Siapa Merancang Perang? (*Bagian 4)
Oleh: Ndaru Anugerah – 19112024
Sekarang kita akan lanjut ke bagian terakhir dari tulisan. Apakah PD I menjawab skenario yang telah dirancang oleh gerombolan Cecil Rhodes akan terbentuknya aliansi Anglo-Saxon setelah AS berhasil diseret kedalam konflik tersebut? (baca disini, disini dan disini)
Sebelum menjawab pertanyaan ini, PD I pada dasarnya digelar demi mewujudkan ambisi Cecil Rhodes akan terbentuknya ‘perdamaian dunia’ yang tentu saja dalam kendali kekaisaran Anglo-Saxon.
Kalo diringkas, maka yang diinginkan Rhodes sesungguhnya adalah terciptanya Tatanan Dunia Baru lewat payung Kekaisaran Anglo-Saxon.
Bagaimana ini bisa terwujud?
Kita perlu tahu bahwa dengan menggelar perang, selalu ada dua keuntungan yang didapat oleh kartel sang Ndoro besar. Pertama agenda depopulasi dan kedua agenda cari cuan. Dan selalu begitu modus yang dijalankan.
Ini sudah jadi rahasia umum. Bahkan sekelas Mayor Jenderal AL AS Smedley D. Butter tahu bahwa perang nggak lain merupakan ajang kepentingan bisnis segelintir orang yang tentu saja mendapat manfaat dari komersialisasi perang.
“War is a racket,” demikian ungkapnya setelah purna tugas dari dinas kemiliteran. Siapa yang memperoleh untung berlimpah, tentulah mereka yang memainkan ‘raket-nya’. (https://archive.org/details/WarIsARacket/mode/2up)
Sekarang mari gali lebih dalam supaya kita tahu bisnis apa yang dimaksud oleh Mayjen. Butter.
Tepat 4 bulan setelah PD I dimulai, House of Morgan sudah mengikat perjanjian bisnis dengan AD Inggris senilai USD 12 juta. Dan diakhir PD I, kontrak kerjasama militer dengan Kerajaan Inggris saja sudah mencapai USD 3 miliar. (https://archive.org/details/houseofmorgan00ronc)
Itu belum kontrak kerjasama militer dengan Perancis, Rusia, Italia dan juga Kanada.
Silakan anda hitung sendiri berapa margin keuntungan yang didapatkan House of Morgan.
Tapi tunggu dulu.
Bisnis perang ini akan terus mendatangkan keuntungan, jika dan hanya jika pihak yang didanai perang akan memenangkan perang sesuai dengan yang direncanakan. Jika seandainya pihak sekutu kalah atas Jerman, maka kerugian-lah yang akan didapat oleh pihak penyandang dana perang.
Gimana negara yang berhutang mau bayar bunga hutang jika negara sekutu harus mengalokasikan dana untuk membangun negara-nya kembali?
Ini nggak berlebihan.
Di tahun 1917, Inggris nyaris kalah oleh kekuatan Jerman sementara kas kredit mereka tinggal USD 400 juta atas House of Morgan. Singkatnya mereka butuh dana besar untuk melanjutkan perang melawan Jerman.
Untungnya, di April 2017 Kongres AS meloloskan UU Pinjaman Perang yang memberikan kredit sebesar USD 1 miliar kepada sekutu. Dengan adanya pinjaman baru tersebut, negara sekutu bisa bernapas lega. (https://archive.org/details/pdfy–Pori1NL6fKm2SnY/page/n265/mode/2up)
Sialnya, meskipun hutang sudah digelontorkan dan terus bertambah, akhir peperangan belum juga kelihatan ‘hilal’-nya. Sehingga harus ada langkah antisipasi agar hutang yang telah diberikan Morgan kepada negara sekutu bisa segera ‘dihapuskan’.
Langkah itu kemudian diambil oleh presiden The Fed yang baru terbentuk, Benjamin Strong yang nggak lain adalah anggota Pilgrim Society. Tanpa diketahui banyak pihak, Strong langsung melunasi hutang negara sekutu (bailouts) kepada House of Morgan hanya dengan ‘modal dengkul’. (https://archive.org/details/woodrowwilsonwor0000ferr)
Guna memberikan justifikasi agar AS dapat terus terlibat perang, maka di tahun 1917 para Bankir Wallstreet dibawah komando Bernard Baruch langsung kasih ‘arahan’ kepada Presiden Wilson untuk membentuk Dewan Industri Perang dimana para Bankir yang berada pada susunan keanggotaan. (https://encyclopedia.1914-1918-online.net/article/war-industries-board/)
Dengan terbentuknya Dewan Industri Perang, maka para bankir Wallstreet tinggal kipas-kipas dalam memperoleh margin keuntungan dengan adanya perang. Dari mulai standarisasi produk alat perang, penetapan kuota, penentuan harga jual hingga penggelembungan biaya perang, dewan inilah yang punya kuasa penuh dalam menentukan kebijakan.
Jadi warga AS yang kemudian ditumbalkan untuk berperang, sementara yang raih cuan adalah kartel sang Ndoro besar. Luar biasa.
Tidak cukup sampai disitu.
Saat perang berakhir, maka negara yang kalah perang akan memerlukan dana pemulihan yang kelak akan mereka dapatkan jika dan hanya jika negara tersebut bersedia untuk ‘diatur’. Kalo nggak maka dana recovery tidak akan digelontorkan.
Dengan pengaturan ini, maka kartel sang Ndoro besar mencoba untuk mentransformasi kehidupan politik, sosial dan ekonomi di seluruh dunia ke dalam satu bentuk baru yang bernama Tatanan Dunia Baru dengan Anglo-Saxon sebagai pusatnya.
Masih ingat saat Triple Entente membuat perjanjian rahasia antara mereka yang kelak akan mengkapling dunia setelah PD I berhasil mereka menangkan? (http://www.gwpda.org/comment/secrettreaties.html)
Itu juga dalam rencana pembentukan tatanan dunia baru.
Anda pasti tahu Perjanjian Sykes-Picot yang dibuat oleh Inggris dan Perancis yang menjadi dasar terbentuknya peta Timur Tengah Modern seperti saat ini. Itu adalah produk perjanjian rahasia yang saya maksud. (https://wwi.lib.byu.edu/index.php/Sykes-Picot_Agreement)
Atau Deklarasi Balfour yang ditandatangani oleh Arthur Balfour yang saat itu menjabat sebagai Menlu Pemerintah Inggris dan ditujukan kepada Lord Walter Rothschild sebagai penyandang dana terbentuknya Tanah Air Yahudi di Palestina. (baca disini)
Itu juga perjanjian rahasia.
Dan yang terpenting adalah upaya establisment dari Kekaisaran Anglo-Saxon. “Akan menjadi hal yang baik untuk mengembalikan Amerika ke dalam Kerajaan Inggris,” demikian ungkap Lord Rothschild. (https://paperspast.natlib.govt.nz/newspapers/EP19020603.2.13)
Kini, itu semua sudah menjadi kenyataan. Setelah beberapa dekade Kekaisaran Anglo-Saxon bukan saja eksis, tapi juga telah menguasai dan membentuk dunia, tentu saja seturut dengan arahan kartel sang Ndoro besar.
Pertanyaan selanjutnya: akankah Kekaisaran Anglo-Saxon bertahan selama-lamanya atau akan ada kekaisaran baru di dunia?
Kita akan bahas, dengan catatan: saya punya cukup waktu untuk menulisnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)