Tersebutlah seorang konsultan politik bernama Jane Bodine, yang tengah memperjuangkan klien-nya (yang bernama Castillo), guna memenangkan kontestasi pilpres di Bolivia. Pertarungan cukup keras, mengingat Castillo merupakan calon yang kurang diperhitungkan.
Salah satunya adalah kesulitan yang dialami oleh Jane Bodine upaya untuk mengubah sifat temperamental yang dimiliki Castillo.
Tapi kemudian ada suatu peristiwa yang membuat cara berpikir Jane berubah 180 derajat. Castillo kedapatan menghajar seseorang, tepat saat media ramai meliput kegiatan kampanye-nya. Sontak semua anggota timses menyarankan Castillo untuk segera minta maaf, tapi tidak bagi Jane.
Jane justru berpikir, jika Castillo meminta maaf, artinya Castillo masuk dalam jebakan betmen yang diciptakan oleh pihak lawan. Lha orang yang dipukul oleh Castillo adalah orang yang disusupkan tim lawan untuk memancing sikap temperamental Castillo.
Sebaliknya, Jane malah membuat moment tersebut untuk mencitrakan Castillo yang pemberani, keras dan tegas. Kelak sifat-sifat itulah yang dijual sebagai narasi kampanye untuk menjatuhkan paslon kubu lawan.
Kontra pencitraanpun dijalankan. Dinarasikan bahwa Bolivia sedang mengalami krisis. Bahwa Bolivia masih dalam bayang-bayang pengaruh Amrik. Bahwa Bolivia butuh pemimpin yang tegas untuk mengatasi krisis.
Solusinya Bolivia butuh figur baru yang bisa mengatasi semua itu. Dan Castillo-lah jawabannya.
Itu adalah ulasan film yang berjudul Our Brand is Crisis. Saya pikir masih cukup relevan untuk dibahas dalam konteks pilpres 2019.
Apa yang dibangun oleh pihak oposisi tak lain adalah upaya kontra pencitraan, dimana pemerintahan Jokowi diposisikan sebagai pihak yang gagal menjaga stabilitas nasional. Ada situasi krisis dimana-mana. Harga cabai naik, langsung demo. Harga telor naik, lebih ramai lagi. Dan Pertamina di share-down, langsung nge-gas.
Padahal, bicara tentang krisis, para ekonom-pun dibuat pusing. Krisis yang mana, coba? Lha pertumbuhan ekonomi kita aja berada di level yang cukup tinggi, di atas angka 5%. Walaupun agak sulit meraihnya, mengingat Jokowi sibuk ngebangun infrastruktur dimana-mana. Tapi itu yang terjadi. Kestabilan ekonomi masih terjaga dengan baik.
Kalo dibilang rejim Jokowi disebut hobi ngutang, toh rasio hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tetap rendah. Terus nasib rupiah terhadap dollar yang dituding kian melemah, toh bukan cuma Indonesia yang mengalami pelemahan.
Singkatnya, semua isu tersebut adalah kontra pencitraan yang sengaja dihembuskan pihak oposisi untuk menghajar pemerintahan pakde. Ujungnya, akan muncul seseorang yang jago mengolah kata daripada kerja. Kembali slogan dikerek, bahwa yang dibutuhkan bangsa ini adalah pemimpin yang santun dan lebih manis dalam berkata-kata, bukan yang bisa kerja.
“Kalo pemimpin cuma bisa kerja, nah terus apa bedanya sama kuli?” begitulah narasinya.
Akankah itu berhasil? We’ll see…
Catatan bagi konsultan politik pakde, bahwa setidaknya, kontra pencitraan harus disiapkan langkah antisipasinya. The sooner, the better. Apa mau kondisi pilkada DKI kemarin, berulang kembali di 2019?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments