Kasus yang menimpa Meiliana, seorang wanita keturunan Tionghoa, menyentak perhatian publik. Bukan saja lokal, tapi yang komunitas internasional juga bereaksi. Tapi toh, tidak mengubah putusan hakim. Vonis 18 bulan sudah dijatuhkan. Banyak yang salawi alias semua salah Jokowi.
Pikir-pikir, kasian juga Jokowi. Udah banyak kerja, masih juga dihujat kiri-kanan. Agak nggak fair. Memahami sebuah konteks peristiwa, jangan reaksioner. Harus dalam kacamata yang holistik, biar paham maksudnya tuh apa. Kalo nggak, kejadian deh.. Dikit-dikit salawi. Habis perkara.
Apa maksud melihat permasalahan secara holistik?
Kasus yang membelit Meiliana, sangat berbau politis. Wajar spekulasi merebak, karena kejadiannya udah 2 tahun yang lalu. Kenapa baru sekarang diproses, tepat di tahun politik?
Kejadiannya kurang lebih, saat sholat Isya (22/7/2016), Meiliana yang merasa terganggu suara adzan, ngomong ke orang yang punya toko saat belanja. “Kok tumben ya, suaranya agak kenceng akhir-akhir ini.” Lalu oleh kaum goyang dombret, digorenglah kasus ini sedemikian adanya.
Lewat pesan berantai whatsapp bernada provokatif, semisal: “Seorang Cina mengamuk ke kelurahan,” atau “Ada Cina ngelarang suara adzan,” terpancinglah emosi warga. Walhasil, bukan saja rumah Meiliana yang dibakar, tapi juga 3 Vihara dan 8 Klenteng di Tanjung Balai, karena kasus itu.
Mulai-lah kaum goyang dombret menekan ke kepolisian lewat aksi massa. “Kalo tidak diproses, jangan salahkan kami untuk membawa 7juta orang.” Kok 7 juta orang? Biar didengar, harus bombastik, coy…
Walhasil, polisi yang ditekan oleh massa, mulai cuci tangan. “Daripada rusuh, ntar jabatan dipertaruhkan,” pikirnya. Singkat kata, proses-pun berlanjut ke pengadilan.
Biar tambah legal, proses meminta fatwa ke MUI Medan-pun dilakukan. Dan tak lama, MUI-pun keluarkan fatwa penistaan agama terhadap kasus Meiliana. Sah sudah…takbir-pun bergema.
Dipengadilan kejadiannya, 11-12. Kembali aksi massa digelar lewat persidangan demi persidangan. Dan akhir cerita, karena takut dengan tekanan ‘massa’ dan bisa beresiko terjadinya kerusuhan, jadilah vonis dijatuhkan.
Sebenarnya, kalo Meiliana ngupil aja pas lewat mesjid, pasti kena sikat juga dan dicari-cari salahnya oleh kaum goyang dombret. Akal-akalan doang, aliasnya. Dan siapa kaum goyang dombret itu? Tak lain HTI.
Setidaknya begitu laporan penelitian berjudul “Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai” yang dibuat Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Yayasan Paramadima. Awalnya MUI enggan mengeluarkan fatwa. Tapi karena ada desakan HTI, mau gimana lagi?
Pertanyaan kritisnya, kenapa kasus yang sudah terjadi 2 tahun lalu, baru sekarang dirampungkan? Ingat diktum-nya. Tahun ini tahun politik. Semua sarat dengan muatan politik. Tak terkecuali kasus Meiliana dan kasus pawai TK Kartika di Probolinggo.
Dan semua dalangnya, siapa lagi kalo bukan HTI. Apa targetnya?
Setidaknya ada 2 hal. Pertama memancing amarah publik. Dan ujungnya amarah publik akan bermuara ke Jokowi selaku eksekutif.
Nggak adil juga kalo semua masalah dilempar ke pakde. Toh kasus ini sudah diputus oleh hakim, sehingga masuk ranah yudikatif, dimana eksekutif sudah nggak bisa intervensi. Lain halnya kalo palu hakim belum diketok. Jokowi-pun bingung, mau intervensi dari sisi mana?
Kalopun mau memperjuangkan nasib Meiliana yang sudah didzolimi, ambil langkah banding. Karena toh putusan belum bersifat final.
Pun, kasus TK Kartika. Harapannya adalah pakde langsung bersikap reaktif dengan memutasi Dandim serta Polres Probolinggo. Apa yang terjadi kemudian? Akan terbentuk opini publik, bahwa benar rejim Jokowi adalah rejim panik. Dan pakde bisa hilang point karena sikap reaksionernya.
Nyatanya, kedua provokasi ini-pun gagal maning. Bukan semata-mata pakde tidak bisa, tapi pakde lebih punya kalkulasi jangka panjang.
Jadi tahu, kan kemana larinya kedua masalah tersebut. Makanya agak malas juga ngomongin provokasi kaum goyang dombret bin kampret petamburan. Provokasinya murahan. Mendingan koleksi tuyul seken, bray biar bisa nambah kaya…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments