Penantang Duopoly
Oleh: Ndaru Anugerah
Dalam industri penerbangan internasional, terdapat dua kutub. Yang pertama Boeing dengan pusatnya di AS sana, dan yang kedua Airbus dengan pusatnya di Eropa atau Belanda sana.
Mereka dikenal dengan istilah duopoly yang artinya dalam pasar hanya ada 2 produsen utama yang menyediakan pesawat berbadan besar. Kalo nggak Boeing ya Airbus. Titik.
Namun itu dulu karena sejak 2008 silam, perusahaan pesawat komersial China alias COMAC, sedang mengembangkan berbagai pesawat komersial dengan target pasar bukan saja dalam negeri tapi juga untuk tujuan ekspor. (https://simpleflying.com/comac-what-planes/)
Tidak hanya itu.
Rusia juga tengah mengembangkan perusahaan sejenis yang diberi nama United Aircraft Corporation (UAC) guna merebut pangsa pasar internasional. (https://dsm.forecastinternational.com/wordpress/2020/12/03/united-aircraft-corporation-the-centerpiece-of-rostecs-aviation-cluster/)
COMAC dan UAC melalui China-Russia Commercial Aircraft International Corporation (CRAIC) bekerjasama dalam mengembangkan pesawat twinjet berbadan lebar yang dapat terbang menempuh jarak jauh. Dan ini jelas saingan buat duopoly.
Prototype pesawat yang dikembangkan kedua perusahaan tersebut diberi nama CR929, dan menurut skedul bakal melakukan aksi terbang perdananya di tahun 2025 mendatang. (https://www.cnbc.com/2019/08/20/china-and-russia-want-the-craic-cr929-aircraft-to-challenge-airbus-and-boeing.html)
Dengan hadirnya CR929, jelas merupakan ancaman tersendiri buat duopoly, setidaknya di masa depan.
Ini nggak berlebihan mengingat China punya proyek BRI yang kelak memporak-porandakan tatanan dunia unipolar yang dibesut oleh AS dan sekutunya. (baca disini)
Bayangkan jika proyek BRI sukses, apa iya China nggak akan jualan produk-produk industri miliknya ke negara-negara rekanan, tak terkecuali pesawat terbang komersial-nya?
Akibatnya sanksi AS terhadap China dan Rusia dijatuhkan terutama yang menarget industri penerbangan sipil di kedua negara tersebut. (https://asia.nikkei.com/Politics/International-relations/US-lists-103-Chinese-and-Russian-companies-with-military-ties)
Salah satunya adalah larangan bagi perusahaan-perusahaan Barat untuk menyediakan sistem dan komponen pesawat terbang yang bermuara ke CR929 tersebut. (https://dsm.forecastinternational.com/wordpress/2020/12/03/united-aircraft-corporation-the-centerpiece-of-rostecs-aviation-cluster/)
Dengan kata lain, sanksi diberikan karena AS dan negara-negara Barat nggak mampu bersaing dengan produk pabrikan kedua negara tersebut.
Apakah efektif sanksi yang diberlakukan AS bagi pengembangan CR929?
Gampang menjawabnya.
Coba anda lihat raksasa telekomunikasi Huawei yang juga dikenai sanksi oleh AS. Apakah sanksinya bisa menjatuhkan perusahaan telkom tersebut? Tidak, bukan? (https://www.gizchina.com/2020/02/18/the-us-ban-is-ineffective-it-is-seeking-other-ways-to-hurt-huawei/)
Selain nggak efektif karena kedua negara tersebut bukan kaleng-kaleng yang bisa jatuh oleh sanksi, justru sanksi yang diberlakukan AS mampu memicu aksi balasan dari China dan juga Rusia dengan memboikot produk Boeing dan juga Airbus.
Coba China boikot produk Boeing dan Airbus untuk tidak boleh digunakan pada maskapai penerbangan China, apa nggak pusing Mamarika?
Sebaliknya, dengan situasi sanksi yang diberlakukan pada COMAC dan UAC, kini mereka justru punya waktu yang cukup untuk mengembangkan prototype CR929 bersama-sama.
Jadi mereka bakalan cari pembeli dalam negeri terlebih dahulu. Dan bila sudah sempurna, pesawatnya baru dijual ke manca negara.
Coba anda lihat, berapa banyak negara yang sudah membeli Sukhoi Superjets buatan UAC dengan teknologi mumpuni tapi harganya ramah di kantong? (https://simpleflying.com/sukhoi-superjet-operators/)
Kenapa saya perlu membahas soal penantang duopoly tersebut?
Karena persaingan yang konstruktif dan menentang kekuatan besar adalah ciri utama dunia yang multipolar. Dan suksesnya COMAC dan UAC atas produk patungan mereka CR929 bisa dijadikan parameter kesuksesan rencana mewujudkan tatanan dunia baru yang multipolar.
Masalahnya, audahkah kita siap akan arus perubahan atau justru kita tenggelam dalam narasi dunia unipolar ala AS dan sekutunya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments