Sanksi Salah Sasaran?


514

Sanksi Salah Sasaran?

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa tujuan penerapan sanksi oleh AS dan sekutunya kepada Rusia, yang telah melakukan operasi militer khusus di Ukraina?

Tentu saja untuk ‘menghukum’ secara ekonomi. Harapannya jelas, Rusia terpukul secara ekonomi dan terpuruk akibat sanksi yang telah dijatuhkan. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-02-27/russians-rush-for-dollars-as-sanctions-threaten-ruble-collapse)

Begitu skenario-nya, bukan?

Sebaliknya dari awal saya sudah nyatakan, bahwa penerapan sanksi atas Rusia nggak akan pernah efektif. Yang ada kemudian, sanksi itu bisa menjadi bumerang pada negara-negara yang telah menjatuhkan sanksi tersebut. (baca disini)

Dan sekarang, analisa saya kembali terbukti. Rusia nggak terpukul sesuai harapannya.

Indikatornya jelas. Mata uang Rusia, Rubel, kembali normal belakangan ini, meskipun mengalami penurunan sesaat di awal konflik. (https://dailyreckoning.com/why-is-the-ruble-soaring/)

“Sanksinya salah sasaran. Naiknya nilai mata uang Rubel, pertanda kuat bahwa sanksi sama sekali nggak berhasil menjatuhkan Rusia,” demikian ungkap seorang netizen.

Apa benar pernyataan yang diungkapkan netizen tersebut?

Seperti kita ketahui bersama, bahwa AS dan sekutunya, sangat tahu bagaimana cara melumpuhkan ekonomi Rusia.

Ambil contoh ketika Rusia menganeksasi Krimea di tahun 2014 silam.

Sanksi ekonomi dijatuhkan, dan untuk mendukung langkah tersebut, baik AS dan negara-negara Arab, sepakat untuk menggenjot produksi minyaknya, agar minyak Rusia nggak bisa membanjiri pasar. (https://www.reuters.com/article/us-usa-saudi-oil-idUSKBN0F300P20140628)

Kalo minyak banyak di pasaran, ketidakhadiran minyak asal Rusia jelas bukan masalah, bukan?

Dengan banjirnya minyak di pasaran, maka harga minyak dunia terjun bebas. Hanya kurang dari satu tahun, harga per barel-nya yang dibandrol USD 109, langsung menukik di angka USD 44. (https://www.bls.gov/opub/btn/volume-4/pdf/the-2014-plunge-in-import-petroleum-prices-what-happened.pdf)

Kondisi ini jelas memukul ekonomi Rusia, yang memang menggantungkan ekonomi nasional-nya dari jualan minyak ke pasar global.

Singkat cerita, ekonomi Rusia terpukul dan mendorong mereka ke jurang resesi di tahun 2015. (https://www.reuters.com/article/us-russia-crisis-economy-poll-idUSKBN0K01LT20141222)

Itu baru namanya sanksi. Dan AS plus sekutunya sangat tahu bagaimana menjatuhkan sanksi yang efektif pada Rusia.

Sekarang kita compare dengan situasi saat ini.

Apakah sanksi yang dijatuhkan pada Rusia dijalankan seperti penerapan sanksi sebelumnya di tahun 2014 silam?

Nyatanya, saat sanksi dijatuhkan, baik AS maupun negara-negara Arab, nggak menggenjot produksi minyak guna membanjiri pasar dunia, dengan segudang alasan. “Kami kekurangan tenaga untuk mendongkrak produksi minyak selama pandemi,” begitu kurleb-nya. (https://www.forbes.com/sites/rrapier/2022/03/11/what-is-holding-back-us-oil-production/)

Belum lagi Arab Saudi, yang nggak meningkatkan produksi minyaknya di tengah banyaknya kebutuhan, tapi justru malah menaikkan harga minyaknya. (https://oilprice.com/Energy/Crude-Oil/Saudi-Arabia-Hikes-Oil-Prices-Despite-Record-Discounts-For-Russian-Crude.html)

Jadi, Rusia tetap bisa jualan minyak, plus dapat untung berlipat. Makanya Rubel-nya normal kembali. Apakah ini sanksi salah sasaran?

Sebaliknya, sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia, justru berimbas pada ambruknya ekonomi global. (https://www.ft.com/content/a2bc0bbe-f43e-4927-8bd8-94c48e4fcdfc)

Saat sanksi diterapkan, Rusia yang merupakan eksportir minyak sekaligus makanan dunia, dipaksa nggak bisa menjual produknya ke luar. Akibatnya, pasokan global menjadi terganggu, yang berimbas pada langka-nya barang di pasaran.

Kalo barang langka, ya otomatis harga merangkak naik. Dan itu yang terjadi saat ini.

Dengan kata lain, Rusia selaku produsen minyak dan bahan pangan, sama sekali nggak terpengaruh atas sanksi ini, malah mendatangkan keuntungan tersendiri bagi mereka.

Contohnya hasil gandum yang diproduksinya, karena diembargo oleh AS dan sekutunya, terpaksa mereka alihkan penjualannya ke China, Kazakhstan, hingga Pakistan.

Tetap saja mereka dapat keuntungan atas kenaikan harga gandum, bukan? Terus mana sanksi yang diberlakukan atas Rusia? (https://phys.org/news/2022-03-russia-war-ukraine-wheat-prices.html)

Di sisi yang lain, akibat penerapan sanksi tersebut, AS kini tengah bersiap memasuki resesi besar-besaran pada tahun 2023 mendatang, sedangkan Perancis berencana untuk memberlakukan sistem voucher makanan di negaranya dalam waktu dekat. Di beberapa negara bahkan telah memberlakukan penjatahan pada penggunaan bahan bakar bagi warganya. (https://edition.cnn.com/2022/03/24/economy/economy-russia-ukraine-war/index.html)

Saya mau katakan bahwa sanksi yang dijatuhkan pada Rusia, nggak tepat sasaran malah justru melenceng jauh. Akibatnya, harga minyak terkerek dan bahan pangan ikutan balapan dalam kenaikan harga.

Ini akan mendorong ekonomi global ke jurang krisis dalam waktu dekat, karena esensinya manusia butuh pangan dan energi, bukan?

Jika begini keadaannya: apakah sanksi yang diterapkan pada Rusia, salah sasaran?

Ini retorik untuk ditanyakan, bukan?

Kalo boleh jujur, agenda siapa yang dimainkan dalam konflik di Ukraina? Bukankah ini selaras dengan agenda The Great Reset yang menginginkan ekonomi global collapse?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!