Presiden Minoritas
Bicara tentang Singapura sebagai sebuah negara, cukup menarik memang. Gimana nggak? Economist Intelligence Unit menempatkan negara ini pada peringkat pertama negara dengan kualitas hidup terbaik di Asia dan kesebelas di dunia. Parameter yang dipakai antara lain: pendidikan, kesejahteraan sosial, dan persamaan dalam hukum dan pemerintahan. Cukup? Dalam bidang pendidikan, juga tidak kalah membanggakan. Singapura mampu mencapai peringkat tertinggi dalam pendidikan internasional. Adalah PISA alias Programme for International Student Assessment sebagai lembaga yang membuat standar pendidikan internasional bagi remaja usia 15 tahun, yang dibesut oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) yang menempatkan Singapura pada posisi teratas dalam bidang matematika, membaca dan sains, melebihi posisi negara-negara Eropa, Amerika dan bahkan negeri Cung-kwo. Bahkan Andreas Schleicher, direktur OECD, mengatakan bahwa sistem pendidikan Singapura tidak saja melakukannya dengan baik saat ini, tetapi juga sudah berhasil melangkah jauh ke depan. Emejing, kan?
Mungkin hal inilah yang menjadikan, segala sesuatu menjadi lebih mudah diterapkan. Yah betul, taraf pendidikan yang sudah mumpuni. Dengan taraf pendidikan yang sudah demikian maju, maka sekat feodalisme alias politik identitas seperti suku, agama dan ras antar golongan (SARA) menjadi tidak relevan lagi untuk diperdebatkan. “Lha wong negara aja nggak rasis, ngapain kita rasis dan ngurek-ngurek pemerintahan yang sudah berjalan di rel yang benar?” demikian pikir warga Singapura. Pertanyaannya: apa bukti negara tidak rasis?
Belum lama ini, seorang wanita muslim yang bernama Halimah Yacob (62 tahun), dipilih lewat proses non-pemilu sebagai presiden Singapura untuk masa jabatan 6 tahun kedepan. Gimana bisa seorang yang beragama islam dipilih untuk menjadi seorang presiden ditengah mayoritas penduduk Singapura yang mayoritas etnis Cina (74,1%)? Bagaimana juga dia bisa terpilih dari gender wanita, mengalahkan gender pria? Gimana juga bisa seorang muslim didaulat memimpin penduduk yang mayoritas Budhis dan Kristen (50%)?
Kita bisa aja beretorika bla-bla-bla. Toh, kenyataan berkata demikian. Istri Mohammed Abdullah Alhabshee ini, terpilih untuk menduduki posisi presiden negara singa tersebut, secara aklamasi, setelah sebelumnya, kandidat pesaingnya tidak mendapatkan sertifikat kelayakan dari Departemen Pemilu Singapura. Proses terpilihnya kaum minoritas sebagai presiden tak lepas dari campur tangan PM Lee Hsien Loong, yang pada November 2016 silam telah berhasil mengubah konstitusi Singapura yang memungkinkan etnis minoritas meraih kursi kepresidenan. Alasannya sederhana, semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpolitik. Walhasil, voila…
Sejauh yang saya tahu, kalo bu Halimah ini, tergolong orang yang low-profile. Jabatan terakhirnya adalah ketua parlemen (DPR). Namun dia tak malu untuk bertempat tinggal di HDB flat alias (Housing and Development Board). Yah setara dengan rusun lah, kalo di Indonesia. Sungguh merakyat sekali. Mentalitas yang jauh beda kalo dibandingkan sama para politisi di Indonesia. Gak percaya? Liat tingkah mereka… Jalan ditempat macet, dikawal foreider biar gak kena macet. Tinggalnya di kompleks elite, boro-boro mana mau di rusun. Nikahan anaknya pake fasilitas negara, mumpung jadi pejabat. Wak-wauw binggo kan??
Walaupun jabatan presiden di Singapura, tidaklah seperti jabatan Perdana Menteri yang memiliki hak dan wewenang atas negara secara penuh, toh bukan berarti perannya tidak penting. Seorang presiden di negara Singa dapat memveto pengangkatan pejabat eselon di badan-badan pemerintah sekelas BUMN. Kebanyang, kan, kalo di posisi “lahan basah” perusahaan BUMN dipegang oleh orang-orang korup, gimana jadinya Singapura ke depannya? Ini bisa terjadi karena pendidikan karakter yang ada di Singapura sudah berjalan dengan baik. “Ngapain korupsi atau malah mendiamkan korupsi terjadi. Merem aja gaji sekelas bu Halimah gak kurang dari 3,5 milyar sebulan,” demikian seorang kolega saya berkomentar.
Anyway, selamat bertugas ya bu Halimah. The right woman on the right place. Gak kebayang jadinya kalo bu Halimah ada di Indonesia. Jangankan maju, baru mau melangkah aja udah dijegal. Dari mulai: “Gak boleh pilih pemimpin wanita, sampe Bukan berasal dari partai sorga.” Hadeuw…
Proses demokratisasi di Indonesia terhambat karena tingkat pendidikan Indonesia yang masih sangat rendah. Bayangkan, hanya peringkat 63 di PISA. Pada saat yang sama, peran pendidikan yang rendah digantikan dengan dakwah agama yang cenderung memprovokasi. Kondisi ini diperparah dengan adanya gadget. Tercatat sekitar 250 juta orang Indonesia adalah pengguna hengpon. Banyak binggo, kan? Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Harvard University mengatakan: Gadget jika digunakan oleh orang yang rendah tingkat intelektualitasnya, maka akan menjadi senjata yang mematikan bagi masyarakat sekitar alias abuse of using, karena gak tau cara menggunakannya. Jadilah kaum goyang dombret merajalela. Provokasi dikit, dibungkus agama biar keliatan barokah, maka langsung viral deh di media sosial. Gak heran kalo hoax yang sifatnya provokatif makin banyak bertebaran dijagat sosmed, meskipun wan-bai-wan pelakunya telah dicyduk sama aparat keamanan.
Kok kek gini mulu, kapan majunya Indonesia yak?? Ahh, mendingan joget dahh: Baby shark dodododo…baby shark dodododo…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments