Perda Olala


504

“Bang, bagaimana pandangannya tentang Perda Syariah?” demikian pertanyaan dilontarkan dari seseorang nun jauh disana.

Agak malas juga ngomongin hal yang sifatnya privasi (-agama dalam hal ini), ke ruang publik. Bukan kenapa-kenapa. Ini tahun politik. apapun bisa dipakai untuk dijadikan isu yang akan digoreng hingga membesar. Kasus Limbangan Garut adalah salah satunya.

Namun, karena sudah dapat tantangan, saya akan analisa tentang isu yang belakangan marak di kolong jagad perpolitikan nusantara.

Sebenarnya apa sih Perda Syariah itu? Secara definitif, Perda Syariah adalah peraturan daerah yang diterbitkan oleh suatu daerah dengan mengadopsi aturan berdasarkan agama Islam. Jadi semua-semua kudu mengkiblat pada aturan yang ada di Al-Qur’an sebagai kitab suci ummat Islam.

Sebagai konsekuensinya, hal diatur dalam Perda Syariah atau yang sering disebut sebagai Qanun Jinayat menyasar 3 hal utama, yaitu: khalwat (mesum), khamr (alkohol) dan maisr (perjudian). mengapa menyasar kepada 3 hal tersebut? Konon katanya, penyakit masyarakat yang utama, ada pada 3 hal tersebut.

Syahdan ceritanya, mengacu pada spirit Qur’an, hukuman yang diberikan kepada pihak yang melanggar Perda tersebut, cukup bervariasi. Ada yang dihukum dengan membayar denda 200 – 2.000 gram emas. Ada lagi yang dibui mulai dari 20 bulan sampai 200 bulan. Dan yang paling umum adalah hukuman cambuk 10 hingga 200 kali.

Tidak cukup sampai disitu, secara detil juga diatur, bahwa hukuman paling ringan diberikan kepada pelaku mesum, sedangkan hukuman paling berat adalah pemerkosa anak.

Perda Syariat ini sebenarnya hanya berlaku di beberapa daerah. Namun yang paling pertama menerapkannya adalah Daerah Istimewa Aceh. Penerapan Qanun secara sah di bumi Serambi Mekkah ini dideklarasikan pertama kali pada tahun 2001.

Secara geolpolitik, pemberlakuan Perda ini tidak sekonyong-konyong jatuh dari langit, alias ada motif politiknya. Apa itu? Untuk meredam gerakan separatisme GAM yang konon sangat berkepentingan ajaran Islam diterapkan di Aceh, agar tidak memerdekakan diri dari NKRI.

Dan setelah dihitung-hitung, tadaa…jadilah status Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus, termasuk dengan penyelenggaraan Perda Syariat-nya. Begitulah latar belakang ceritanya.

Seiring waktu berlalu, pelaksanaan Perda Syariat itu kemudian menuai kontroversi. Setelah ditelusuri kasus per kasus, ternyata Perda ini dinilai tidak menguntungkan kaum hawa.

Putri (16) seorang gadis remaja asal terpaksa bunuh diri karena dituduh telah ‘menjual diri’ saat ditangkap oleh polisi Syariah di Langsa, Aceh. Padahal Putri dan temannya tengah menyaksikan hiburan organ tunggal, pada malam itu, bukan melacur seperti yang dituduhkan. Karena takut dicambuk, bunuh diripun dijabani.

Seorang wanita difabel di Bireun, Aceh yang menjadi korban pemerkosaan, juga dipaksa diam. Karena dalam Qanun menyatakan bahwa korban perkosaan untuk bisa memberikan bukti. Yang benar aja dehh?

Dan yang terbaru adalah video viral yang ada dijagad sosmed belakangan ini, tentang razia wanita yang tengah mengendarai motor. Mengendari motor bagi wanita, tidak boleh dalam posisi mengangkang. Omaigat!!Apa harus dalam posisi koprol, gitu??

Belum lagi esensi Perda yang kerap bertabrakan dengan hukum di atasnya. Yang paling gampang adalah pelaksanaan hukum cambuk. Lha ini aja sudah bertentangan dengan UU No.39/1999 tentang HAM. Terus apa pernah mikir, gimana kondisi psikologis orang telah yang dihukum cambuk?

Dengan sejumlah kontroversi yang terjadi dan selalu menyasar kaum hawa, ketua umum PSI, Grace Natalie (17/11) akhirnya angkat suara: “PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindak intoleransi di negeri ini. Partai ini tidak akan pernah mendukung perda Injil atau perda syariah, tidak boleh lagi ada penutupan rumah ibadah secara paksa.”

Dan berbagai pihak yang punya kepentingan terhadap tegaknya Perda ini-pun langsung angkat suara dan bahkan melaporkan Grace ke pihak yang berwajib dengan alasan penistaan agama.

Padahal yang diucapkan Grace, bersifat normatif. (Alm) KH Hasyim Muzadi-pun semasa menjabat Ketua PBNU pernah menolak konsepsi Perda Syariah karena tidak sesuai dengan Indonesia yang hidup berbhinneka. Kenapa saat itu, Eggi Sudjana nggak berteriak lantang dan mempolisikan beliau? Aneh, kan?

Ini tahun politik. Apapun bisa dijadikan pematik untuk dijadikan isu yang ujung-ujungnya mampu memobilisir massa dalam jumlah besar. Apalagi gerombolan 212 mau pada reunian dalam waktu dekat. Jadi kita patut bertanya, kalo ada sekelompok orang yang bertindak lebay dalam menanggapi suatu permasalahan.

Karena apa? Ujung-ujungnya Jokowi juga yang disalahkan.

Sekali lagi, bicara fakta tentang Perda Syariah, Koordinator GeRAK, Askhalani, pernah menyatakan bahwa tingkat korupsi di Aceh masih tinggi. Modus yang dilakukan pejabat disana mulai dari ngebetak uang APBN sampai dana bansos dan hibah.

Tingkat prostitusi, juga nggak bisa dihentikan dengan beralih ke prostitusi on-line. Kenapa nggak bisa dibredel? Karena sasus beredar, penyelenggara maupun penikmatnya adalah para pembesar di provinsi tersebut, yang butuh penyaluran syahwat.

Miris, karena dengan adanya Qanun Jinayat, akhlak dan moral harusnya membaik, eh ini malah nyungsep. Nilai agama seharusnya diperjuangkan dalam bentuk perbaikan sikap, dan bukan malah diformalkan dalam bentuk Perda. Apakah salah jika kita berniat menghapus Perda Olala ini?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!