Resistensi Antibiotik
Oleh: Ndaru Anugerah
Ada bahaya yang lebih mematikan ketimbang Kopit. Apa itu?
Baru-baru ini, WHO memperingatkan bahwa resistensi antimikroba alias antobiotik akan membunuh hingga 10 juta manusia pada tahun 2050 mendatang, yang berarti 4 kali lipat dari kematian akibat di Kopit di dunia selama setahun terakhir. (https://www.who.int/news/item/29-04-2019-new-report-calls-for-urgent-action-to-avert-antimicrobial-resistance-crisis)
“Resistensi antibiotik merupakan ancaman terbesar bagi kesehatan global,” ungkap WHO. Dan perusahaan obat memperburuk situasi ini dengan meresepkan antibiotik secara berlebihan. Jadi sakit apapun, selalu ada resep antibiotiknya.
Ironisnya, semakin banyak antibiotik digunakan, maka semakin resisten bakteri terhadapnya.
Menurut data, antara 2000 – 2015, negara-negara kaya berhasil menurunkan penggunaan antibiotik sebesar 4%. Namun pada negara-negara berkembang dan misqueen, penggunaan antibiotik justru meningkat sebanyak 77%. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33721743/)
Singkatnya, penggunaan antibiotik secara berlebihan telah merajalela di seluruh dunia. (https://gh.bmj.com/content/bmjgh/5/9/e003393.full.pdf)
Kok bisa antibiotik digunakan secara membabi-buta?
Investigasi yang dilakukan oleh Bureau of Investigative Journalism (2019) mengungkapkan bahwa itu bisa terjadi karena pihak farmasi mengiming-imingi insentif tunai, hadiah, peralatan medis, liburan dan sebagainya kepada para pemberi resep atau penjula obat yang berhasil ‘meningkatkan’ penggunaan antibiotik.
Yang terjadi kemudian, semua berlomba-lomba untuk menjual antibiotik bukan berdasarkan khasiatnya, melainkan karena motif keuntungan semata. “Yang penting barangnya bisa laku. Titik.” (https://www.thebureauinvestigates.com/stories/2019-08-19/drug-company-reps-give-quack-doctors-fridges-and-televisions-to-sell-antibiotics)
Laporan senada juga dikeluarkan oleh ProPublica di tahun 2019 silam. “Ada lebih dari 700 dokter di AS yang telah menerima masing-masing lebih dari USD 1 juta dari perusahaan obat dan peralatan medis,” ungkapnya. (https://www.propublica.org/article/we-found-over-700-doctors-who-were-paid-more-than-a-million-dollars-by-drug-and-medical-device-companies)
Walaupun itu sesuatu yang dianggap ‘lumrah’ namun itu sebenarnya justru merusak netralitas profesionalisme yang mereka miliki. (https://www.forbes.com/sites/quora/2017/12/05/how-to-find-out-if-your-doctor-is-being-paid-by-pharmaceutical-companies/)
Jadi jangan aneh kalo di negara-negara misqueen, apapun penyakitnya selalu ada antibiotik didalamnya. Bahkan dalam kasus Kopit, antibiotik juga turut hadir didalamnya.
Padahal WHO sendiri ngomong kalo antibiotik nggak bisa ngobatin Kopit. (https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public/myth-busters?gclid=CjwKCAjwvMqDBhB8EiwA2iSmPKjdcTDCNSYm9WHtr5XONKJ-IhB8WJ4d_RL4XbM92dRO6B5I-Irq-RoCTaoQAvD_BwE#antibiotics)
Lalu bagaimana penggunaan antibiotik di negara-negara maju?
Di negara-negara Barat khususnya, antibiotik justru digunakan pada hewan ternak agar bisa lebih sehat dan higienis saat dikemas. (https://www.who.int/news/item/07-11-2017-stop-using-antibiotics-in-healthy-animals-to-prevent-the-spread-of-antibiotic-resistance)
Ini justru menimbulkan masalah baru karena limpasan dan limbah antibiotik justru dapat menyebabkan resistensi terhadap obat-obatan dan membahayakan kesehatan manusia. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4240113/)
Selain itu, penggunaan antibiotik pada hewan ternak dapat menyebabkan wabah penyakit zoonosis (penyakit yang menyebrang dari hewan ke manusia) yang tentunya sangat berbahaya. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK215318/)
Dan jangan pernah berhadap pada perusahaan obat dalam menyadarkan bahaya antibiotik bagi manusia, karena mereka sama sekali nggak tertarik akan hal ini.
Dr. Gautham memperingatkan bahwa penggunaan antibiotik yang berlebihan akan berakibat pada ketidakefektifan dalam melawan infeksi yang paling umum sekalipun. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4240113/)
Coba anda bayangkan, jika treatment yang diberikan pada penderita kemoterapi, operasi Caesar dan operasi umum lainnya yang membutuhkan antibiotik untuk mencegah infeksi pasca operasi, eh tahunya bakterinya telah menjadi kebal terhadap antibiotik tersebut?
Apa nggak berabe kalo begitu kejadiannya?
Dan bicara fakta, sudah menjadi rahasia umum kalo berita apapun yang menyerang farmasi, termasuk tentang penggunaan antibiotik secara berlebihan, bakal kena sensor media mainstream. (https://www.projectcensored.org/19-antibiotic-abuse-pharmaceutical-profiteering-accelerates-superbugs/)
Kalopun ada, maka jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Misalnya investigasi yang dilakukan oleh The New York Times (2016) tentang ‘strategi’ yang dilakukan pihak farmasi dalam menjual antibiotik. Setelah itu, maka investigasi yang dilakukan media mainstream langsung hilang tak berbekas. (https://www.nytimes.com/2016/08/11/business/international/abbott-india-suicide-inhuman-drug-sales-tactics.html)
Jadi, ke depan ada bahaya yang lebih mematikan ketimbang Kopit, yaitu resistensi antibiotik. Namun sayangnya, berapa banyak yang sadar dan peduli akan hal ini?
Bersiaplah untuk skenario terburuk.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments