Sains Dalam Cengkraman Sang Ndoro


526

Sains Dalam Cengkraman Sang Ndoro

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, apakah publikasi jurnal ilmiah nggak terbebas dari cengkraman Ndoro besar?” tanya seorang netizen.

Pertanyaan bagus, dan saya akan coba menjawabnya.

Seperti yang kita tahu, bahwa dalam menjelaskan tentang apa yang telah ditelitinya, maka seorang ilmuwan perlu mempublikasikan temuannya tersebut dalam jurnal ilmiah. Dengan publikasi tersebut, publik akan tahu karya gemilang yang telah dibuat sang ilmuwan.

Jurnal ilmiah pertama kali muncul di dunia pada 1665 oleh Denis de Sallo di Perancis. Sejak saat itu secara nggak langsung kasih isyarat kepada ilmuwan lainnya untuk mempublikasikan karya ilmiah yang telah dibuatnya kepada publik melalu sebuah jurnal.

Selanjutnya, penerbit akan mengatur teknis percetakan dan juga distribusinya. Ini dilakukan agar para ilmuwan bisa fokus pada pekerjaan mereka yang utama sebagai peneliti. (https://www.historyofinformation.com/expanded.php?id=2661)

Seiring berkembangnya jaman, maka internet muncul ke dunia.

Pertanyaannya: “Dengan adanya teknologi paperless melalui dunia maya, apa masih relevan peran sebuah penerbit, mengingat proses peer-reviewing bisa dilakukan secara online?”

Ini wajar ditanyakan, karena pada praktiknya hingga kini, peran penerbit besar masih saja ada. Aliasnya jaman boleh beda, tapi ‘menu’nya tetap sama.

Secara singkat, penelitian ilmiah, mulai dari yang ecek-ecek hingga penemuan yang sifatnya ‘revolusioner’, secara efektif dikendalikan oleh lima perusahaan besar.

Pada awalnya, tepatnya di tahun 1973, kelima perusahaan tersebut hanya menguasai sekitar 20% karya ilmiah. Tapi di tahun 2006, angkanya meningkat fantastis menjadi 50%.

Siapa saja mereka?

Sistem pengindeksan yang dilakukan oleh Web of Science, mendapati bahwa lebih dari setengah makalah akademis dunia yang sudah melalui tahapan review rekan sejawat (peer-review), dikuasai oleh the big five, yaitu: Reed-Elsevier, Wiley-Blackwell, Taylor & Francis, Springer dan Sage.

Dan banyak ilmuwan yang sadar akan hal ini. (https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0127502)

Ini sangat fatal, mengingat kelima perusahaan besar tersebut meraup keuntungan ‘berlimpah’ atas sesuatu yang nggak mereka lakukan. Bukankah pekerjaan mereka hanya mempublikasikan karya ilmiah yang bisa diakses semua orang? Lantas mengapa mereka menerapkan sistem berbayar pada siapapun yang akan mengaksesnya?

Dengan kata lain, publikasi yang kemudian mereka kuasai, nggak otomatis bisa diakses semua orang secara gratis. Hanya orang-orang yang punya duit saja yang bisa mengaksesnya, karena sistem berbayar yang diterapkannya.

Memang berapa banyak keuntungan yang didapat?

Ambil contoh Reed-Elsevier, yang banyak diakses orang karene hampir 70% karya ilmiah dari mulai kimia, psikologi hingga ilmu sosial diterbitkan melalui perusahaan tersebut.

Berdasarkan laporan di paruh pertama di tahun 2014 silam saja, perusahaan tersebut berhasil meraup ‘cuan’ sebesar USD 1,5 milyar hanya dari jualan jurnal ilmiah. Ini belum dari pendapatan iklan dan tetek bengek lainnya. (https://www.publishersweekly.com/pw/by-topic/industry-news/publisher-news/article/63099-global-publishing-leaders-2014-reed-elsevier.html)

Itu baru setengah tahun lho ya. Gimana satu tahun penuh? Trus bagaimana juga dengan margin keuntungan yang didapat penerbit lainnya?

Entahnya.

Yang jelas, karena mungkin kesal atas sikap monopoli yang dilakukan oleh Elsevier, puluhan ribu saintis dunia melakukan aksi boikot pada perusahaan tersebut sebagai tanggapan atas tingginya harga yang dikenakan perusahaan untuk bisa berlangganan jurnal ilmiah yang seharusnya gratisan. (https://blogs.lse.ac.uk/impactofsocialsciences/2015/07/08/dutch-universities-boycott-elsevier/)

Apakah langkah boikot ini membuahkan hasil?

Nggak juga. Karena sangat sulit memutuskan ikatan dengan penerbit besar.

Salah satu faktor utamanya adalah karir akademis masih membutuhkan publikasi yang prestise. Aliasnya, para peneliti masih membutuhkan modal akademik yang didapat melalui penerbit bergengsi.

Jika peneliti pemula membutuhkan jurnal yang bisa diterbitkan melalui penerbit bonafid, maka peneliti senior juga mempertahankan peran penerbit besar untuk mempertahankan dana hibah yang mereka peroleh guna melakukan penelitian lanjutan.

“Kalo jurnalnya nggak diterbitkan melalui penerbit besar, siapa juga ‘donatur’ yang bersedia kasih support dana guna melalukan penelitian lanjutan?” begitu kurleb-nya.

Selain itu ada faktor kedua yang anda harus pahami melalui kacamata geopolitik. Fakta mengatakan bahwa 3 dari 5 penerbit besar tersebut, terkoneksi dengan kartel Ndoro besar.

Nggak percaya?

Ambil contoh, Reed-Elsevier. Kalo anda telusuri, maka perusahaan besar tersebut, juga nggak lepas dari cengkraman sang Ndoro, mengingat kepemilikan mayoritas perusahaan di dalam cengkraman kartel. (https://www.marketscreener.com/quote/stock/REED-ELSEVIER-PLC-4007818/company/)

Pertanyaan kritisnya: apa yang hendak diraih sang Ndoro dalam menguasai jurnal ilmiah?

Nggak lain adalah upaya sensor yang bisa diterapkan pada ilmuwan manapun yang dianggap ‘berseberangan’ dengan agenda mereka.

Sekarang coba jawab, kalo misalnya ada temuan hebat, tapi diterbitkan oleh penerbit ecek-ecek, kira-kira berapa banyak yang mau membacanya dan dijadikan referensi?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!