Virus Rekayasa Komputer?
Oleh: Ndaru Anugerah
Saya pernah ngomong, bahwa kebohongan itu ibarat kentut. Serapat apapun anda menyimpannya, cepat atau lambat baunya akan tercium juga.
Begitupun dengan scamdemic si Kopit.
Pada penelitian yang diterbitkan oleh ilmuwan CDC (Center for Disease Control) AS di bulan Juni 2020 silam, mereka menyatakan bahwa virus yang diduga SARS-CoV-2 tersebut nyatanya hanya menggunakan 37 pasangan basa yang diambil dari sampel jaringan dan sisanya (sekitar 30.000 pasangan) memakai urutan yang dihasilkan oleh komputer. (https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/26/6/20-0516_article)
Aliasnya, urutan yang selama ini dipakai untuk mencocokan sampel yang diambil pada test PCR, hanya karangan komputer semata dan si Kopit tidak pernah dimurnikan dan diisolasi dengan benar untuk mendapatkan urutan genom secara utuh. (https://thefreedomarticles.com/covid-19-umbrella-term-fake-pandemic-not-1-disease-cause/)
Alih-alih mendapatkan urutan genom yang komplit, nyatanya urutan genom malah dihasilkan melalui rakitan digital menggunakan teknologi rekayasa komputer.
Bukan itu saja. Ilmuwan CDC juga menggunakan PCR kuantitatif sebagai bahan analisis lebih lanjut. Padahal Dr. Kary Mullis selaku penemu PCR bilang, “PCR kuantitatif adalah oksimoron.” (http://www.virusmyth.com/aids/hiv/jlprotease.htm)
Kenapa Dr. Kary Mullis selaku pemenang Nobel bisa bilang begitu?
Ya karena PCR adalah alat yang dikembangkan untuk teknik kualitatif dan bukan kuantitatif. Jadi test PCR nggak bisa digunakan untuk menghitung berapa banyak virus yang ada dalam tubuh seseorang. (baca disini)
Terhadap hasil temuan yang didapat oleh ilmuwan CDC, Dr. Thomas Cowan bereaksi keras, “Ini jelas penipuan ilmiah.” (https://drtomcowan.com/only-poisoned-monkey-kidney-cells-grew-the-virus/)
Analoginya, para ilmuwan menemukan potongan tanduk, rambut dan kuku dari Unicorn (kuda bertanduk), lalu mereka merekayasa pakai komputer dan tiba-tiba, tadaaaa…jadilah sosok unicorn versi komputer. Dan konyolnya mereka kemudian bilang, “Bentuk unicorn yang asli tuh seperti ini lho!”
Ini bukan pekerjaan seorang ilmuwan, karena ilmuwan sejati berupaya untuk membuktikan apakah sesuatu itu benar atau tidak secara netral alias bebas kepentingan. Bukannya malah berembug untuk membuat konsesus jahat dalam merekayasa si Kopit.
Apakah hanya itu hasil temuan ilmuwan CDC? Tentu tidak.
Para ilmuwan CDC juga menemukan bahwa si Kopit ternyata tidak menular pada jaringan yang ada pada tubuh manusia.
Selama ini anda dicekoki bahwa si Kopit adalah penyakit baru yang berbahaya, menyebar dengan cepat dan tentu saja mematikan. Dengan informasi demikian, bagaimana anda nggak paranoid? Ngaku aja deh…
Nyatanya, ilmuwan CDC mengemukakan bahwa si Kopit tidak mematikan dan secara in vitro tidak dapat menginfeksi sel manusia.
Kok bisa?
Secara prosedural, mereka menguji yang diklaim sebagai ‘virus’ tersebut pada 3 jenis kultur jaringan manusia yang berbeda. Ada sel adenokarsinoma (A549), sel hati (HUH 7.0) dan sel ginjal embrionik (HEK-293T).
Hasilnya?
“Virus tidak dapat menginfeksi salah satu dari 3 kultur jaringan manusia tersebut dan kami tidak menemukan CPE pada sel tersebut,” kurleb-nya.
Memang CPE itu apaan?
CPE adalah kepanjangan dari Cytophatic Effect (sitopatogenik) yang mengacu pada perubahan struktural dalam sel akibat adanya invasi virus. Kalo nggak ada CPE dalam jaringan sel, artinya nggak ada virus dalam jaringan sel tersebut. (https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/cytopathic-effect)
Singkatnya, virus yang diklaim sebagai si Kopit tersebut, nggak bisa menginvasi kultur jaringan manusia. Nah kalo nggak bisa menginvasi, bagaimana mungkin si Kopit dikatakan sebagai virus yang berbahaya dan mematikan? Itu jelas lebay.
Dalam bahasa yang paling sederhana, ‘virus’ si Kopit tidak menular pada manusia.
Sekali lagi, ini yang ngebuat penelitian adalah ilmuwan CDC AS yang sumbernya resmi dan bukan saya lho ya. Apa mungkin kalo kemudian CDC AS diberi label teori konspirasi karena nggak sesuai dengan skenario yang dibesut oleh elite global?
Entahlah.
Yang pasti, kalo anda keberatan dan merasa lebih hebat dari CDC AS, silakan bantah temuan mereka dengan membuat penelitian pembanding. Tanpa itu, anda hanya akan menghasilkan debat kusir yang gaje alias gak jelas.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Abang, Saya penasaran bagaimana respon dan pemahaman dokter ttg fakta diatas. Jadi Saya sempat DM ke seorang dokter. Nanti Minta tanggapan abang ya.
Begini :
Salam,bla bla bla… Lalu saya lanjut :
Dari artikel itu Bisa ditarik kesimpulan bahwa :
1. Urutan genom pada test PCR merupakan hasil rekayasa komputer.
2. Berdasar semua penjelasan disitu (termasuk dari sumbernya , CDC) , virus penyebab Covid ini tidak menular.
Please advice?
_____________________
LALU DOKTER ITU MENJELASKAN BEGINI BANG :
Baiklah saya jelaskan:
1. Urutan genom bukan rekayasa komputer. Bagi yang belum pernah melihat alatnya mungkin gampang percaya sama artikel tsb. Komputer hanya digunakan utk visualisasi. Sama kayak anda pakai komputer utk visualisai kode biner.
2. Virus sars-cov-2 tidak hanya tumbuh di sel vero. Itu pemahaman lama yg herannya masih dipercaya sampai skrg. Ilmuwan mencoba menulari hewan2 seperti kera dan tikus dgn virus sars-cov-2 dan ternyata virus juga merusak paru2 mrk sama seperti merusak paru2 manusia. Ini salah satu papernya:
https://science.sciencemag.org/content/369/6505/812
Ketika anda membaca suatu experiment, minimal anda harus menguasai ilmu imunologi dan biologi molekuler. Kalau tidak, anda tidak akan mengerti apa2 dari experiment tsb.
_______________________________
Kalau Menurut abang bagaimana?
Mohon pencerahannya bang.
Terimakasih?
Salam sejahtera buat anda.
Pertama yang saya mau luruskan, bahwa penelitian itu dilakukan oleh lembaga kredibel di AS sana yang bernama CDC. jadi itu bukan kata saya dan juga bukan hasil penelitian saya. Itu karya ilmuwan CDC. Tugas saya sebagai analis geopolitik hanya menyampaikan hasil temuan tersebut.
Kedua, jika memang tidak sepakat terhadap hasil pemelitian yang dilakukan oleh CDC, harusnya buat penelitian pembanding untuk mencari ‘kebenaran’ dan bukan cari ‘pembenaran’. Itu tugas ilmuwan dan bukan tugas saya selaku analis Geopolitik. Jadi kalo saya disuruh kuasai ilmu imunologi dan bio-molekuler, menurut saya sama saja saya nyuruh orang awam untuk belajar ilmu geopolitik sebelum bicara geopolitik.
Dan ketiga, saya ingat di Maret silam bahwa saya berseberangan pendapat dengan lembaga IDI tentang status lockdown. IDI bilang, lockdown perlu diterapkan, sementara saya bilang sebaliknya. Walaupun saya nggak belajar ilmu kedokteran, saya tahu ada yang tidak benar pada proses tersebut. Dan belakangan, WHO akhirnya merevisi kebijakannya dengan mengatakan lockdown bukan cara untuk mengatasi si Kopit. Artinya prediksi saya benar walaupun saya orang awam yang nggak kenal soal teknis kedokteran.
Sebagai penutup, saya tidak pernah memaksakan analisa saya untuk dibaca apalagi diterima. kalo menurut anda cukup nyaman membacanya, silakan saja. Pun kalo anda nggak membacanya, saya juga nggak merasa keberatan. asik-asik aja lah.
Semoga menjawab pertanyaan anda.
Iya bang, kalau Saya pribadi 100% Saya percaya analisa abang. Dan jelas saya ngga percaya pendapat dokter2 di Indo yg terlibat kesulitan memahami isu2 kesehatan.
Bahkan Expert dan inventor selepas Kary Mullis Dong mereka remehkan, bahkan dibilang suka bicara NGACO.
Sangat ironis sekaligus menyebalkan. Entah itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran (memahami kebenaran, tapi pura2 tak Tahu), atau Karena arogansi merasa lebih paham.
Bagi Saya ITU sangat konyol. Makannya Saya coba Minta pendapat abang buat masukan bagaimana cara “mengcounter” pernyataan2 konyol mereka.
Miris sekali bang.
Saya pekbaca setia tulisan2 abang, daging semua,kalaupun Ada tulang udah dipresto ??.
Terimakasih bang?
satu yang ketinggalan. saya sudah baca isi jurnal yang diberikan (https://science.sciencemag.org/content/369/6505/812)
pertama tidak ada kesimpulan yang dinyatakan pada jurnal tersebut seperti yang direferensikan oleh si dokter. artinya, peneliti juga nggak yakin apa yang telah dilakukannya, sehingga tidak mencantumkan simpulan penelitian yang biasanya diamplifikasi pada akhir tulisan.
dan kedua, apakah jurnal tersebut ‘bebas kepentingan’? nggak juga. justru sebaliknya. anda coba lihat pada bagian ‘funding’ alias pendananya. disana disebutkan bahwa dana penelitian mengalir dari beberapa link Big Pharma. dan satu yang nggak ketinggalan: Bill Gates. Ini saya copi-kan statement-nya: “Funding: We acknowledge support from the Ragon Institute of MGH, MIT, and Harvard, Mark and Lisa Schwartz Foundation, Beth Israel Deaconess Medical Center, Massachusetts Consortium on Pathogen Readiness (MassCPR), Bill & Melinda Gates Foundation (INV-006131),…”
sebagai analis saya hanya mencoba menjawab pertanyaan anda. anda menegasikan apa yang saya tulis, sekali lagi itu bukan masalah buat saya.
salam demokrasi!!
Nah ini fakta penting sekali bang, mangtaps dah.
Ini Pak Dokter itu Ga percaya juga sama hasil analisa Kary Mullis dalam sebuah wawancara yang jelas2 Alm Kary Mullis menceritakan Bahwa “There is No Correlation Between HIV and AIDS”
Bahwa Almarhum Belum pernah menemukan 1 paper pun yang Menyatakan dan membuktikan korelasinya, Bahwa YG menyebabkan AIDS adalah HIV.
Dan dia kasih link ke Saya sambil bilang kalau Kary Mullis memang cerdas tapi dia juga suka klo ngomong NGACO, termasuk Ga percaya Global Warming (whatt, dokter ini percaya Global Warming? Ya ampun!?)
Dan dia kasil link ini :
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmp038194
NEJM Pula dia sodorkan bang ?
NEJM? Gimme a break?
he should have read this one: https://ndaruanugerah.com/ketika-sains-tergadaikan/
I’ll pass it to him Brother?,
Thank you so much ?