Penghapusan Batu Bara?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, apa benar China telah tunduk pada proyek Ndoro besar untuk menghapuskan bahan bakar fosil?” tanya seseorang melalui kanal messenger.
Pertanyaan ini dikaitkan dengan rencana China (lewat pernyataan Xi Jinping) yang tidak akan membangun proyek-proyek baru batu bara di LN.
Saya coba menjawabnya.
China memang telah mengumumkan niatnya untuk tidak akan membangun proyek baru batu bara di luar negeri. Pernyataan ini dirilis pada 27 September silam, jauh sebelum KTT G20 di Roma apalagi COP26 yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia. (https://www.voanews.com/a/china-vows-to-stop-building-coal-plants-overseas-but-what-does-that-mean/6246911.html)
Anda perlu tahu, bahwa China telah mendukung proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di LN, hampir mencapai 80 GW.
Tapi, nggak jelas apakah pengumuman Xi tersebut mencakup pembiayaan publik ataupun bank komersial yang dibatasi pada proyek batu bara di LN? Sekali lagi nggak jelas mekanismenya seperti apa.
Satu yang pasti bahwa Bank of China mengatakan bahwa mereka nggak akan menyediakan pembiayaan lagi untuk proyek batu bara dan juga proyek pembangkit listrik di LN mulai Oktober silam.
Kenapa China begitu concern pada batu bara?
Karena mereka bergantung banyak pada batu bara untuk menggerakkan industrinya. Pada laporan yang dirilis lembaga riset Ember, di tahun 2020 saja China telah menggunakan sekitar 53% batu bara di dunia untuk kepentingan energinya. (https://ember-climate.org/global-electricity-review-2021/g20-profiles/china/)
Jadi China butuh batu bara untuk menopang industrinya. Karenanya China membiayai banyak proyek batu bara di LN, termasuk di Indonesia.
Ini dimungkinkan dengan mega proyek BRI mereka, dimana China kasih bantuan modal pada negara-negara yang jadi rekanan BRI. Dan sebagai gantinya kecukupan energi di China akan terpenuhi lewat beberapa proyek energi yang disokongnya.
Singkatnya jika China sokong pembiayaan proyek batu bara, maka batu bara itulah yang jadi incaran mereka sebagai imbal baliknya.
Bicara BRI, maka bicara 2 hal: pasar (lewat pembangunan infrastuktur) dan juga kebutuhan energi bagi mereka. Jadi kalo China lewat BRI-nya harus membatalkan kedua hal tersebut, bisa dikatakan nggak mungkin. Itu sama saja bunuh diri.
Makanya, jadi masuk akal jika Xi Jinping nggak menghadiri KTT G20 di Roma, karena dia sebenarnya mau ‘menolak halus’ arahan yang diberikan kartel Ndoro besar. (baca disini)
Sampai sini saya harap anda paham duduk masalahnya.
Apakah lantas China akan otomatis menolak program energi hijau sang Ndoro besar?
Di sini kompleksitas geopolitik muncul. Kalo kita misalnya mengulas China, maka ini nggak bisa diterjemahkan China an sich.
Mengapa?
Karena ada lengan deep state pada negeri Tirai Bambu tersebut. Ini akan saya bahas pada lain tulisan. Sebagai informasi saja: jika anda pernah dengar istilah 8 Dewa alias Eight Gods, ini salah satu lengan deep state yang ada di negara tersebut.
Lengan inilah yang bisa mendesak pemerintah China untuk buat kebijakan yang selaras dengan kartel sang Ndoro. Termasuk dalam mewujudkan rencana clean energy.
Menjadi lumrah jika kemudian China menangguhkan atau membatalkan proyek listrik tenaga batu bara secara signifikan selama 5 tahun terakhir, termasuk di Indonesia. (https://energyandcleanair.org/more-chinese-overseas-projects-cancelled/)
Ini jadi catatan tersendiri buat Indonesia yang sudah mencanangkan proyek pengadaan listrik 35 GW secara nasional sejak 2014 silam. Kalo pendanaan dihentikan, bagaimana nasib pengadaan listrik yang demikian besar tersebut? (https://industri.kontan.co.id/news/demi-zero-emisi-pln-moratorium-pembangunan-pembangkit-batubara)
Nggak heran jika proyek ‘ambisius’ Jokowi tersebut menjadi tidak relevan untuk dicapai karena mengandalkan pembiayaan LN untuk realisasinya, utamanya dari China. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200825133143-4-181814/lamban-sekali-baru-24-program-35-gw-yang-beroperasi)
Menjadi lebih berat lagi bagi Indonesia, karena pembangkit listrik tenaga batu bara dituding sebagai biang kerok polusi udara yang dikaitkan dengan perubahan iklim dan kematian.
Laporan terbaru yang dirilis C40 menyatakan bahwa polusi udara dari PLTB di Indonesia diproyeksikan telah menyebabkan kematian kumulatif tertinggi kedua di dunia. (https://c40.my.salesforce.com/sfc/p/#36000001Enhz/a/1Q0000001mIk/Sb6HyccJdHHRziZ32Gto5UlsLpIXCH.BxguVpIGC3v8)
Komplit sudah situasinya, mengingat untuk cari investor baru juga nggak semudah membalikkan telapak tangan karena ada mekanisme ESG yang dirilis oleh BlackRock. Siapa juga investor yang mau kena masalah jika harus nekat berinvestasi pada energi bahan bakar fosil alias dirty energy? (baca disini)
Silakan anda buat proyeksi kecukupan energi di Indonesia ke depannya, jika investor energi hijau masih sangat jarang. (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211112204513-85-720552/luhut-bisa-setop-batu-bara-di-2035-asal-negara-maju-kasih-uang)
Kembali ke laptop.
Apakah batu bara akan dihapuskan dalam waktu dekat? Saya sudah kasih jawabannya, ya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments