Ubah Labelnya


507

Ubah Labelnya

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana kita tahu bahwa makanan yang kita makan adalah produk transgenic (GMO) atau tidak?

Cara paling mudah adalah dengan melihat label yang tertera pada kemasan-nya, Jika produk GMO, maka akan tertulis demikian pada wadahnya.

Lalu bagaimana kalo label-nya diubah atau malah nggak dicantumkan?

Memangnya bisa?

Di zaman baheula alias kuda gigit besi, pelabelan makanan tidak diperlukan.

Kenapa?

Karena semua makanan pada dasarnya alami. Sehingga yang namanya makanan sehat adalah norma yang nggak perlu di beri label. Itu normatif. Semua orang paham hal itu.

Masalahnya, sekarang makanan itu nggak seperti dulu. Semua atas nama keuntungan dan motif tertentu, terpaksa mencampur makanan dengan zat tertentu atau malah menggunakan bahan dasar yang nggak lagi alami alias rekayasa genetik.

Karenanya butuh label khusus untuk membedakan mana yang alami dan mana yang buatan, sehingga orang diberikan pilihan yang rasional.

Contoh yang paling sederhana adalah di AS, dimana 80% makanan olahan mengandung organisme hasil rekayasa genetik. Ini fakta. (https://www.prnewswire.com/news-releases/studies-show-gmos-in-majority-of-us-processed-foods-58-percent-of-americans-unaware-of-issue-104510549.html)

Dengan banyaknya produk GMO yang bertebaran, maka pelabelan mutlak diperlukan.

Kompleksitas muncul saat lembaga yang selama ini didaulat memberi label (USDA), berencana mengganti nama Genetically Modified Organisms pada produk pangan dengan Bio-Engineered alias makanan hasil rekayasa genetik. (https://www.nbcnews.com/news/us-news/new-fda-guidance-requires-foods-gmo-ingredients-labeled-bioengineered-rcna11265)

Ini bisa terjadi karena ada payung hukumnya. Berdasarkan UU baru, maka setiap produk pangan akan diberi label BE (bio-engineered) jika mengandung bahan rekayasa genetik dalam jumlah yang dapat dideteksi.

Contohnya produk kedelai transgenik, jagung, kapas, susu non-organik, soda, minuman ringan, sereal, frozen food, hingga apel arktik, semua bakal diberi label BE (bio-engineered) oleh USDA.

Sayangnya, banyak produk hasil rekayasa genetika yang nggak dapat diuji berapa kandungannya transgenik-nya. Karenanya produk tersebut dihilangkan dari persyaratan pelabelan. Padahal produk tersebut hasil rekayasa genetik alias GMO.

Ambil contoh teknik CRISPR yang digunakan untuk menyunting gen. Nggak mungkin juga produk yang dihasilkan, kemudian diberi label BE. Memang berapa kandungan bahan transgeniknya?

Padahal itu jelas-jelas produk rekayasa genetik. (https://www.gmwatch.org/en/106-news/latest-news/19280-researchers-assumed-that-crispr-mediated-disruption-of-genes-was-turning-them-off-but-they-were-wrong)

Yang lainnya adalah TALEN (Transcription Activator Like Effector Nuclease) yang cara kerjanya mirip dengan CRISPR. Sudah pasti produk yang dihasilkan merupakan GMO.

Namun karenanya nggak bisa ditelusur jumlah kandungan rekayasa genetiknya pada bahan-bahannya, otomatis nggak bisa diberi label BE. Padahal kan itu produk GMO juga. (https://www.nongmoproject.org/blog/new-gmo-alert-two-new-gene-edited-products-in-the-market/)

Masalah tambah runyam karena berdasarkan UU yang baru, maka beberapa produk akan diberi pengecualian untuk diberi label.

Misalnya, produk makanan yang dikonsumsi langsung oleh manusia, seperti daging, unggas dan telur, maka nggak akan diberi label oleh USDA. (https://www.nongmoproject.org/blog/what-is-bioengineered-food/)

Sebagai turunannya, maka produk multi-bahan dimana daging, unggas dan telur yang dijadikan bahan utama makanan, meksipun mengandung bahan makanan tambahan hasil rekayasa genetik, otomatis diberi pengecualian untuk diberi label.

Addendum lainnya seperti pakan hewan, makanan hewan peliharaan dan produk perawatan pribadi, semuanya itu nggak diberi label BE oleh USDA.

Dengan semua aturan main ini, maka ada banyak masalah secara operasional.

Misal, anda makan sup yang bahan dasarnya ayam dan telur, tetapi dalam sup tersebut terdapat kentang transgenik, maka sup tersebut nggak bisa diberi label BE. Padahal ada kandungan GMO-nya.

Atau anda martabak telur yang ada kandungan jagung transgenik sebagai bahan campurannya, maka martabak tersebut nggak bisa diberi label BE. Padahal ada kandungan GMO-nya.

Apa yang terjadi kemudian?

Kebingungan massal.

Padahal selama ini warga AS sudah mulai paham akan produk-produk GMO yang nggak aman bagi tubuh mereka. Mengonsumsi GMO, sama saja mengonsumsi racun. Setidaknya itu persepsi yang mereka tangkap selama ini.

Dan lebih dari 40% penduduk AS telah menyadari kehadiran produk-produk GMO yang ada di pasaran. (https://academic.oup.com/advances/article/6/6/842/4555145)

Hadirnya UU ini hanya akan menimbulkan kebingungan pada masyarakat AS yang selama ini paham akan eksistensi GMO. Kalo orang melihat label bio-engineered, maka otomatis mereka bakal merespon positif.

Mengapa?

Selama ini orang sudah paham kalo istilah ‘BIO’ (Biologishe) identik dengan produk organik yang bersifat natural/alami. Dan itu baik bagi manusia.

Nggak heran kalo produk yang diberi label ‘bio’ otomatis harganya lebih mahal ketimbang produk sejenis lainnya di pasaran.

Sekarang, dengan penggunaan label ‘bio’ pada BE, otomatis menyejajarkan produk alami (bio) dengan produk hasil rekayasa genetik alias buatan. Padahal kedua label tersebut jelas bertolak belakang. Dan ini sangat membingungkan.

Bukankah orang bingung, cenderung pasrah untuk diperlakukan apapun?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!