Proyek Lupa Sejarah
Oleh: Ndaru Anugerah
Kalo kita perhatikan akhir-akhir ini, kenapa banyak sekali patung-patung dirubuhkan atau ditolak keberadaannya sama segelintir ormas? “Ahh, itu mah gejala sesaat, ntar juga hilang,” Mungkin anda bisa berpendapat begitu.
Apa iya? Pertanyaan selanjutnya: apa gak mungkin ini akan merembet ke produk budaya lainnya, misalnya peninggalan situs-situs kuno dan bersejarah yang sangat mudah disebut sebagai “situs penyembahan berhala”?
Untuk mengulas lebih lanjut, saya masih ingat seorang bernama Milan Kundera dalam bukunya The Book of Laughter and Forgetting (1979) pernah berkata: “The first step in liquidating a people is to erase its memory” yang berarti langkah pertama memusnahkan suatu bangsa adalah dengan menghapus ingatannya.
Ingatan apa yang dimaksud beliau? Ingatan tentang sejarah masa silam yang dimilikinya. Sejarah itu bisa menyangkut banyak aspek, dari mulai situs bersejarah sampe catatan (manuskrip) yang menyimpan catatan tentang bangsa itu.
Mungkin kedengarannya konyol bagi kita, tapi itulah yang dilakukan bangsa penjajah (utamanya Belanda) terhadap bangsa Indonesia. Langkah pertama yang dilakukan oleh bangsa Belanda setelah menduduki Indonesia adalah menyita dan memboyong semua catatan atau naskah-naskah kuno ke Belanda.
Apa tujuannya? Ada dua.
Pertama untuk mempelajari bangsa Indonesia yang ternyata berbudaya tinggi. Apa buktinya? Selidik punya selidik, ternyata Surat Emas Raja-Raja Nusantara membuktikan kalo selama 400 tahun raja-raja di Nusantara menulis surat dalam bahasa Melayu kepada raja-raja di luar negeri, terutama Eropa. Bukan bahasa Inggris, lho?
Artinya apa, bangsa luar negeri-lah yang punya kepentingan terhadap kerajaan di Nusantara, bukan sebaliknya. Ngapain juga raja-raja luar negeri tersebut repot-repot belajar bahasa Melayu, kalo nggak ada kepentingannya?
Apa kepentingannya, yah budaya yang tinggi tadi termasuk sumber daya alamnya. Bahkan saya pernah ngebaca ternyata bangsa Eropa pernah mempelajari dari penduduk Papua tentang bagaimana mengontrol kehamilan dengan menggunakan satu jenis tanaman liar.
Pengetahuan itu mereka dapat dari naskah kuno (manuskrip) yang ada di Papua. Sialnya, bangsa Eropa lah yang berhasil memproduksi obat anti-hamil berdasarkan pengetahuan itu, dan bukan orang papua.
Yang kedua adalah untuk membuat bangsa Indonesia menjadi buta akan sejarahnya sendiri. Dengan diangkutnya semua catatan kuno bernilai sejarah ke negara Belanda, maka setidaknya kita akan ribet kalo mau mempelajari budaya asli kita.
Ribetnya? Harus terbang ke Leiden, Belanda tempat naskah-naskah kuno tersebut disimpan. Ribet jauhnya, ribet ongkos-nya. Ujung-ujungnya malas-lah mempelajarinya, sehingga kita buta akan sejarah kita sendiri. Dan ini yang diharapkan oleh bangsa Belanda. Kalo saja orang Indonesia tahu tentang sejarah keemasan bangsa kita, maka kejadian hari ini, dimana kita sebagai bangsa inferior dihadapan orang Barat, tidak mungkin terjadi.
Nyatanya, bahasa Inggris-lah yang sekarang memegang hegemoni itu, bukan bahasa Melayu. Bahkan lebih jauh lagi, bangsa Indonesia dibuat seolah-olah sebagai bangsa primitif yang berhasil di”budayakan” oleh bangsa penjajah lewat politik etis dan sebagainya. Coba tengok-lah sejarah…
Terakhir saya coba mau kasih ilustrasi.
Adalah suatu bangsa, yang terletak di Mali, Afrika Barat. Namanya Timbuktu. Menurut catatan Leo Africanus (1550) dalam bukunya Description of Africa, Timbuktu merupakan pusat perdagangan yang sangat ramai-mai-mai. Dulu orang mengenalnya sebagai pusat perdagangan Trans-Sahara.
Ini bisa terjadi, karena Mali kaya akan tambang emasnya. Bahkan, Mansa Musa sebagai kaisar Mali merupakan salah satu orang terkaya di dunia pada abad ke-14. Berdasarkan catatan, bangsa Timbukti menulis sendiri kitab-kitab sejarah dan hukumnya.
Artinya bangsa Timbuktu dulunya berperadaban tinggi. Waktu berlalu, hingga akhir abad ke-19, Perancis menaklukkan Timbuktu. Apa yang mereka langsung lakukan adalah merampas semua catatan berharga, lalu mereka menyebarkan propaganda kalo bangsa Timbuktu adalah bangsa Afrika yang terbelakang dan buta aksara.
Apa yang terjadi kemudian? Muncullah perlawanan dari suku Tuareg, suku asli Mali yang beragama islam. Militansi mereka sangat sulit ditaklukkan. Maka pusinglah para penjajah tersebut. Peristiwa ini berlangsung terus hingga tahun 2000-an. Menurut pandangan Perancis, Mali yang kaya hasil tambang, harus ditaklukkan.
Maka dibuatlah pasukan bayangan yang bernama Ansar Dine (Ansharud-din) yang berafiliasi dengan Al Qaedah Mali.
Aha… Kehadiran Al Qaedah Mali ini-lah yang dijadikan pembenaran bagi Perancis dan sekutunya untuk menginvasi Mali, yang tahun 2012 lalu berhasil dikudeta oleh kelompok bersenjata tersebut. Alasannya klasik, memberantas terorisme…
Padahal semua orang tahu, upaya menginvasi Mali yang dipelopori Perancis merupakan akal-akalan doank. Ngapain juga Perancis mau repot-repot memboyong pasukannya ke Mali kalo negara tersebut tidak kaya akan emas, berlian hingga uranium?
Dilain sisi untuk menghancurkan jejak sejarah, peran itu diambil oleh kelompok radikal. Al Qaedah Mali pada 2013 membakar banyak perpustakaan di Timbuktu yang banyak menyimpan catatan sejarah kejayaan Mali, serta terakhir menghancurkan Masjid Sidi Yahya yang merupakan peninggalan sekaligus destinasi wisata bersejarah islam abad ke-14.
Mereka menghancurkan mesjid sambil berteriak-teriak Allahu Akbar. Hancur mina-lah bangsa Timbuktu di Mali. Negara mereka sudah hancur lebur, hasil tambang dirampok, manuskrip dan peninggalan sejarah-pun sudah sukses diberangus. Watdehel…
Anyway, kelakuan Al-Qaeda di Mali yang merupakan “bentukkan” Perancis, kok jadi klop yah dengan segelintir ormas yang dikit-dikit main hancurkan produk-produk budaya? Seolah mereka nggak rela kalo ada peninggalan sejarah yang tersisa sebagai bukti kejayaan suatu bangsa di masa silam. Alasan yang mereka ungkapkan juga sama: Thougut alias tempat penyembahan berhala.
Apa nggak mungkin nanti-nantinya proses penghancuran budaya merembet ke buku-buku serta produk budaya lainnya? Dan yang terpenting, apa tidak mungkin ada kepentingan asing terhadap aksi segelintir ormas tersebut, yang mencoba “menjajah” Indonesia kembali lewat segmen agama?
Semoga kita semua selalu diingatkan oleh sejarah. Yah, sejarah.
Karena satu-satunya pelajaran sejarah adalah “kita lupa akan sejarah”.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments