Kebijakan Gula-Gula


512

Kebijakan Gula-Gula

Oleh: Ndaru Anugerah

Saat asyik-asyiknya liburan akhir tahun bersama keluarga, tiba-tiba saya dapat pesan Whatsapp. Padahal saya berniat untuk mengambil jatah liburan akhir tahun dengan tidak memposting apapun pada portal yang saya miliki. Apapun. “Masa saya nggak boleh liburan, sih?”

Iseng saya lihat pesan tersebut. Bunyinya singkat, “Ormas RS dibubarkan.”

Saya senyum-senyum baca pesan itu. Pertama pernyatan tersebut jelas mengganggu waktu liburan saya. Kedua, pernyataannya kurang bermutu menurut saya.

Kenapa?

Coba tilik dengan baik apa yang dikemukakan oleh mister M saat konpers (30/12).

“Berdasakan perppu dan sesuai dengan putusan MK tahun 2013, pemerintah melarang aktivitas ormas RS dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan ormas tersebut, karena ormas RS nggak punya legal standing,” ungkap mister M.

Pada tataran teknis, pemerintah mengeluarkan SKB yang ditandatangani oleh 6 pejabat tertinggi di kementerian/lembaga sebagai acuannya.

Ini dilakukan setelah ormas RS secara de jure sejak 21 Juni 2019 telah bubar namun kerap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban umum, dari mulai tindak kekerasan, sweeping sepihak, provokasi dan sebagainya. (https://nasional.kompas.com/read/2020/12/30/13033001/mahfud-md-fpi-tak-lagi-punya-legal-standing)

Point-nya bukan pembubaran tapi pelarangan yang dilakukan terhadap ormas RS karena dianggap ormas trouble maker. Dan ini selaras dengan pernyataan beberapa pakar dan pejabat ormas.

Sekum Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga bilang, “Sebenarnya pemerintah nggak perlu membubarkan ormas RS karena secara hukum ormas tersebut telah bubar dengan sendirinya karena nggak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) lagi.”

“Ngapain sekarang diulang kembali pernyataan yang sama?” tanyanya penuh kebingungan. (https://nasional.tempo.co/read/1418984/muhammadiyah-minta-publik-tak-sikapi-berlebihan-pembubaran-fpi-ini-alasannya/full&view=ok)\

Guru Besar Unpad Bidang Keamanan Dalam Negeri, Prof. Muradi juga menegaskan hal yang kurleb sama, “Secara definitif ormas RS sudah bubar sejak 2019. Jadi yang dilakukan pemerintah saat ini hanya penegasan saja sifatnya.” (https://fajar.co.id/2020/12/30/pemerintah-bubarkan-fpi-guru-besar-unpad-karena-banyak-penumpang-gelap/)

Bahkan pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan bahwa sejak Juni 2019 ormas RS nggak lagi memperpanjang SKT di Kemendagri sehingga otomatis nggak ada buat pemerintah melakukan pembubaran ormas tersebut.

Mau dibubarkan gimana, kalo terdaftar saja tidak? Kalo ormas RS nggak ada dalam register, apa yang mau dicabut atau dibubarkan?” tukas Margarito. (https://republika.co.id/berita/qm5dd4396/fpi-dibubarkan-pengamat-pernyataan-menteri-bukan-hukum)

Dengan kata lain, kalo ada pernyataan bahwa ormas RS nggak mungkin dibubarkan, salahnya dimana? Mengingat ormas tersebut nggak pernah terdaftar secara legal sejak 2019 silam alias sudah bubar dengan sendirinya.

Yang benar adalah pelarangan, dan bukan pembubaran.

Klarifikasi yang diberikan Staf Ahli Kominfo, Prof Henry Subiakto mungkin menjawab masalah konpers yang dilakukan mister M. “Pengumuman yang dilakukan mister M bukan pembubaran namun penegakkan hukum alias pelarangan.” (https://potensibisnis.pikiran-rakyat.com/news/pr-691194082/terungkap-bukan-dibubarkan-staf-ahli-kominfo-ungkap-maksud-mahfud-md-umumkan-posisi-fpi)

Jadi clear ya soal pernyataan diawal tulisan yang dialamatkan kepada saya.

Yang justru ditanya harusnya menyangkut 1 hal, yaitu soal efektivitas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Wakanda. Apa efektif?

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari bilang, “Dari sisi konstitusional, pembubaran ormas RS jelas bermasalah, karena membatasi ruang gerak ormas untuk berserikat dan berkumpul.” (https://nasional.kompas.com/read/2020/12/31/11445201/ahli-jika-lihat-uud-1945-pembubaran-fpi-bisa-dinilai-bermasalah)

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga bilang, “Keputusan pemerintah terkait penghentian kegiatan ormas RS, berpotensi diskriminatif dan melanggar hak orang untuk berserikat.” (https://nasional.kompas.com/read/2020/12/31/07302191/pemerintah-larang-fpi-secara-sepihak-amnesty-nilai-berpotensi-menggerus)

Bahkan Dr. Ian Wilson selaku pakar dan peneliti di Asia Research Center pada Universitas Murdoch menegaskan, “Pelarangan yang dilakukan pemerintah terhadap ormas RS bersifat kontraproduktif karena menimbulkan pertanyaan tentang penegakkan hukum serta ekspresi demokrasi di negara yang justru menganut sistem demokrasi.” (https://www.reuters.com/article/us-indonesia-security-idUSKBN2940FM)

Coba sekarang lihat HTI yang telah dibubarkan oleh pemerintah Wakanda pada 2017 silam. Apakah eksistensinya otomatis hilang? Kan enggak juga. (https://megapolitan.antaranews.com/berita/93652/ternyata-hizbut-tahrir-masih-eksis-di-indonesia)

Mereka masih bebas berdakwah di media sosial, masjid-masjid, pengajian hingga arisan emak-emak. Apakah pemerintah Wakanda bisa menindak tegas kegiatan mereka? Contoh yang sederhana, apakah ada yang berani ciduk saat ada orang yang bawa bendera hitam-putih HTI?

Dan bukti ketidak efektifan kebijakan tersebut adalah saat pimpinan ormas RS kembali mendeklarasikan ormas baru sebagai pengganti ormas sebelumnya, yaitu Front Persatuan Islam setelah 1 hari diterbitkannya SKB. (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55481350)

Jadi kalo ormasnya dilarang atau dibubarkan, tinggal ganti baju dengan membentuk ormas yang baru. Begitu terus sampai Upin-Ipin lulus kuliah.

Ini sama aja boong karena nggak menyentuh akar masalah yang sesungguhnya, bukan? Jadi jangan hepi dulu dengan mengklaim kebijakan tersebut sebagai kado akhir tahun.

Lantas, apa motif utama pemerintah Wakanda memberikan kebijakan gula-gula bagi warganya? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan untuk mengalihkan isu?

Pada tulisan berikut saya akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!