Modusnya Selalu Sama
Oleh: Ndaru Anugerah
Myanmar digoyang para pengunjuk rasa di jalan-jalan utama seperti Yangon dan Mandalay. Mereka mulai meneriakkan slogan dalam bahasa Inggris, “Beri kami R2P.”
Yang artinya responsibility to protect, sebuah prinsip yang diadopsi PBB sejak 2005 yang menetapkan bahwa komunitas internasional memiliki tanggungjawab untuk melindungi prang dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. (https://www.globalr2p.org/publications/myanmars-deadly-coup-and-the-responsibility-to-protect/)
Anehnya, teriakan R2P juga terdengar di 2011, saat para demonstran di Libya meneriakkan slogan yang sama dan akhirnya mengundang massuk pasukan AS dan sekutunya dalam menumbangkan Qadaffi. Pesannya sama: “Ada pelanggaran HAM sedang terjadi disini.” (https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/libyaandr2poccasionalpaper-1.pdf)
Kok bisa sama? Apa hanya kebetulan?
Yang jelas, kekerasan yang terjadi di Libya pada 2011 tersebut merupakan bagian dari Arab Spring dengan memakai tangan proxy AS seperti LSM dan juga kelompok jihadis dalam menumbangkan rezim yang berseberangan dengan kepentingan sang Ndoro besar. (baca disini)
Wajar jika kemudian sekelas senator John McCain di tahun 2011 mengatakan kepada publik, “Setahun yang lalu, Ben-Ali dan Qadaffi tidak berkuasa. Assad juga tidak akan berkuasa tahun depan. Arab Spring adalah virus yang akan menyerang Moskow dan Beijing.” (https://www.theatlantic.com/international/archive/2011/11/the-arab-spring-a-virus-that-will-attack-moscow-and-beijing/248762/)
Anda perlu tahu, bahwa John McCain merupakan pendukung kuat intervensi militer AS di Timur Tengah. Dan dia telah menjalin kontak rahasia dengan para teroris yang ada di Libya dan Suriah. (https://www.wsj.com/articles/mccain-makes-secret-trip-to-syria-in-midst-of-u-s-assessment-1487795458)
Lalu kenapa ada nama Rusia dan China disebut dalam pidato McCain?
Salah satu tujuan utama destabilisasi kawasan Timteng adalah guna mewujudkan rencana Oded Yinon. (baca disini dan disini)
Sialnya, Rusia dan juga China justru menjalin kerjasama dengan negara-negara di kawasan tersebut yang akan dilengserkan. Jelas saja mereka menjadi sasaran karena dianggap mengganggu terciptanya rencana besar sang Ndoro besar. (https://www.rand.org/blog/2020/09/in-the-middle-east-russia-and-china-expand-their-influence.html)
Coba lihat, apakah perang Suriah nggak ada campur tangan Rusia dalam melawan hegemoni AS dan sekutunya? (https://www.bbc.com/news/av/world-europe-34275169)
Kembali ke laptop.
Sekarang coba kita analisa, apakah modus yang dikembangkan di Suriah dan Libya sama dengan yang dikembangkan di Myanmar?
Ini perlu ditegaskan mengingat awal mula Arab Spring adalah khas revolusi warna. Mulanya ada demo sana-sini yang berujung situasi chaos, terus ada aksi bersenjata yang dilakuakan jihadis, sehingga mengundang AS dan sekutunya untuk masuk ke wilayah tersebut atas nama intervensi kemanusiaan.
Krisis di Myanmar dimulai dengan dikudetanya kepemimpinan Aung Sang Suu Kyi yang didukung oleh AS oleh pasukan militer Myanmar, Tatmadaw. (baca disini dan disini)
Untuk memulai revolusi warna, maka AS butuh dukungan kelompok LSM yang akan mengekspos tentang pelanggaran HAM. Dan Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) kemudian digunakan untuk mempublikasi jumlah orang yang tewas akibat tindakan brutal pasukan Tatmadaw.
Dan sesudah buat laporan ‘fiktif dibuat’, maka media mainstream mulai mengangkat dan mengamplifikasi tentang dugaan pelanggaran HAM oleh rejim Tatmadaw. Begitulah skenarionya.
Cuma yang nggak pernah diceritakan oleh media mainstream adalah bahwa AAPP telah didanai oleh pemerintah AS melalui tangan National Endowment for Democracy (NED). Bahkan sekretaris bersama AAPP Ko Bo Kyi adalah rekanan NED. (https://www.ned.org/fellows/ko-bo-kyi/)
Kasus serupa terjadi di Libya dengan hadirnya the Libyan League for Human Rights. (https://www.ned.org/region/middle-east-and-northern-africa/libya-2018-2/)
Dan juga di Suriah dengan hadirnya the Syrian Observatory for Human Rights yang didanai oleh pemerintah Inggris. (https://thegrayzone.com/2018/06/06/syrian-observatory-for-human-rights-funding-sohr-uk-government/)
Lalu, dibuatlah narasi dimana unjuk rasa damai malah ‘dihajar’ dengan menggunakan timah panas pasukan Tatmadaw. Dan video serta berita ini disebar di media mainstream guna membentuk opini publik bahwa rejim Tatmadaw kejam sehingga layak untuk diperangi.
Peran serta media lokal seperti Myanmar Now juga penting selaku kontributor bagi media mainstream. Jadi seolah-olah, beritanya langsung on the spot. “Tuh lihat, media Myanmar sendiri aja telah melaporkan kejadian yang sama tentang kebiadaban Tatmadaw.” (https://www.cjr.org/special_report/myanmars-other-reporters.php)
Padahal mereka lupa, bahwa NED adalah penyandang dana media dan LSM yang ada di Myanmar. Ya jelas aja skenarionya bisa heboh. (https://www.ned.org/region/asia/burma-2020/)
Mungkin karena frustasi bahwa mereka nggak bisa menang melawana rezim Tatmadaw, akhirnya AS dan sekutunya mendorong terbentuknya pemerintahan yang ‘sah’ di Myanmar yang dikasih nama Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CPHR). (https://en.wikipedia.org/wiki/Committee_Representing_Pyidaungsu_Hluttaw)
Diharapkan dengan pemerintahan yang ‘sah’ tersebut, akan mampu mengundang AS dan sekutunya untuk bisa masuk ke Myanmar dan memerangi rezim Tatmadaw yang telah mengkudeta ASSK.
Selain itu AS jadi punya dalih untuk mempersenjatai dan mendanai pemerintah yang ‘sah’ tersebut dalam rangka merebut kekuasaan dari tangan Tatmadaw.
Kalo ini terjadi sesuai rencana, maka China yang secara geografis bersebelahan dengan Myanmar akan coba diprovokasi guna menyulut konflik yang lebih besar.
Dan memang inilah yang dimaksudkan oleh John McCain pada pidatonya di 2011, bukan?
Kenapa konflik di Myanmar bisa sama dengan Arab Spring? Apakah hanya kebetulan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments