Saat Assad Dipaksa Angkat Koper (*Bagian 3)
Oleh: Ndaru Anugerah – 16122024
Pada tulisan terdahulu, kita sudah bahas tentang bagaimana sosok Bashar yang berhasil dilikuidasi pasukan jihadis hanya dalam hitungan hari. Ini cukup membingungkan banyak pihak mengingat Bashar bisa menjaga Suriah lebih dari 2 dekade, kok bisa lengser dalam waktu singkat? (baca disini dan disini)
Lantas apa yang menyebabkan Suriah menjadi wilayah yang cukup ‘seksi’ untuk diperebutkan banyak pihak, utama-nya Iran, Turki dan tentu saja Israel?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu tarik ke belakang. Tepatnya pada Juli 2011, Iran, Irak dan Suriah menandatangani kesepakatan pembangunan jaringan pipa gas besar. Rencana itu sendiri telah dibicarakan jauh-jauh hari sebelum penandatanganan tersebut.
Ini merupakan kesepakatan pembangunan jaringan pipa gas terbesar di Timur Tengah, dimana Iran rencananya akan menyalurkan gas-nya melalui ladang gas South Pars ke Eropa melalui Lebanon dan Laut Mediterania. (https://www.tehrantimes.com/news/302058/Iran-Iraq-Syria-sign-major-gas-pipeline-deal)
Berdasarkan kesepakatan itu, gas Iran akan disalurkan ke Yunani dan negara-negara Eropa lainnya melalui jaringan pipa sepanjang 6000 kilometer yang melintasi Irak, Suriah dan Lebanon serta di bawah Laut Mediterania.
Biaya proyek pipa gas itu juga bukan kaleng-kaleng, karena keseluruhan biaya diproyeksi sekitar USD 10 miliar dengan waktu pengerjaan sekitar 2-3 tahun.
Dan jika rencana ini berjalan sesuai rencana, maka Iran akan bisa mengekspor gas-nya ke Eropa dengan kapasitas produksi hingga 250 juta meter kubik per harinya.
Bayangkan jika rencana itu sukses direalisasi, berapa keuntungan yang didapat Iran ditengah embargo ekonomi AS yang diterapkan pada negara Mullah itu? Lalu apa dampaknya bagi Israel dan Turki?
Menjadi masuk akal jika upaya destabilisasi Suriah digelar di 2011, dengan pretext demonstrasi sekelompok remaja di kota Daraa yang berencana menggulingkan rezim Bashar Assad. (https://www.bbc.com/news/world-middle-east-13291358)
Siapa kelompok-kelompok yang bermain dalam proyek Arab Springs di Suriah? Bukankah rencana mereka dengan memporak-porandakan Suriah dibawah rezim Bashar, otomatis akan mengkandaskan mimpi Iran untuk menjual gas-nya sekaligus berebut pengaruh di TimTeng?
Di sisi yang lain, Israel yang punya ambisi dalam memperluas wilayah-nya demi mewujudkan Kekaisaran Israel Raya, tentu nggak akan berdiam diri dalam melihat Iran ‘menguasai’ Suriah.
Selain itu, upaya menaklukkan Suriah juga merupakan bagian dari rencana Oded Yinon yang nggak bisa ditawar-tawar. Masa iya Oded Yinon Plan menjadi tidak utuh sesuai masterplan awal gegara Suriah gagal ditaklukkan Israel? (baca disini dan disini)
Lalu apa kepentingan Turki atas Suriah?
Tentu saja untuk kepentingan ekspansi wilayah-nya. Anda jangan lupa ambisi seorang Erdogan yang kini didaulat sebagai sultan, untuk bisa menjadikan Turki sebagai kekaisaran Ottoman di dunia. (https://www.theglobalist.com/erdogan-sultan-of-an-illusionary-ottoman-empire-turkey/)
Dan bila ini terlaksana, maka ambisi Erdogan tidak hanya dapat menguasai Suriah melainkan akan mencaplok wilayah Palestina yang kini berada dalam ‘genggaman’ Israel.
Kebayang dong, bagaimana jika kemudian kedua kekuatan besar ini saling ‘bertemu’ untuk mewujudkan rencana-nya masing-masing.
Kita bisa katakan bahwa yang terjadi di Suriah saat ini, dimana Israel dan Turki saling bahu membahu dalam menggulung rezim Bashar (karena punya kepentingan taktis yang sama), ke depan dapat saling bacok karena masing-masing punya ambisi yang saling berbenturan.
Jika saat ini kedua pihak, Israel dan Turki bisa saling bagi kapling pada wilayah Suriah, itu sah-sah saja karena memang mereka-lah yang sejatinya mendukung para jihadis Hayat Tahrir el-Sham pimpinan Mohammad Jolani tersebut. (https://responsiblestatecraft.org/aleppo-assad/)
Anyway, apa yang terjadi di Suriah hari ini, sudah saya prediksi sekitar 4 tahun silam, tepatnya saat pemerintahan Biden berkuasa di AS. Saya katakan bahwa kebangkitan kelompok jihadis sebagai proxy, hanya tinggal tunggu waktu saja. (baca disini dan disini)
Jadi kalo jihadis sekelas Hayat Tahrir el-Sham bisa muncul ke permukaan setelah sekian lama, karena memang ada campur tangan AS di dalamnya. (https://thegrayzone.com/2019/10/16/us-backed-crazy-militias-turkeys-invasion-syria/)
Lalu apa yang bakal terjadi di Suriah pasca jatuhnya Bashar?
Kekacauan itu pasti terjadi. Ketiga pihak (Turki, Israel dan Iran) yang berkepentingan pasti akan memainkan skenario-nya masing-masing dalam menguasai Suriah. Disitulah kompleksitas bakal muncul ke permukaan.
Bahkan Turki sendiri telah berani mengutuk Israel atas aksi ‘pendudukan’ Dataran Tinggi Golan yang ada di Suriah. (https://www.telegraph.co.uk/us/comment/2024/12/12/turkey-seeking-domination-syria-why-does-israel-get-blame/)
Kok bisa?
Karena bagi Turki, kerjasama taktis dengan Israel telah berakhir, dan kini saatnya Turki mewujudkan rencana Ottoman mereka.
Bagi Israel sendiri, mereka punya kepentingan agar Suriah bisa terbagi atas beberapa wilayah berdasarkan etnis dan agama, sesuai dengan cetak biru Oded Yinon Plan. Bakal ada pengkaplingan. (https://countmetalmind.substack.com/p/the-zionist-plan-for-the-middle-east?utm_campaign=post&utm_medium=web)
Belum lagi Iran yang telah kehilangan zona penyangga-nya di Suriah.
Sudah rahasia umum jika Suriah adalah wilayah penyangga yang digunakan Iran untuk mengantar persenjataan kepada kelompok Hizbullah yang ada di Lebanon. Dengan jatuhnya Suriah, bagaimana Iran bisa mempersenjatai laskar Hizbullah mereka di Lebanon? (https://theconversation.com/assads-fall-in-syria-will-further-weaken-hezbollah-and-curtails-tehrans-iranization-of-region-245606)
Ditambah lagi potensi kerugian ekonomi, jika rezim yang berkuasa di Suriah kelak (sepertinya) nggak berkenan terhadap jalur pipa gas Iran yang ada di negara tersebut. Bisa berabe, bukan?
Satu hal pasti yang bisa disimpulkan dari jatuhnya rezim Bashar. Bahwa kekaisaran Anglo-Saxon nggak akan runtuh dalam waktu dekat untuk digantikan tatanan pemerintahan global dibawah BRICS. Itu nggak akan terjadi.
Kenapa?
Karena kekaisaran Anglo-Saxon sangat dibutuhkan untuk mendukung Israel agar cita-cita The Greater Israel di TimTeng, bisa tercapai. Dan selama ada intervensi ini, maka kekuatan pasukan jihadis ondel-ondel akan terus ada, karena mereka dibutuhkan untuk memecah belah komunitas di TimTeng dengan aliran sektarian yang mereka usung.
Silakan baca ulasan saya tentang hal ini. (baca disini dan disini)
Lantas, yang bodoh siapa?
Ya warga TimTeng yang mau dikotak-kotak oleh aliran mazhab atau etnisitas yang mereka miliki. Padahal kalo mereka berpikir waras, untuk tidak bersikap sektarian, apa bisa baik Israel maupun Turki mengocak-acik wilayah mereka menggunakan proxy jihadis ondel-ondel?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)