Polusi Udara di Planet Namek (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas bagaimana polusi udara bisa terjadi, termasuk di Planet Namek yang kini juga mengalami kondisi yang sama. (baca disini)
Lalu, darimana sembernya polusi udara tersebut, hingga kini belum ada kejelasan.
Maksudnya?
Beberapa pihak menyalahkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakunya. Buntut dari tudingan ini, maka beberapa PLTU terpaksa dihentikan operasinya, termasuk PLTU Suralaya yang ada di Cilegon, Banten. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20230904131855-4-468900/4-unit-pltu-dekat-jakarta-disetop-suplai-batu-bara-terimbas)
Pertanyaannya: apakah setelah ditutup sejak akhir Agustus silam, polusi udara otomatis berkurang signifikan?
Boro-boro. Bahkan bisa dikatakan, sejak penutupan PLTU dilakukan, polusi udaranya kini kian memburuk. (https://economy.okezone.com/read/2023/09/08/320/2879620/pltu-suralaya-dalam-kondisi-shutdown-kualitas-udara-jakarta-membaik)
Lagian, arah angin dari PLTU Suralaya Cilegon bukan mengarah ke Jakarta, melainkan ke Selat Sunda. Jadi terlalu premature menuduh PLTU sebagai biang keladinya.
Kalo bukan dari PLTU lantas apa?
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan angkat bicara menanggapi situasi ini. “Penyebab polusi udara bukan adanya PLTU melainkan sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil. Ini biang kerok utamanya,” begitu kurleb-nya. (https://news.republika.co.id/berita/rze1qo366/menteri-lhk-sebut-kendaraan-bermotor-penyebab-utama-polusi-udara)
Berdasarkan data, sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dalam hal penggunaan bahan bakar fosil. Sementara sektor industri energi berkontribusi sekitar 31% dan manufaktur cuma 10%. Sedangkan sektor perumahan dan komersial, hanya sekitar 15% saja.
Merujuk data tersebut, maka otomatis sektor transportasi menghasilkan emisi karbon monoksida tersebar sekitar 96,36% alias 28.317 ton per tahunnya. Sedangkan pembangkit listrik hanya 1,76% alias 5.252 ton pertahunnya.
Dengan kata lain, sektor transporasti-lah yang harusnya jadi biang keroknya dan bukan pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara.
Lantas kenapa kemudian PLTU-nya yang ditutup? Gaje, bukan?
Menariknya lagi, dilihat dari sektor transportasi tersebut, maka motor yang paling banyak menyumbang emisi gas polutan. Dikatakan bahwa motor menghasilkan beban pencemaran per penumpang paling tinggi ketimbang mobil pribadi atau angkutan umum.
“Di Planet Namek saja, polusi yang dihasiilkan mencapai 78%, yang bersumber dari 19,2 juta sepeda motor dengan pertumbuhan sekitar 1 jutaan per tahun-nya,” ungkap sebuah data. (https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/09/04/menyikapi-polusi-udara-di-jakarta-bersinergi-untuk-udara-bersih)
Mana yang benar sebagai sumber polusi udara?
Meneketehe. Yang pasti sejak adanya isu polusi udara tersebut, maka sekelas perdana menteri Planet Namek akhirnya buka suara.
“Guna meningkatkan kualitas udara di Jabodetabek, maka akan ada kebijakan yang menyangkut 3 sektor: transportasi, industri dan lingkungan hidup,” begitu ungkapnya. (https://www.antaranews.com/berita/3687003/luhut-sebut-fokus-di-tiga-sektor-perbaiki-kualitas-udara-jabodetabek)
Pada tataran teknis, maka upaya yang dilakukan pempus beragam mulai dari modifikasi cuaca, penggunaan scrubber alias pembersih polusi pada PLTU, pembagian jam kerja, mendorong penggunaan transportasi publik hingga percepatan kendaraan listrik.
Oalah, ternyata ujung-ujungnya jualan toh?
Lalu, siapa pihak yang merilis data pencemaran udara?
Nggak lain adalah World Health Organization (WHO). Badan dunia ini diklaim memiliki Database Ambient Air Quality yang mengumpulkan konsentrasi rata-rata tahunan polutan dari nitrogen dioksida hingga PM2,5 yang ditenggarai berkaitan erat dengan pembakaran bahan bakar fosil. (https://www.who.int/data/gho/data/themes/air-pollution/who-air-quality-database)
Menurut keterangan resminya, maka WHO akan mengadakan pembaharuan basis data pada stasiun-stasiun pengukuran polusi udara yang tersebar di lebih dari 120 negara tersebut. Sekedar info, database pada stasiun pengukuran polusi udara yang digunakan sejak 2011 silam tersebut, kini sudah memakai versi ke-6.
Ngapain WHO repot-repot mengukur tingkat polusi udara di dunia, termasuk di Planet Namek?
Karena ada target Sustaianble Development Goals (SDG) 11.6.2 tentang kualitas udara diperkotaan demi mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan. Disinilah peran WHO sebagai lembaga kustodian-nya.
Jadi paham ya, bagaimana status polusi udara diterapkan. Bukan oleh ororitas berwenang di Planet Namek melainkan WHO. Ini sama dengan status plandemi Kopit, dimana lembaga yang sama juga yang didaulat menggelar status darurat alias wajib lockdown.
Siapa yang bermain pada lembaga dunia tersebut lewat donasi yang digelontorkan?
Ada nama Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) sebagai lembaga pendonor terbesar kedua pada WHO, setelah pemerintah Jerman. Pada September 2021 silam saja, BMGF telah menggelontorkan uang sebanyak USD 780 juta pada badan dunia tersebut. Padahal pemerintah AS saja hanya mendonasikan sekitar USD 730 juta. (https://qz.com/2102889/the-who-is-too-dependent-on-gates-foundation-donations)
Dengan angka sebesar itu, apakah nggak ada kepentingan BMGF selaku bagian dari kartel sang Ndoro besar pada WHO?
Ini pertanyaan retorik. Tidak ada makan siang yang gratis, bukan?
Selanjutnya, jika suatu daerah dikatakan tercemar udaranya (atau untuk mengatasi polusi udara), maka akan ada lembaga lain yang mengurusi agar tingkat pencemarannya bisa ditanggulangi.
Salah satu yang paling ngetop adalah Bloomberg Philanthropies (BP) yang juga merupakan jaringan kartel sang Ndoro besar.
Saya pernah bahas tentang lembaga ini pada beberapa tahun silam. (baca disini)
Merujuk pada sepak terjangnya, BP telah menginvestasikan dananya dalam jumlah spektakuler kepada 10 negara di dunia dalam upaya mengurangi bahaya iklim yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil, dari mulai Bangladesh, Pakistan, Afsel, Turki hingga Vietnam. (https://www.nytimes.com/2022/05/17/climate/michael-bloomberg-climate-coal.html)
Lagi-lagi, jangan anda pikir dana jumbo yang digelontorkan ibarat uang yang dibakar lho ya?
Pasti akan ada timbal baliknya.
Rumusnya: makin banyak dana digelontorkan, maka ‘tumbal’nya juga makin besar.
Nah, di Planet Namek, BP telah menjalin kemitraan dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dalam komitmen bersama untuk transisi energi yang ramah lingkungan sejak 2019 silam. (https://www.bloomberg.org/press/bloomberg-philanthropies-and-pt-sarana-multi-infrastruktur-persero-expand-partnership-to-accelerate-indonesias-clean-energy-transition/)
Kalo sudah begini, maka sudah pasti net zero carbon yang bakal dibidik, sehingga dengan alasan apapun maka penggunaan bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, menjadi tidak dibenarkan. Titik.
Itu sebab, seperti kata perdana menteri Planet Namek, percepatan kendaraan listrik merupakan keniscayaan yang harus segera direalisasikan. (https://en.antaranews.com/news/155882/luhut-believes-momentum-strong-now-for-developing-electric-vehicles)
Jadi clear, yah. Bahwasannya polusi udara layaknya plandemi Kopit, merupakan isu strategis yang bisa dimainkan kapan saja untuk menggolkan suatu tujuan. Kecuali anda sendiri yang menghitung tingkat pencemarannya.
Tujuan akhirnya adalah Pembangunan Berkelanjutan di 2030 mendatang, dengan harapan semua kendaraan bermotor yang kini anda punya bakalan masuk museum di tahun tersebut.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments