Welkam Orde Baru


509

“Kenapa Abang paling sensi kalo bicara soal Orde Baru?” tanya seorang junior di kampus pada sebuah kesempatan. Kalo mau diceritain panjang lebar, bisa keriting nih bibir. Tapi kalo nggak memberikan penjelasan, juga nggak bijak menurut saya.

Gini ya… saya bukan tanpa sebab ujug-ujug nggak suka Orde Baru. Kenal Andi Arief yang jadi buzzer dari kelompok Cikeas? Kalo sampai dia bisa teriak Jenderal Kardus ke Prabowo, mungkin ada faktor personal juga. Apa yang terjadi pada dirinya saat Orde Baru masih berjaya? Coba dicek dehh..

Dia adalah salah satu aktivis pro-demokrasi yang masuk DPO saat Orba berjaya. Beruntung baginya yang bisa bernafas hingga kini. Coba gimana nasib Wji Tukul, rekan seperjuangannya di PRD? Hingga kini tak jelas rimbanya..

Dalam kacamata saya, kesalahan Orde baru teramat banyak. Ibarat bintang di langit, akan susah ngitungnya. Tapi lewat tulisan ini, saya akan merangkumnya dalam 3 hal. Pertama dari sisi ekonomi, kedua politik dan keamanan, dan yang ketiga dari sisi demokratisasi.

Pertama dari sisi ekonomi. Kalo ada yang bilang jaman Orba segalanya lebih enak, segalanya serba murah, itu memang benar adanya. Tapi ada yang perlu diketahui juga, bahwa murahnya semua barang kebutuhan tersebut karena adanya subsidi dari pemerintah Orba.

Nah coba jawab, subsidi tersebut didapat dari mana? Dari hutang luar negeri. Tiap tahun, subsidi makin bengkak, ngutang jadi tambah masif. Dan tiap hutang ada bunganya. Walhasil, selepas kepemimpinan eyang Harto, presiden berikutnyalah yang harus menanggung hutang segunung tersebut yang salah satunya dipakai untuk subsidi.

Yah sampe mencret, akan sulit bagi siapapun untuk membayar hutang berikut bunganya.

Selain dipakai untuk subsidi, hutang LN juga dipakai sebagai ajang bancakan alias korupsi berjamaah. Modusnya dari mulai membuat yayasan-yayasan sampai buat proyek-proyek yang sudah di mark-up alias dikatrol nilainya.

Dan ini berlaku secara masif. Semua harus ambil bagian, dari tingkat menteri sampai pejabat dibawahnya. Kalo nggak mau ambil bagian, jangan harap bisa langsam karir seorang PNS di masa itu. Nggak heran kalo aktivis 98 memasukkan hal korupsi sebagai virus mematikan yang sengaja dibiakkan sejak jaman Orba.

Berikutnya dari sisi politik dan keamanan. Ini juga nggak kalah seru. Stabilitas adalah jargon yang diobral oleh pemerintah Orba. Semua yang menentang diktum ini, langsung diberangus dari peredaran. Mau contoh?

Jaman Orba angka kriminalitas juga cukup tinggi. Saking tingginya, maka kemudian ada instruksi langsung dari penguasa untuk membentuk operasi khusus dengan sandi Petrus alias Penembak Misterius. Petrus bertugas untuk membasmi orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan masyarakat.

Singkatnya, siapun yang ditarget Petrus, akan dibedil tanpa ampun dan mayatnya dibiarkan tergeletak di jalanan sebagai bentuk teror psikologis bagi yang lain. Pertanyaannya, apa layak seorang penjahat sekalipun diperlakukan demikian, tanpa adanya pembelaan dan langsung di-dor?

Singkatnya, politik dan keamanan memang benar terjaga, walaupun dengan kekerasan cara menanganinya.

Itu baru satu kasus. Gimana dengan banyak kasus lainnya, dari Kedung Ombo, Tanjung Priok, sampai kasus Marsinah?

Dan yang paling buat saya jengkel adalah tidak adanya demokratisasi di era Orba. Semua harus seragam. Lahirlah istilah “militerisme”, dimana yang tidak sesuai dengan cara berpikir penguasa, maka halal hukumnya untuk dimusnahkan untuk selamanya.

Jaman Orba, jangan sampai salah ngomong deh. Fatal akibatnya, karena bisa dianggap subversif dan otomatis jadi musuh negara dengan di beri cap komunis, hantu blau, setan gundul dan lain sebagainya.

Pernah dengar kasus wartawan Bernas Yogyakarta yang bernama Udin? Semasa hidupnya dia kerap menulis artikel yang mengkritisi kebijakan Orba. Walhasil, dia tewas dikeroyok orang yag tak dikenal dan kasusnya hilang ntah kemana. Kebayang kalo itu terjadi kini? Semua netizen yang bersuara kritis di dunia maya, langsung dibuat modar tak berdaya.

Lha bukannya tiap lima tahun ada pemilu?

Ada, cuma sekedar prasyarat semata. Tapi esensinya jauh dari kata demokrasi. Yang menang pemilu selalu Golkar. Partai “oposisi” saat itu tak lebih hanya sebagai pemandu sorak, belaka. Semua instansi pemerintah dari mulai ABRI, PNS terutama guru “diwajibkan” memilih Golkar. Praktis terciptalah demokrasi semu saat itu.

Makin lama, aksi protes dan gerakan perlawanan terhadap rejim Orba makin masif. Mereka menentang pembodohan terstruktur yang dilakukan eyang Harto. Dan sebagai jawabannya, para penentang yang bersuara kritis tersebut harus dienyahkan.

Puncaknya adalah penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997-1998 menjelang sidang MPR yang mendaulat eyang Harto berkuasa kembali. Namun tragis bagi pihak Cendana, “gerakan bungkam” ini malah menghantar kejatuhan sang diktator di medio tahun 1998.

Nah, sekarang Orba jilid dua kembali digadang-gadang sama pihak oposisi. Trus kita hanya diam aja, gitu? Ngapain juga dulu harus cape-cape ngikut gerakan perlawanan terhadap eyang Harto?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!