Sekali Lagi Tentang GSM (*Bagian 1)


528

Sekali Lagi Tentang GSM (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 27052025

Cuaca saat ini sungguh nggak bisa diprediksi, akhir-akhir ini. Diprediksi bakalan panas, nyatanya hujan atau justru sebaliknya.

Bahkan yang harusnya musim kemarau datang di bulan Maret di Planet Namek, nyatanya hingga saat ini musim tersebut nggak kunjung datang. Pagi-siang-sore, hujan masih sering terjadi dan entah kapan akan berhenti berganti musim panas. (https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20250508180025-641-1227367/bmkg-ungkap-kapan-musim-hujan-berakhir-di-ri-ini-prediksinya)

Ada apa sebenarnya?

Apakah ini dampak dari pemanasan global seperti yang banyak dibicarakan oleh media mainstream?

Saya coba jawab pertanyaan ini, meskipun pada beberapa tulisan saya telah mengulasnya.

Hampir semua yang ada di alam, mempunyai siklusnya masing-masing. Ada siklus kelahiran, ada siklus kematian. Ada siklus bulan mengelilingi bumi, ada juga siklus bumi mengelililingi matahari. Jadi semua punya siklus tertentu yang menandakan sesuatu trejadi secara ‘dinamis’.

Berdasarkan siklus-siklus itulah, makanya para petani tradisional di Tiongkok bisa memprediksi kapan musim tanam akan segera tiba. Karena ada siklus-nya.

Atau para pelaut yang akan menangkap ikan di perairan luas, kapan mereka harus melaut atau jusru kapan mereka harus menepi. Ini bisa dilakukan, jauh sebelum teknologi ditemukan, karena mereka memperhatikan siklus pasang-surut yang ada.

Termasuk salah satunya yang jarang diketahui eksistensi-nya, yakni siklus letusan matahari berupa badai elektromagnetik raksasa yang dapat diamati sebagai aktivitas bintik matahari.

Berdasarkan informasi yang ada, siklus ledakan matahari (yang biasa dikenal sebagai siklus matahari) yang terpendek durasinya, sekitar 11 tahun. Ini bisa terjadi karena disebabkan oleh medan magnet matahari. (https://spaceplace.nasa.gov/solar-cycles/en/)

Lantas siklus matahari yang lebih panjang, durasinya terjadi berapa lama?

Bisa 90 hingga 100 tahun, bisa juga lebih dari 200 tahun.

Bagaimana para ilmuwan mengukur siklus tersebut?

Tentu saja dengan mengamati jumlah bintik matahari setiap harinya per tahun. Dengan menghitung jumlah bintik tersebut secara rata-rata, maka akan bisa didapatkan hasil jumlah bintik yang ditimbulkan medan magnet matahari di permukaannya.

Kurleb begitu mekanisme penghitungan-nya. (https://www.swpc.noaa.gov/phenomena/sunspotssolar-cycle)

Dan tanpa kita sadari, bahwa siklus letusan matahari tersebut, memberi dampak yang signifikan terhadap kehidupan kita di Bumi, utamanya dalam membentuk cuaca dan juga iklim.

Di tahun 2019 silam, berdasarkan pengamatan para ahli astrofisika, kita berada pada Siklus 24, kondisi dimana permukaan matahari praktis nyaris tanpa bintik sejak 2008. (https://www.livescience.com/space/the-sun/has-the-sun-already-passed-solar-maximum)

Dan ini bisa jadi pertanda bahwa Bumi akan mengalami fase Minimum Matahari terdalam pada 1 abad.

Yang perlu dicatat adalah jumlah bintik matahari telah menurun dari setiap siklus sejak Siklus 22 yang dimulai di tahun 1986. Beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa Siklus 25 yang dimulai pada tahun 2020, akan memulai serangkaian aktivitas bintik matahari yang lebih rendah.

Sampai kapan?

Beberapa memprediksi kondisi ini akan terjadi sampai 2055 atau bahkan lebih lama. Dan jika prediksi ini benar, maka akan ada pengaruh yang signifikan terhadap iklim dan cuaca kita.

“Ini bisa jadi Siklus 25 terendah sejak 200 tahun terakhir,” demikian ungkap ilmuwan NASA. (https://www.nasa.gov/feature/ames/solar-activity-forecast-for-next-decade-favorable-for-exploration)

Apa artinya?

Ini berarti aktivitas bintik matahari terendah sejak awal 1800, yang oleh para astrofisikawan dikenal sebagai Dalton Minimum, yang pernah terjadi selama 30 tahun, dimulai tahun 1790 hingga sekitar tahun 1820. Beberapa ahli memberi nama khusus sebagai Grand Solar Minimum.

Apa yang bakal terjadi di fase Grand Solar Minimum (GSM)?

Merujuk pada sejarah, terjadi letusan gunung berapi yang signifikan. Yang paling penting adalah letusan fenomenal Gunung Tambora di Nusa Tenggara, Indonesia di tahun 1815. (https://www.science.smith.edu/climatelit/the-eruption-of-mount-tambora-1815-1818/)

Saat Tambora meletus, volume abu vulkanik yang dihasilkannya sangat banyak dan terbang ke arah atmosfer membentuk awan. Awan yang terbentuk kemudian menghalangi cahaya mahahari sehingga menyebabkan suhu permukaan bumi menurun karena nggak dapat paparan matahari.

Bahkan sedemikian parahnya debu vulkanik Tambora, hingga menyebabkan peristiwa yang dikenal sebagai Tahun Tanpa Matahari alias Year without Summer di tahun 1816. Dan yang paling terkena dampaknya adalah wilayah Amerika dan Eropa. (https://scied.ucar.edu/learning-zone/how-climate-works/mount-tambora-and-year-without-summer)

Akibatnya, panen gagal dan ternak mati.

Siapa juga yang bisa bertahan tanpa cahaya matahari dalam setahun?

Selanjutnya, tragedi berupa bencana kelaparan menjadi nggak terelakan. Banyak orang terpaksa meregang nyawa karena nggak bisa makan dikarenakan hasil panen yang gagal. Selain itu dengan cuaca yang dinginnya ekstrim, siapa mampu bertahan? (https://www.ebsco.com/research-starters/history/year-without-summer-poverty-year#:~:text=Thousands%20perished%20as%20a%20result,of%20the%201815%20volcanic%20activity.)

Jadi apa yang bisa disimpulkan?

Bahwa aktivitas bintik matahari punya pengaruh yang signifikan terhadap cuaca, iklim, suhu permukaan bumi, aliran gulf stream dan masih banyak lagi.

Tapi sayangnya, semua catatan sejarah yang terkait dengan siklus matahari ini nggak pernah dijadikan rujukan bagi ilmuwan saat ini. Hanya sedikit yang aware. Padahal kita tahu bahwa semua yang terjadi di alam, ada siklusnya. Nggak terkecuali siklus bintik matahari.

Pada bagian kedua kita akan bahas relevansi siklus matahari dengan situasi cuaca yang kita alami saat ini.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!