Upaya Menutup Kembali
Oleh: Ndaru Anugerah
Pagi ini saya dapat kabar bahwa 3 orang tewas akibat serangan yang menggunakan pisau di sebuah gereja di Nice, Perancis. Dan lagi-lagi Emmanuel Macron bilang, “Ini adalah serangan teroris Islam.”
Akibat serangan tersebut, sekitar 4000 tentara tambahan dikerahkan guna melindungi gereja dan sekolah. Bahkan Walikota Nice, Christian Estrosi juga bilang, “Ini gerakan Islamo fasis mengingat si pelaku telah berteriak Allahu Akbar secara berulang-ulang.” (https://www.bbc.com/news/world-europe-54729957)
Aksi main penggal kepala ini merebak setelah seorang guru di Perancis melakukan tindakan offside dengan memperlihatkan kartun Nabi Muhammad pada kelas kebebasan berpendapat yang diajarnya. Sialnya nggak semua murid terima apa yang diajarkan tersebut.
Seorang siswa Muslim yang keturunan Chechnya justru ambil langkah pintas guna mengeksekusi sosok guru yang telah melakukan aksi ‘penistaan’ pada keyakinan yang dianutnya dengan cara menggorok leher Paty. (https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/oct/25/we-french-love-our-history-teachers-samuek-paty-made-us-remember-why)
Peristiwa ini memicu para analis geopolitik untuk berspekulasi atas merebaknya kasus ini. Bahkan ada yang mengklaim bahwa Perancis telah kecolongan dengan membiarkan kelompok teror bisa bercokol di negaranya. “Alih-alih memelihara anak macan, akhirnya mereka diterkam benaran sama tuh macan.,” begitu kurleb isi analisanya.
Benarkah?
Saya kasih pemikiran yang beda kepada anda. Jika misalnya anda jadi warga Perancis dan baca ulasan media mainstream seperti yang saya baca, apa reaksi anda?
Bisa dua. Pertama mengecam tindakan ‘teror’ yang diamplifikasi oleh beberapa pihak telah dilakukan oleh kelompok Islam radikal, terhadap Samuel Paty dan 3 warga Perancis lainnya.
Dan yang kedua, kalo anda kelompok sayap kanan di Perancis, otomatis anda akan kasih dukungan kepada Macron untuk ambil tindakan apapun guna menanggulangi masalah tersebut. Dan ini sudah terjadi di Perancis sana. (https://edition.cnn.com/2020/10/18/europe/samuel-paty-france-protests/index.html)
Dengan kata lain, ada narasi yang dibangun oleh media mainstream yang menyatakan adanya common enemy yaitu kelompok ‘radikal Islam’. Dan kedua untuk memberantasnya, maka Macron butuh dukungan dari sayap kanan di Perancis.
Lantas muaranya kemana?
Ya tentu saja pemberlakuan kembali lockdown di Perancis. Dan Macron menang banyak dengan adanya ‘serangan teror’ dadakan tersebut. Coba bayangkan jika nggak ada serangan teror, apa mungkin Perancis yang sudah sempat re-opening bisa kembali di-lockdown dengan mudah?
Yang paling masuk akal perlu dibuat ‘situasi’ mencekam, agar orang-orang bisa dipaksa kembali stay at home. “Daripada ntar digorok gegara keluar, mending di rumah aja,” begitu kurlebnya.
Dan terhitung mulai Jumat ini, Macron kembali menerapkan lockdown hingga 1 Desember nanti.
Berbicara di Istana Elysee, Macron mengatakan, “Kita harus bersatu dalam menanggulangi pandemi ini agar cepat berlalu. Jangan mau dipecah belah.” (https://www.dw.com/en/coronavirus-france-announces-second-lockdown/a-55426861)
Uangnya dapat darimana untuk melakukan lockdown? Tentu saja dari utangan baru dari sang Ndoro besar. (https://www.euronews.com/2020/09/03/coronavirus-france-to-unveil-100-billion-stimulus-plan-to-kickstart-sick-economy)
Lalu, kenapa Perancis menerapkan lockdown jilid 2?
Alasan klasik bin mengada-ada. Dikatakan Macron, “Jika kami tidak melakukan tindakan lockdown secepatnya, maka kami akan kewalahan menangani jatuhnya korban karena virus ada dimana-mana.”
Untuk meyakinkan publik, Macron kasih data tambahan bahwa ada sekitar 36.000 kasus baru di Perancis dalam 24 jam terakhir.
Ya jelas aja tambah banyak kasus orang yang terinfeksi, wong kapasitas tes ‘abrakadabra’ terus ditambah di Perancis sana. Lagian sejak kapan kasus ‘terinfeksi’ dijadikan rujukan buat ambil kebijakan? (https://www.rfi.fr/en/france/20200901-france-is-carrying-out-900-000-covid-19-tests-every-week)
Memang demikian gentingnya situasi di Perancis sana sehingga perlu di lockdown kembali?
Coba kita lihat.
Merujuk pada statistika ‘teror’, ada 36.020 angka kematian di Perancis (30/10). (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/france/)
Sementara jumlah penduduk Perancis saat ini mencapai 67 juta jiwa. (https://www.statista.com/statistics/459939/population-france/#:~:text=The%20total%20population%20of%20France,country%20in%20Europe%20after%20Germany.)
Dengan data tersebut, maka angka kematian di Perancis akibat si Kopit hanya 0,5 per 1000 penduduk atau 5 orang per 10.000 penduduk.
Angka ini masih sangat kecil dibanding ‘death rate’ yang ada di Perancis pada tahu 2018 silam. Saat itu angka kemaatiannya jauh lebih ‘seram’ karena mencapai 9 per 1000 penduduk. Tapi nggak ada tuh tindakan lebay diterapkan di Perancis sana, seperti lockdown saat ini? (https://data.worldbank.org/indicator/SP.DYN.CDRT.IN?locations=FR)
Semoga anda paham duduk masalahnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments