keluar dengan cara melikuidasi saham dan obligasi Turki yang dimilikinya. (https://ahvalnews.com/turkish-economy/foreign-investors-withdraw-7-billion-turkeys-bond-market-wsj)
Itu baru dari Lira. Belum lagi dari sektor pariwisata yang jadi andalan Turki. Dipicu oleh adanya lockdown di mayoritas negara (terutama Eropa), maka wisatawan yang datang ke Turki anjlok sekitar 70% dibandingkan dengan angka tahun lalu. (https://seenews.com/news/foreign-tourist-arrivals-to-turkey-drop-by-71-yy-in-aug-715131)
Dengan kondisi ini, yang paling mungkin dilakukan Turki adalah menggenjot ekspor, biar dapat ‘hard currency’. Cuma masalahnya, mau jual barang kemana dengan adanya banyak pembatasan akibat lockdown dimana-mana?
Pada sisi utang luar negeri, juga nggak kalah serunya. Akibat nilai Lira yang anjlok, banyak perusahaan nggak mampu membayar pinjaman LN yang harus dibayar pakai dollar atau Euro. Sebagai gambaran, jumlah utang LN Turki mencapai USD 467 milyar di tahun 2018. (http://www.primeeconomics.org/articles/a-private-debt-story-republic-of-turkey-hires-mckinsey)
Ini nggak sebanding dengan cadangan valas yang dimiliki bank Sentral Turki yang jumlahnya sekitar USD 36 milyar dan total cadangan emas hanya sekitar USD 42 milyar. (https://atalayar.com/en/content/consultant-warns-turkey-will-run-out-foreign-currency-reserves-its-liabilities-week%C2%A0)
Ini jelas nggak stabil alias besar pasak daripada tiang. Nggak heran bila kemudian Moodys menurunkan peringkat utang Turki ke level ‘sampah’ (B2) pada September lalu. (https://www.cfo.com/global-business/2020/09/moodys-pushes-turkey-debt-rating-down-to-b2/)
Dengan kondisi ekonomi yang carut marut, Erdogan nggak punya pilihan selain memperbaiki kondisi perekonomiannya, agar pada pemilu 2023 dia bisa melenggang kembali.
Tapi kenyataannya justru berbeda. Alih-alih menghemat anggaran buat menyelamatkan ekonomi, sang Sultan malah menggelontorkan dana jumbo ke sektor pertahanan demi mewujudkan ambisi Neo Ottoman-nya.
Dengan sesama anggota NATO saja (Siprus dan Yunani), Erdogan sudah ambil langkah konfrontatif karena urusan gas. (https://foreignpolicy.com/2020/09/10/turkey-greece-cyprus-no-gas-no-war-in-the-mediterranean/)
Ini belum selesai, Erdogan kembali kasih sokongan ke Libya yang dipimpin oleh klan Ikhwanul Muslimin, guna melawan serangan militer dari Jenderal Haftar yang disokong oleh Rusia, Mesir, UEA dan Perancis. (http://www.vijayvaani.com/ArticleDisplay.aspx?aid=5499)
Belum lagi langkah Turki di Suriah yang bertujuan untuk memerangi suku Kurdi yang dapat ‘sokongan’ dari Perancis. (https://www.middleeastmonitor.com/20200506-france-delegation-secretly-meets-syrian-kurdish-militias-encourages-unity/)
Dan yang terakhir adalah langkah Erdogan dalam menyokong Azerbaijan untuk berkonflik dengan Armenia di Nagorno-Karabakh. (https://www.npr.org/2020/10/02/919467165/nagorno-karabakh-turkeys-support-for-azerbaijan-challenges-russian-leverage)
Kebayang dong, gimana nggak babak belur ekonomi Turki karena ambisi Neo-Ottoman sang Sultan?
Lantas, dapat duit darimana lagi guna menutup defisit yang ada, wong Erdogan nggak mau terima utangan dari sang Ndoro besar? (https://worldview.stratfor.com/article/turkey-refusing-imf-funds)
Bagaimana dengan peran China di Turki sebagai ‘juru selamat’?
China memang berkomitmen untuk membantu Turki, setelah Erdogan menolak untuk mengutuk perlakuan Tiongkok terhadap umat muslim di Uyghur. Padahal dulu Erdogan paling keras menuding China melakukan operasi genosida bagi komunitas Muslim di Uyghur. (https://www.scmp.com/news/china/diplomacy/article/3019630/turkish-president-recep-tayyip-erdogans-happy-xinjiang)
Kenapa sikap Erdogan bisa melunak? Uang adalah jawabannya.
Sebagai gambaran, Turki masuk jalur BRI China (untuk proyek kereta cepat dan juga dermaga) sehingga Beijing berjanji untuk kasih kucuran dana sekitar USD 5 milyar. (https://www.gtreview.com/news/asia/turkey-inks-us5bn-bri-agreement-with-sinosure/)
Let’s say China mewujudkan komitmennya bagi Turki dengan menggelontorkan dana, namun jumlah uang yang digelontorkan tetap nggak akan menolong bagi Lira yang saat ini dianggap sebagai mata uang sampah. Belum lagi jumlah utang LN yang harus dibayarkan Turki.
Dengan kata lain, Erdogan harus legowo menarik pengaruh geopolitiknya yang terkenal boros anggaran tersebut. Dan ini jelas bukan pilihan mudah bagi sang Sultan.
Akankah ambisi Neo-Ottoman yang dicita-citakan sang Sultan pada 2023 nanti akan terkubur dengan situasi saat ini? (https://geopoliticalfutures.com/as-turkeys-economy-goes-so-goes-its-ambitions/)
Ibarat main poker, kartu apalagi yang akan dimainkan oleh sang Sultan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments