Annelies Marie Frank atau yang biasa dikenal sebagai Anne Frank adalah seorang Yahudi korban kekejaman Holocaust saat pendudukan Nazi Jerman. Yang menjadikannya terkenal adalah buku harian yang ditulisnya “The Diary of a Young Girl” yang ditelah diadaptasi menjadi sejumlah drama dan layar lebar.
Terlahir di Frankfurt, Jerman tapi Anne Frank harus menjalani sebagian besar masa hidupnya di Amsterdam Belanda, karena kehilangan status kewarganegaraannya akibat diburu oleh Nazi. Buku hariannya sendiri berkisah tentang persembunyiannya ketika Jerman menduduki Belanda semasa Perang Dunia II.
Entah terinspirasi dengan kisah Anne Frank, terbitlah artikel berjudul ‘Anne Frank dari Aleppo Timur’ pada edisi 19-25 Desember 2016 Majalah Tempo. Rujukannya bukan main-main, sumber-sumber internasional semisal The Star, The Telegraph dan New York Times.
Apa isi artikel itu?
Berkisah tentang seorang anak berusia 7 tahun yang bernama Bana Al Abed yang ada di Aleppo. Nah ceritanya, tuh anak giat nge-tweet dan selalu menyajikan laporan langsung dari Aleppo. Dikisahkan bahwa dia dan keluarganya dalam kondisi terancam akibat ulah bombardir tentara Suriah dan Rusia terhadap penduduk sipil di Aleppo.
Setelah ditelusur, Bana Al Abed yang masih belia itu, sudah memiliki 200 ribu follower di akun Twitter-nya. Lebih dalam lagi penelusuran, ditemukan bahwa tuh akun ternyata baru dibuat pada September 2016. Kebayang gak, belum ada setahun follower-nya sudah mencapai 200 ribu?
Ternyata selidik punya selidik, follower pertama Bana adalah jurnalis Aljazeera yang bernama Abdul Aziz Ahmed. Bukan itu saja. pengecekan di akun Facebook dan Twitter-nya, menegaskan bahwa orang tua Bana ternyata adalah anggota kelompok pemberontak yang berafiliasi pada teroris di Suriah.
Bana juga pernah berfoto dengan jurnalis Hadi Abdallah, yang kedapatan tengah berpose bersama pasukan Al Nusra dan salah satu pimpinan pasukan teror di Suriah Abdullah al-Muhaysini yang berasal dari Saudi.
Bukan itu saja, anggota keluarga Bana juga pernah berfoto akrab dengan Mahmoud Rslan, sang fotografer Omran Daqneesh (=bocah Suriah yang duduk di kursi oranye). Rslan juga kedapatan pernah berfoto dengan Norouddin Zinki sambil tertawa riang. Zinki adalah penggorok bocah Palestina yang bernama Abdullah Isa.
Kasus yang lain adalah dokter Saleyha Ahsan, seorang kontributor BBC. Ahsan pernah tampil pada film dokumenter yang dibesut oleh BBC yang berjudul ‘Saving Syria’s Children’. Film tersebut berkisah tentang serangan senjata kimia di Umm Al Kubra, Suriah yang menyasar anak-anak.
Setelah ditelusur lewat akun Facebook-nya, Dr. Saleyha Ahsan ternyata pernah berpose dengan kelompok Mujahiddin Libya, yang turut menggulingkan Qadaffi. Saya pernah ulas tentang siapa kelompok yang bermain di Libya.
Apa yang bisa disimpulkan? Kedua orang tersebut adalah aktor hoax.
Hoax adalah senjata yang paling efektif untuk menggulingkan sebuah rejim. Dan hoax bukanlah barang murahan. Sasus beredar, bahwa biaya yang digelontorkan untuk menggiring opini internasional untuk percaya kebenaran berita di Libya dan Suriah, nilainya mencapai jutaan dollar AS.
Siapa pendananya? Saya sudah sering mengulasnya.
Untuk apa hoax dihembuskan?
Pertama membangkitkan emosi massa, kedua untuk mendapatkan sokongan dan yang terakhir sebagai tahap inisiasi perang asimetrik, dimana isu harus lebih dulu tercipta untuk selanjutnya dikembangkan ke aksi massa secara masif. Kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet adalah salah satunya.
Kemudian hoax apa yang paling sering dinarasikan?
Yang paling sering adalah ekpos kekerasan sebuah rejim ataupun hilangnya empati terhadap penderitaan orang. Ini sudah dicoba di Libya dan Suriah, dan mendulang sukses berat.
Ada lagi bentuk hoax yang sengaja diciptakan, yaitu penghinaan terhadap ajaran tertentu dan juga menebar ketakutan. Untuk kasus yang pertama sudah memakan korban di gelaran pilkada DKI, sedangkan yang kedua masih on going process.
Akankah hoax itu terhenti? Menurut analisa saya, jelang pilpres 2019 tingkat penyebaran hoax akan semakin masif, dan akan bervariasi menunya di setiap bulannya. Karena ada yang telah terjadi di Libya dan Suriah, aktor intelektual dan jaringannya kini tengah ada di Indonesia.
Enjoy the show…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments