Program Delusional (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa namanya jika seseorang punya keyakinan yang terus menerus diyakini benar, meskipun secara faktual, bukti yang ada justru berlawanan dengan yang diyakininya tersebut?
Secara definitif, itu disebut delusi. Dan proyek sang Ndoro besar mayoritas bersifat delusional. Salah satunya Sustainable Development Goals (SDG) yang akan dicapai pada 2030 mendatang. (https://sdgs.un.org/goals)
Dimana letak delusi-nya?
Anda tahu yang namanya SDG point ke-7 yang menyangkut bidang energi bagi masyarakat global? Dikatakan bahwa PBB akan memastikan akses ke energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk semua orang pada 2030. (https://sdgs.un.org/goals/goal7)
Merujuk pada laporan yang dibuat oleh Departemen Urusan Sosial dan Ekonomi PBB (UNDESA), “Ketimpangan dan kemiskinan mencegah (seseorang mendapat) akses ke energi terjangkau, andal dan berkelanjutan.” Jadi ini tujuan yang hendak dicapai, mengatasi masalah akses energi dengan cara mengatasi ketimpangan dan kemiskinan. (https://sdgs.un.org/sites/default/files/2021-05/StakeholdersThematicEConsultation_UNHighLevelDialogueonEnergy_SummaryReport.pdf)
Bahkan Antonio Guterres selaku Sekjen PBB menegaskan bahwa untuk mengakhiri kemiskinan energi dan membatasi perubahan iklim, diperlukan energi yang terjangkau, terbarukan dan berkelanjutan untuk semua. (https://www.un.org/sg/en/content/sg/statement/2021-09-24/secretary-generals-opening-remarks-high-level-dialogue-energy)
Pertanyaannya: apakah benar akses ke energi terjangkau, andal dan berkelanjutan memang menjadi prioritas PBB pada sektor energi?
Kita mau bedah satu persatu frase yang termaktub dalam tujuan PBB tersebut. Pertama, benarkah PBB berencana mewujudkan energi yang terjangkau?
Berdasarkan Laporan yang dibuat Gro Harland Brundtland di tahun 1987, yang menghasilkan definisi pembangunan berkelanjutan, dengan jelas menyatakan bahwa prioritas utama yang sebenarnya adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat termiskin di dunia saat ini, dengan memastikan kebutuhan masa depan mereka supaya tidak terganggu.
Bahasa sederhananya: pemenuhan kebutuhan bagi kaum marjinal (miskin papa) yang terjangkau, bukan saja untuk saat ini, tapi juga untuk masa depan. (https://en.wikisource.org/wiki/Brundtland_Report/Chapter_2._Towards_Sustainable_Development)
Apakah pemenuhan kebutuhan energi yang terjangkau bagi kaum misqueen telah terpenuhi saat ini?
Itu pertanyaan retorik.
Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) menprediksi bahwa dua dari setiap tiga orang yang tinggal di sub-Sahara Afrika, nggak akan punya akses ke energi listrik. Ini terjadi sejak lama, sebelum akhirnya USAID mendorong proyek solar grid di wilayah itu di tahun 2014 silam. (https://www.usaid.gov/powerafrica/beyondthegrid)
Dr. Augustine Njamnashi selaku Direktur Eksekutif ACSEA menambahkan bahwa setiap keluarga di Afrika, malah nggak punya akses sama sekali ke segala bentuk energi, baik energi kotor (yang menggunakan fossil fuel) apalagi energi bersih. (https://www.esi-africa.com/industry-sectors/generation/energy-poverty-a-hindrance-to-africas-clean-energy-aspirations/)
Ini sangat masuk akal. Lha wong akses ke energi kotor yang infrastruktur-nya sederhana saja, orang kesulitan mendapatkannya, apalagi akses ke energi terbarukan yang infrastrukturnya lebih rumit dan jauh lebih mahal?
Dengan merujuk pada 2 data tersebut, akses ke sumber energi saat ini, masih belum terpenuhi bagi kaum miskin. Titik.
Asal tahu saja, bahwa saat ini setengah populasi termiskin di dunia, hanya mengonsumsi sekitar 20% pasokan energi global. Dengan kata lain, separuh penduduk termiskin di dunia hanya menggunakan energi yang lebih sedikit ketimbang 5% orang terkaya di dunia. (https://www.nature.com/articles/s41560-020-0579-8)
Bagaimana ketimpangan ini bisa terjadi?
Korupsi kemungkinan jawabannya. Modus yang biasa dilakukan adalah dengan menggarong dana subsidi bagi bahan bakar fosil yang telah digelontorkan pemerintah. (https://guardian.ng/energy/nigeria-fostering-corruption-through-petrol-subsidy-says-policy-alert/)
Mengutip pernyataan Dr. Njamnashi, “Tata kelola seputar energi kotor itu sendiri masih kotor. Jika tata kelolanya sudah nggak benar, maka saat energi terbarukan muncul, tetap saja sistem lama yang akan terus berlaku.” (https://www.esi-africa.com/industry-sectors/generation/energy-poverty-a-hindrance-to-africas-clean-energy-aspirations/)
Jadi yang salah itu ada pada tata kelola energi-nya yang amburadul.
Apakah ini nggak bisa diperbaiki?
Tentu bisa.
Misalnya jika ada investasi untuk membangun pembangkit listrik lokal yang ada di daerah-daerah terpencil, Dengan hadirnya energi, maka orang-orang yang ada di daerah tersebut punya akses ke sumber energi yang diperlukan untuk memutar perekonomian lokal. Pertumbuhan ekonomi otomatis bisa terjadi jika akses energi terjangkau ‘dibuka bagi masyarakat’. (https://www.omcpower.com/page/distributedenergy)
Masalahnya, apakah ini dilakukan?
Kan nggak. Kebanyakan investasi dalam hal distribusi energi malah disalurkan untuk pengembangan smart grid, yang katanya lebih murah, lebih efisien, dan lebih mudah mengelola banyak permintaan. (https://www.business-standard.com/article/current-affairs/investment-in-energy-storage-smart-grid-rose-66-in-jan-sep-period-report-122102600356_1.html)
Apakah benar sesuai dengan klaimnya?
Nggak jelas. Misalnya bagaimana memperkenalkan teknologi smart-grid ke dalam jaringan distribusi grid, utamanya yang mengalami kesulitan untuk akses ke energi.
Lagian, beberapa laporan menegaskan bahwa smart meters yang digunakan pada jaringan smart grid, justru mendatangkan bahaya bagi manusia karena radiasi yang ditimbulkannya. (https://gmandchemicalindustry9.wordpress.com/2017/08/29/toxic-avalanche-2-smart-meters-an-unlisted-component/)
Singkatnya, bukan smart grid yang diperlukan, namun pengembangan pembangkit listrik lokal-lah yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengatasi akses ke sumber energi.
Badan Energi Internasional (IEA) sendiri menyatakan bahwa dalam rangka mencapai target SDG 7, maka investasi bidang energi hanya menyasar negara-negara maju, yakni AS, Eropa dan juga China. (https://www.iea.org/reports/financing-clean-energy-transitions-in-emerging-and-developing-economies/financing-clean-power-efficiency-and-electrification)
Dan investasi energi global tersebut terkonsentrasi pada proyek infrastruktur, kendaraan listrik, pembangkit listrik terbarukan dan peningkatan kapasitas penyimpanan baterai.
Mana dari semua itu, yang bertujuan untuk pengembangan pembangkit listrik lokal?
Nggak ada bukan?
Kenapa?
Karena energi berkelanjutan adalah hal penting yang hendak dicapai SDG. Sedangkan pembangkit listrik lokal hanya program pemanis bibir yang nggak perlu direalisasikan. (https://www.iea.org/reports/world-energy-investment-2021/executive-summary)
Nggak cukup sampai disini, karena biaya transisi energi akan dibebankan pada semua orang, tak terkecuali anda dan saya. Kalo negara maju, tentu nggak masalah dengan beban ini. (https://www.welt.de/wirtschaft/article198746739/Energiewende-Die-Oekostrom-Umlage-steigt-zum-vorletzten-Mal.html?wtmc=socialmedia.twitter.shared.web)
Nah kalo negara-negara miskin, khususnya para pensiunan, bagaimana dengan beban transisi energi yang harus mereka juga tanggung? Apa nggak memberatkan hidup mereka yang sudah susah? (https://finance.yahoo.com/news/cost-of-living-older-generations-income-squeeze-surging-energy-bills-winter-000105252.html)
Bisa disimpulkan bahwa akses ke energi yang terjangkau hanyalah ilusi yang nggak mungkin tercapai bagi masyarakat miskin. Skenario kemiskinan energi akan terus berlanjut.
Dan tujuan SDG 7, bukan saja nggak mengentaskan kemiskinan energi, justru malah memperburuk situasinya karena ada beban transisi yang harus penduduk miskin tanggung.
Ini fakta yang nggak bisa dibantah.
Pada bagian kedua nanti kita akan bahas tentang klaim energi yang andal. Apakah benar demikian adanya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments