Polanya Selalu Sama
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa yang bisa disimpulkan dari narasi tentang varian baru Kopit bernama Omicron?
Polanya selalu sama.
Maksudnya? Saya akan coba jelaskan.
Pertama-tama tentang varian ini, orang sedunia sudah dibuat takut setengah mati duluan, tanpa tahu kebenaran dibelakanganya. Jadi histeria ini yang kemudian membuat seseorang hilang akal sehatnya dalam menghasilkan keputusan yang obyektif.
Apapun yang disajikan media mainstream, langsung diklaim sebagai kebenaran utama. Pokoknya apapun yang diberitakan, langsung iya dan amin.
Harusnya nggak gitu cara kerjaanya. Pertama-tama anda cari data pembanding dari media alternatif, agar anda bisa pilah mana informasi yang benar dan mana yang merupakan propaganda semata. Dari situ baru kemudian anda buat keputusan seobyektif mungkin.
Jika proses ini dilewati, maka akan fatal akibatnya.
Gimana plandemi Kopit bakal berakhir, kalo klaimnya ada sekitar 100 ribu mutasi virus yang telah dihasilkan? Tiap muncul satu varian baru, langsung diamplifikasi media, dan lockdown atau apapun namanya itu, otomatis digelar alih-alih untuk mencegah penularan. Nah kalo ribuan varian? (https://theconversation.com/coronavirus-mutations-what-weve-learned-so-far-145864)
Sebenarnya darimana asal munculnya histeria varian baru tersebut?
Adalah Imperial College yang memproduksi narasi ini. Disinilah pemodelan varian virus Kopit baru biasa difabrikasi, dengan istilah strain baru.
Pada 23 November silam, lewat Dr. Tom Peacock yang merupakan peneliti di Imperial College, narasi tentang Omicron mulai viral. Pada statusnya di Twitter Dr. Peacock mengatakan bahwa varian baru sebagai mutasi Spike protein yang sangat mengerikan. (https://twitter.com/PeacockFlu/status/1463176821416075279)
Dari situ, kemudian narasi mulai diamplifikasi oleh media mainstream, guna menggiring opini publik. Pesannya jelas: ada varian baru yang menuntut pemerintah di banyak negara untuk ambil langkah lockdown dan sejenisnya dengan segera. (https://twitter.com/janemerrick23/status/1463493119257763845)
Bahkan untuk menambah dramatis suasananya, pemerintah Inggris melarang penerbangan ke negara-negara di Afrika Selatan, yang dinarasikan sebagai wilayah asal varian Omicron. (https://www.gov.uk/government/news/six-african-countries-added-to-red-list-to-protect-public-health-as-uk-designates-new-variant-under-investigation)
Jadi, polanya selalu sama. Ada sumber yang berbicara, kemudian diamplifikasi media dan tadaa…. terciptalah histeria.
Orang waras mana yang nggak ketar-ketir dengan adanya histria yang dibangun? (baca disini)
Bukan sekali ini saja Imperial College sebagai lembaga pemodelan, yang memberikan ‘kontribusi’ kepada pemerintah Inggris dan lembaga kesehatan dunia sekelas WHO.
Anda pasti kenal Prof. Neil Ferguson selaku ilmuwan top Imperial College yang dikenal sebagai Prof. Lockdown? (baca disini)
Di tahun 2002, Prof. Ferguson memprediksi akan ada 150 ribu orang meninggal akibat terkena paparan Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) alias penyakit sapi gila di Inggris, (https://www.nationalreview.com/wp-content/uploads/2020/05/Ferguson-Estimating-the-human-health-risk-from-possible-BSE-infection-of-the-British-sheep-flock.pdf)
Nyatanya, angka kematian meleset jauh. Total kematian akibat BSE di Inggris hanya 177 orang. (https://www.spectator.co.uk/article/six-questions-that-neil-ferguson-should-be-asked)
Di tahun 2005, Prof. Ferguson kembali buat prediksi berdasarkan pemodelan yang dimilikinya terhadap kasus flu burung di Inggris. “Akan ada 150 juta orang akan meninggal karena pandemi ini,” ungkapnya.
Nyatanya, rentang waktu 2003 hingga 2009, jumlah orang yang meninggal akibat flu burung hanya 282 orang. (https://www.spectator.co.uk/article/six-questions-that-neil-ferguson-should-be-asked)
Dan saat flu babi merebak di Inggris pada 2009 silam, Prof. Ferguson kembali buat prediksi yang dijadikan rujukan bahwa akan ada kematian sekitar 65 ribu orang.
Nyatanya, angka kematian akibat flu babi di Inggris hanya 457 orang, dan nggak nyampe angka ribuan seperti yang diklaim sang Prof. Lockdown.
Dan terakhir saat plandemi si Kopit, prediksi ngawur ala Ferguson kembali dijadikan rujukan utama dalam menerapkan lockdown.
Parahnya begitu tahu pemodelannya melenceng jauh dan orang-orang mulai menggugat kredibilitas pemodelan yang dimilikinya, Prof. Ferguson dengan entengnya berkata, “Saya telah salah memasukkan kode perhitungan. Maklum komputer yang saya miliki jadul.” (https://statmodeling.stat.columbia.edu/2020/05/08/so-the-real-scandal-is-why-did-anyone-ever-listen-to-this-guy/)
Padahal Prof. Ferguson adalah anggota dewan penasihat ilmiah pemerintah Inggris. Masa ngomongnya begitu? Wajar jika kemudian dia mengundurkan diri karena kerjanya nggak becus. (https://www.bbc.com/news/uk-politics-52553229)
Terlepas dari kontroversi tersebut, Prof. Ferguson yang dikenal sebagai Master of Disaster ini, adalah sosok yang paling berpengaruh dalam mendorong kebijakan sebagai respons atas plandemi di Inggris. (https://news.yahoo.com/coronavirus-professor-neil-ferguson-heckled-pandemic-lecture-100713691.html)
Bahkan Prof. Ferguson pernah didaulat untuk memimpin ilmuwan WHO dalam membuat kebijakan global. “Neil Ferguson memiliki pengaruh yang sangat besar,” ungkap Prof. Devi Sridhar dari University of Edinburgh. (https://www.nytimes.com/2020/03/17/world/europe/coronavirus-imperial-college-johnson.html)
Nggak heran kalo semua yang keluar dari Imperial College, pasti langsung dijadikan rujukan global dan dianggap sebagai standar emas.
Coba periksa, saat varian Delta mulai merebak, siapa juga yang menjadi sumber utama histeria massal secara global? Bukankah sosok dari Imperial College juga? (https://www.imperial.ac.uk/news/211793/new-covid-19-variant-growing-rapidly-england/)
Pertanyaannya: mengapa Imperial College mendapat tempat terhormat di kancah kesehatan dunia?
Jawabannya: lihat pada siapa sosok penyandang dananya. Dialah Bill Gates.
Silakan tilik, berapa ratus juta dollar uang telah digelontorkan BMGF untuk lembaga pemodelan sekelas Imperial College. Ini saya kasih link-nya. (https://www.gatesfoundation.org/about/committed-grants?q=imperial%20college)
Nggak ada makan siang yang gratis, bukan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments