Itu Bukan Agresi (*Bagian 1)


521

Itu Bukan Agresi (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, Ukraina digempur sama pasukan Rusia. Apakah bakal ada perang besar di sana?” tanya seorang melalui kanal Telegram.

Pada beberapa hari yang lalu, saya keluarkan analisa terakhir saya tentang potensi konflik yang ada di Ukraina. Dibagian kesimpulan saya tegaskan bahwa perang nggak akan digelar, kecuali ada false flag operation sebagai bagian provokasi untuk menyulut konflik yang lebih besar. (baca disini)

Sebelum kita bahas bagian ini secara mendalam, ijinkan saya menyampaikan ‘sesuatu’ kepada pembaca khususnya yang ada di Wakanda, bahwa spirit membaca media alternatif adalah mencari data pembanding. Jadi prosesnya jangan dibalik.

Alih-alih mencari informasi pembanding, yang anda lakukan malah mencari kesalahan yang ada pada media alternatif tersebut, dengan menjadikan media mainstream sebagai rujukan utama anda.

Kalo begitu prosesnya, ngapain anda baca media alternatif, karena toh di kepala dan mindset anda yang selalu benar adalah informasi yang disajikan media mainstream?

Ok, sekarang kita coba jawab pertanyaan yang sudah dilayangkan di awal.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus lihat tinjauan historis, khususnya apa yang telah terjadi di Ukraina di tahun 2014 silam? Dan mengapa wilayah Donbass memegang peranan sentral pada situasi panas di Ukraina?

Pada November 2014, presiden Ukraina saat itu Viktor Yanukovych menolak untuk menandatangani perjanjian dengan Uni Eropa untuk melakukan perdagangan bebas. Ukraina lebih memilih dekat dengan Rusia, ketimbang harus masuk kedalam jaringan Barat. (baca disini)

Karena sikapnya ini, revolusi warna akhirnya digelar di Ukraina guna menumbangkan Yanukovych yang dinilai berseberangan dengan garis kebijakan Washington.

Di Februari 2014, kekerasan antara polisi dan pengunjuk rasa di alun-alun Maidan, menewaskan puluhan orang. Situasi akhirnya menjadi tidak terkendali dan menyebabkan lengsernya Yanukovych dari kursi kepemimpinannya. Pemerintahan baru-pun segera terbentuk di Ukraina. (https://www.mintpressnews.com/leaked-george-soros-puppet-master-behind-ukrainian-regime/206574/)

Melihat situasi yang kurang kondusif, Vladimir Putin segera mengirimkan pasukannya ke wilayah Krimea yang merupakan bagian dari Ukraina. Langkah ini diambil karena berdasarkan hasil referendum, 97% warga Krimea menginginkan untuk bergabung ke Rusia ketimbang masuk ke wilayah Ukraina.

Singkatnya, Rusia berhasil ‘mengamankan’ Krimea yang sejak 1954 masuk dalam wilayah Ukraina. Ini bukan tanpa dasar, mengingat hasil jajak pendapat yang dijadikan rujukan. (https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2014/03/18/291032917/putin-moves-to-annex-crimea)

Masalahnya nggak berhenti sampai disitu, mengingat wilayah Donbass lainnya yang letaknya di Timur Ukraina, juga menuntut status merdeka dari Ukraina. Presiden Ukraina saat itu, Alexander Turchinov, mengatakan bahwa pemerintahnya kehilangan kendali atas wilayah Donbass, terutama pada daerah Donetsk dan Luhansk.

Terlebih lagi, kedua daerah tersebut juga mengajukan referendum di tahun 2014 yang hasilnya menyatakan bahwa mayoritas penduduk menginginkan status merdeka, lepas dari kungkungan Ukraina. (https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2014/05/12/311808832/separatists-vote-to-split-from-ukraine-russia-respects-decision)

Pusing tujuh keliling mengatasi masalah ini, pemerintah Ukraina akhirnya memberikan status otonomi khusus pada kedua daerah tersebut. “Daripada memisahkan diri dari Ukraina?” pikirnya. (https://www.npr.org/sections/thetwo-way/2014/09/16/348943657/ukraine-approves-eu-pact-and-temporary-self-rule-for-rebels)

Namun itupun nggak mengakhiri masalah, karena belakangan aksi separatis yang membayangi wilayah Donetsk dan Luhansk, terus meningkat. Upaya militer yang dilakukan oleh pemerintah Ukraina juga nggak berhasil ‘menaklukkan’ daerah itu.

Akhirnya, perjanjian gencatan senjata digelar di Minsk, Belarusia pada September 2014 dan Februari 2015, antara pihak yang bertikai (khususnya penduduk Donetsk dan Luhansk dengan pemerintah Ukraina). Ini kelak dikenal dengan Minsk Protocol. (https://www.thesun.co.uk/news/17753268/what-minsk-agreement-russia-ukraine/)

Selain Rusia dan Ukraina, Minsk Protocol juga dihadiri oleh anggota Normandy Four lainnya, yaitu Jerman dan Perancis.

Satu yang perlu dicatat, bahwa Rusia sebagai salah satu penengah, nggak mengakui kedua republik tersebut. Bagi Rusia, masalah tersebut adalah urusan internal pemerintah Ukraina. Titik.

Apa hasil konkrit dari Minsk Protocol?

Salah satunya adalah jaminan keamanan bagi warga Donetsk dan Luhansk, dengan cara dibuatkan pagar pembatas antara kedua wilayah tersebut dengan pemerintahan Kiev.

Untuk itu OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) bertanggungjawab untuk mengawasi proses genjatan senjata antara pihak-pihak yang terlibat, selama Minsk Protocol diterapkan.

Pertanyaannya sederhana: proses gencatan senjata di wilayah Donbass, bisa berjalan apa nggak?

Nyatanya pemerintah Kiev selama ini menolak untuk melakukan negosiasi damai pada wilayah Donetsk dan Luhansk. Yang ada, pasukan Ukraina (plus pasukan Neo Nazi) malah menembaki wilayah tersebut yang mengakibatkan korban jiwa yang nggak sedikit.

Singkatnya, serangan militer yang digelar tentara Ukraina dan pasukan Neo Nazi selama delapan tahun terakhir, sedikitnya telah menewaskan lebih dari 13 ribu jiwa di wilayah Donbass. Laporan yang dirilis PBB menegaskan hal ini. (https://www.rferl.org/a/death-toll-up-to-13-000-in-ukraine-conflict-says-un-rights-office/29791647.html)

Nggak hanya itu, sebab Komite Investigasi Rusia pada Oktober 2021 silam, telah menemukan 5 kuburan massal pada wilayah Slavyanoserbsk dan Verkhneshevyrevka yang ada di kawasan Donbass.

Setidaknya ada sekitar 295 warga sipil (termasuk perempuan) telah menjadi target penembakan oleh tentara Ukraina. (https://www.republicworld.com/world-news/russia-ukraine-crisis/russia-opens-criminal-case-into-discovery-of-mass-graves-of-295-civilians-in-donbas-articleshow.html)

Kalo mau diringkas, ada upaya provokasi yang dilakukan oleh tentara Ukraina terhadap penduduk Donbass yang secara historis lebih dekat ke Rusia. Apalagi motivasinya selain menyulut konflik yang lebih besar?

Pada bagian kedua nanti kita akan lanjut pada akar masalah ‘aksi’ bersenjata yang dilakukan tentara Rusia pada Kamis kemarin (24/2), agar anda bisa memutuskan apakah narasi yang dibuat media mainstream tentang skenario agresi militer Rusia pada Ukraina, benar adanya atau malah sebaliknya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!