Welkam Post-Truth Era


514

Welkam Post-Truth Era

“Kenapa para kamfret banyak banget di sosmed dan susah untuk ngedenger masukan orang lain?” demikian pertanyaan rekan pegiat sosial media. Sudah kesal dirinya, mengingat hoax masif digelar dan seolah tak ada titik ujungnya. Kapan sih berakhirnya?

Sebelum saya jawab pertanyaan rekan yang satu itu, ada baiknya saya uraikan latar belakang dari banyaknya berita bohong atau HOAX yang marak akhir-akhir ini.

2016, kamus Oxford besutan dari Oxford University Press, menyundul istilah baru yang trend pada tahun itu. Benar, istilah itu yang berkaitan dengan hoax, yaitu post-truth.

Merujuk pada definisinya, post-truth adalah kondisi dimana fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dengan kata lain orang lebih meyakini keyakinan mereka atas suatu informasi ketimbang fakta yang tersedia.

Era post-truth ditandai dengan maraknya berita bohong alias hoax, khususnya di jejaring sosial. Akibatnya gampang ditebak. Publik lebih terpaku pada sesuatu yang seolah-olah benar, padahal fake truth.

Dan post-truth ini makin menemui kanalnya, dimana peran sosial media menggantikan peran alat komunikasi konvensional sekelas koran, majalah maupun radio dan televisi.

“Peran jurnalisme telah digantikan oleh peran sosial media,” begitu kata Robert Fisk seorang jurnalis senior The Independent . Apa konsekuensinya? Peran penyeimbang hampir tereliminir oleh operator sosial media, utamanya yang punya tujuan untuk hoax berkembang pesat.

Tak heran kalo kita lihat di media sosial, banyak bani kamfret yang sulit sekali diberantas. Terhitung sudah ada pabrik ujaran kebencian dan hoax sekelas Saracen yang diberangus. Namun apa langsung tiarap? Palingan cuma mati suri, sesudah itu bangkit kembali. Mirip-mirip zombie, perilakunya.

Yang berlaku dikepala mereka adalah: “Kalo informasi ini sesuai dengan keyakinan yang saya miliki, maka akan saya amini. Tetapi sebaliknya, sebaik dan sebenar apapun suatu informasi, jika gak sesuai dengan keyakinan saya, maka informasi itu hanya angin lalu.” Masuk kuping kiri, langsung keluar kuping kanan.

Pertanyaannya, dari mana keyakinan mereka terbentuk. Yah dari penceramah-penceramah radikal. Kata yang paling sering dipakai adalah: “Kalo info ini sesuai kata ustadz saya, berarti benar. Kalo tidak sudah pasti sesat. Hoax. Bla-bla-bla”

Itulah alasan kenapa para kamfret, sampe mejret pun akan tutup telinga rapat-rapat terhadap semua berita yang terverifikasi kebenarannya. Gak guna ngomong sama mereka.

Terus, apa yang bisa kita lakukan?

Menurut analisa saya, ada 2 langkah efektif yang bisa dilakukan, dan itu butuh kewenangan pemerintah untuk bertindak.

Pertama tindak segera para penceramah radikal. Kalo di negara jazirah Arab, itu bisa dilakukan, kenapa kita nggak coba? Karena dari sanalah munculnya keyakinan para kamfret bersumber.

Kedua, segera tutup akun-akun yang mengandung ujaran kebencian dan berita palsu. Disinilah peran netizen diperlukan secara aktif dan masif. Caranya? Laporkan dengan segera ke lembaga pemerintah yang punya kapasitas untuk menutup konten negatif. Nah terus pihak pemerintah juga harus antisipatif lah, jangan lambat dalam bertindak.

Saya sungguh berharap kita dapat melalui tahun politik ini dengan rasa damai dan aman. Karena kalo melihat kebelakang, dimana berita hoax yang disebar di rumah ibadah secara masif di Suriah, akhirnya memicu perang saudara dan konflik berkepanjangan. Semoga tidak terjadi…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!