Di Indonesia, angka kekerasan seksual melambung tinggi. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pada 2014 saja angka kekerasan seksual tercatat 4475 kasus. Angka tersebut menigkat menjadi 6499 setahun kemudian. Dan pada 2016, angkanya masih tetap tinggi di angka 5785 kasus.
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia berada pada status Darurat Kekerasan Seksual. Modusnya macam-macam, dari mulai perkosaan pada wanita dewasa, hingga perkosaan yang menyasar anak dan bayi usia 9 bulan yang terjadi pada RS Kramat Jati, Jakarta pada Oktober 2013, silam.
Kebayang donk, gimana biadabnya pelaku. Kok tega-teganya memperkosa anak bayi yang baru berumur 9 bulan?
Kenyataan ini, mendorong keluarnya rekomendasi dari badan dunia dibawah naungan PBB, yaitu Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) bagi pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan payung hukum yang mengatur kekerasan berbasis gender, yang salah satunya kekerasan seksual.
Sekedar informasi, berdasarkan KUHP kita, definisi kekerasan seksual udah nggak kontekstual lagi, alias jadul. “Kekerasan seksual harus bisa dibuktikan dengan adanya sperma & masuknya penis ke kemaluan wanita”, demikian bunyinya.
Banyak masalah kemudian muncul berdasarkan definisi tersebut. Pertama, kekerasan seksual kan nggak melulu sebatas fisik. Kalo grepe-grepe dan colak-colek, bisa dipastikan tidak masuk ranah kekerasan seksual. Yang kedua, apa iya wanita yang sudah diperkosa sempat-sempatnya lapor ke pihak yang berwajib? Boro-boro… Rasa malu saja sudah melekat pada dirinya. Mana berani lapor?
Jadi jelas, bahwa RUU PKS alias Penghapusan Kekerasan Seksual, bukan sesuatu yang simsalabim abrakadabra alias tiba-tiba ada. Ini sebenarnya sudah diusulkan pada 2017 lalu. Namun, wakil rakyat komisi VIII serasa enggan menggolkan RUU tersebut menjadi UU, karena hingga kini aksinya hanya sebatas RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum). Belum ada itikad untuk membahasnya bersama dengan pemerintah.
Kondisi ini diperburuk dengan banyaknya perda alias peraturan daerah yang sangat diskriminatif terhadap perempuan, dari tingkat provinsi sampai desa. Contohnya larangan keluar malam buat wanita. Jika nekat juga, maka si wanita yang kedapatan keluar malam, langsung diciduk pihak kepolisian pamong praja alias pol PP.
Padahal, perawat yang kerja shift malam di RS, misalnya atau mbakyu-mbakyu yang jualan cucur malam-malam di pasar atau pinggir jalan, kan mereka bukan PSK? Kalo boleh milih, tentu mereka nggak mau kerja malam-malam. Namun apa lacur, bagi mereka pilihan tidak ada. Dan mereka akan menjadi sasaran perda-perda ‘syariah’ tersebut.
“RUU PKS mengatur kekerasan seksual secara detil, dari mulai pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual hingga perbudakkan seksual,” demikian ungkap mbak Ratna sebagai aktivis perempuan.
Selain itu, RUU PKS juga akan memperhatikan hak-hak korban dari hulu hingga hilir, dari mulai pendampingan hukum, pemulihan psikologis hingga penangan medis-nya. Jadi ada semacam one intergrated-stop service alias pelayanan satu atap yang terpadu yang akan menangani korban kekerasan seksual.
“Dengan adanya payung hukum tersebut, akan lebih jelas cara kerjanya,” demikian ungkap sebuah narsum.
Jika RUU ini berhasil disahkan, maka isu kesetaraan gender yang menjadi salah satu agenda demokratisasi akan terbangun. Inilah yang kemudian memicu para makelar khilafah untuk bereaksi. Dengan adanya proses demokratisasi, maka ‘barang dagangan’ mereka praktis nggak laku lagi. “Lha udah enak dengan sistem yang ini, ngapain ngotot minta khilafah?”
Tak pakai lama, para makelar-pun beraksi. Salah satunya ada Maimon Herawati yang kembali membuat petisi online bertajuk: Tolak RUU Pro-Zina. “RUU PKS melanggengksn seks bebas dan tidak berlandaskan agama,” kilahnya. Entah dimana seks bebas dan pro-zina’nya?
Berikutnya, semburan hoax juga dilontarkan oleh Jurkamnas BOSAN, Ustadz Dengkul. “Ada satu pasal yang membuat saya menangis. Pelajar dan mahasiswa dan pemuda belum menikah yang ingin melakukan hubungan seksual maka pemerintah mesti menyediakan alat kontrasepsi untuk mereka,” demikian ujarnya pada kanal youtube.
Setelah dicecar berkali-kali perihal pasal mana yang menyatakan legalisasi perzinahan yang diberikan pemerintah, maka ujung-ujungnya kata maaf yang terucap. “Setelah mencermati isi RUU PKS, saya tidak menemukan pasal tersebut. Dengan ini saya minta maaf karena mendapat masukan yang salah,” ungkapnya, diikuti aksi para kampret yang kembali ke goa-goa persembunyiannya.
Maklum, sebagai bagian BPN BOSAN, si Dengkul so pasti punya motif politis, agar publik mempercayai apa yang dikatakannya. Dan ujungnya, publik diarahkan untuk men-downgrade dan tidak memilih Jokowi. “Lha pemerintahnya pro-zina & LGBT, ngapain dipilih Apa mau ente pade masuk kerak neraka?” demikian skenarionya.
Akankah agenda HTI pada RUU PKS berjalan mulus atau malah mendapat perlawanan?
Yang jelas, kesetaraan gender wajib kita perjuangkan bersama. Jangan lagi jadikan wanita sebagai obyek seksual. Masa ada kasus perkosaan, kok malah wanita yang disalahkan sebagai penyebabnya? Logikanya, situ yang ngaceng, kok malah nyalahin orang lain?
Ahh, urusan syahwat memang lebih menarik untuk diperdebatkan sekaligus diperjuangkan bagi kaum kampret, apalagi pakai dalil ayat sebagai pembenaran… Bener, kan kak Emma?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments