Pada tahun 1990an, Mike Tyson adalah petinju yang tak terkalahkan. Gaya si leher beton dalam bertanding membuat lawan-lawannya KO tak berdaya. Karena seringnya menjatuhkan lawan dalam waktu singkat, tak ayal julukan sang raja KO-pun disematkan pada dirinya.
Namun, kejayaan itu memang sebatas roda berputar. Ada massanya. Dan Tyson kena batunya saat menghadapi Evander Holyfield, pada 9 November 1996 di Las Vegas, Amrik. Tyson pun dipaksa melepas gelar juara dunia yang pernah diraihnya.
Seharusnya peristiwa itu tidak perlu terjadi, kalo Tyson tidak main sruduk dalam memilih lawan bertanding. Dia harus kenal betul siapa lawannya. Begitupun dalam politik.
Hari-hari belakangan, kalangan istana cukup dipusingkan dengan duet paslon dari kubu lawan. Kegelisahan itu bukan tanpa sebab. Menurut hitungan togel, paslon lawan (baca disini) akan sulit untuk dikalahkan di 2019 nanti.
Paling tidak ada tiga kesulitan yang akan dihadapi.
Pertama, karena turunnya dinasti Cikeas dalam kontestasi. Dalam hal strategi, Pepo memang nggak ada matinya. Terbukti dalam pilpres 2004 dan 2009, dimana semua lawan politiknya berhasil dibekuk tak berdaya. Dan Pepo berhasil menduduki singgahsana 2 periode, tanpa kesulitan yang berarti.
Cukup? Belum pastinya. Akan ada hambatan kedua. Dimana dinamik duo di pilkada DKI, yakni PKS dan HTI yang akan menjadi lawan berat kubu pakde di grass root. Apalagi jika menilik HTI. So pasti mereka dendam kesumat sama pakde, akibat organisasinya dibubarkan. Pastinya, ini adalah final war buat mereka.
Kedua hal itu saja sudah buat pusing. Saking pusingnya, pakde sempat keluar statement: “Relawan kalau diajak berantem tidak boleh takut,” saat menghadiri barisan relawan di Sentul Sabtu kemarin (4/8). Artinya, kalo pasukan gerilya PKS dan HTI bermain kasar di lapangan seperti di pilkada DKI, yang bakal terjadi “Lu jual, gue beli!!”
Ini ditambah lagi dengan gabener yang digadang-gadang sebagai capres kubu Cikeas. Ini jelas masalah. Masalahnya dimana? Pada keahlian sang gabener dalam memainkan kata. Dalam ruang publik, seni bermain kata sangat diperlukan. Dan sudah menemukan pembuktiannya saat pilkada DKI tempo hari.
Ahok boleh teriak kalo AB cuma jago ngomong. Ahok boleh bilang kalo yang diperlukan bukan pemimpin yang pandai bermain kata, tapi yang bisa kerja. Tapi nyatanya, Ahok terhempas juga dengan skor lumayan telak untuk seorang incumbent yang jauh diunggulkan. Kata “keberpihakan” terbukti senjata yang mematikan buat Ahok.
Singkatnya, langkah harus diambil oleh pihak istana. Walaupun tinggal last minute. Kalo bisa pihak lawannya jangan AB. Akan lebih menguntungkan kalo Om Wowo yang maju. “Lebih jelas hitungannya untuk menang,” begitu kata narsum.
Aksipun dimulai. Yang didaulat sebagai penendang bola adalah Ngabalin. “Saya tidak pernah mengenal Prabowo sebagai orang yang ragu. Serius. Saya jujur dengan anda semua bahwa saya mengenal Prabowo itu sebagai seorang ksatria. Begitu dia bilang maju, apapun yang terjadi di depan, dia siap,” begitu katanya.
Kata-kata yang diucapkan Ngabalin ditangkap dengan baik oleh Om Wowo. Seolah itu adalah tantangan buat Om Wowo untuk maju kembali nyapres di 2019. “Masa mantan Danjen Kopassus kok cemen?”
Singkatnya, gayung pun bersambut. Bertempat di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan pada 30 Juli, Om Wowo ditemani Pepo mengatakan bahwa Gerindra-Demokrat sepakat koalisi. Dan Pepo “setuju” menempatkan AHY sebagai cawapres bagi Om Wowo.
Agak aneh memang, mengingat apa yang bisa ditawarkan Om Wowo untuk memenangkan kontestasi? Lain halnya kalo Anies-AHY yang diusung. Lebih realistik untuk menang, mengingat keduanya adalah pasangan yang konon dinantikan oleh kaum milenial sebagai pemilih potensial.
Apakah langkah istana untuk memutus duet Anies-AHY berhasil. Kita lihat saja. Terkadang serangan last minute, malah bisa mengantar sebuah klub sepakbola berhasil meraih kemenangan, justru di menit terakhir.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments