Orang-Orang Kalah


510

Teman saya berkeluh kesah tentang tingkah atasannya di tempat kerja. “Cenderung otoriter, Ru. Kerjanya cari salah bawahan, dan kalo sudah cukup data, langsung si bawahan dibantai tanpa ampun,” begitu kisahnya. Singkatnya, suasana kerja menjadi tidak nyaman.

Secara umum, pola kepemimpinan di Indonesia, memang berbeda dengan negara-negara maju. Sedih mendengarnya, tapi itulah fakta yang ada.

Di negara-negara maju, seorang pemimpin cenderung mendorong (endorse) anak buahnya agar bisa maju, dan terlebih lagi, siap mengantarkan menuju suksesi. Artinya apa? Jika sang pimpinan kelak harus lengser, proses suksesi itu bisa gampang terjadi. Sang pimpinan sadar, kalo posisinya bersifat temporal.

Tapi lihatlah apa yang terjadi di Indonesia pada umumnya? Begitu pemimpinnya mundur, maka akan kolaps lah perusahaannya, iklim kerja jadi nggak kondusif. Kok bisa begitu? Satu kata kuncinya, tahapan suksesi kepemimpinan belum dijalankan.

Pemimpin hanya asyik pada jabatan yang diraihnya. Akibatnya dia merasa jabatan adalah sukses yang telah dia raih an sich. Berbekal prinsip ini, maka tak heran jurus aji mumpung pun terjadi. Dia hanya akan berorientasi pada dirinya semata. Gak akan dia memikirkan nasib orang lain, apalagi kepikiran untuk orang lain menggantikan posisinya.

Kalo boleh jujur, dari jaman Orde Lama dan terlebih Orde Baru, kita mengalami fase ini bersama . Dimana presidennya hanya bersifat self-oriented.

Jaman Soekarno, bahkan sang proklamator mengangkat dirinya sebagai pemimpin besar revolusi. Seolah jangan boleh ada orang lain yang menggantikan posisi PBR tersebut, kalo nggak mau dianggap sebagai antek kapitalis .

Nah, pas jaman Soeharto, kepemimpinan lebih parah lagi, Kepemimpinan dianggap sebagai sesuatu yang harus dipertahankan sampai mati. Tiap pemilu, dia melulu yang menang. Tak heran, gerakan oposisi langsung diberangus, dengan memakai senjata “stabilitas”. Singkatnya, siapapun yang mau bercita-cita mengganti posisi sang Pandhito, langsung dapat kartu merah dan berujung bencana.

Jangan heran kalo kebanyakan pemimpin di Indonesia, mewarisi watak represif Orba. Termasuk dalam menangani anak buah di perusahaan. Pasal yang dipakai cukup 2. Pasal 1: pimpinan tak pernah salah. Pasal 2: kalo pemimpin berbuat salah, maka kembali ke pasal yang pertama.

“Tapi yang lebih penting, pemimpin yang cenderung cari-cari kesalahan bawahannya adalah orang-orang kalah,” kataku kepada temanku. “Dia adalah orang yang terbuang dikelompoknya. “

Orang yang cenderung mencari-cari kesalahan, tanpa disadari adalah orang yang gagal dalam menjalin relasi dengan orang-orang setingkat dirinya. Dalam kelompoknya, dia adalah orang yang boleh dikatakan “tidak memiliki arti.” Meaningless, alias diacuhkan. Ini bisa jadi karena dia minim prestasi ataupun tidak bisa kerja.

Untuk membuat membuat dirinya seolah-olah “berarti” dimata bawahan, maka sikap otoriter dan cari-cari kesalahan-lah yang harus dimainkannya.
Padahal dia lupa, kalo tugas dia yang utama adalah mendorong bawahannya untuk maju, bukan malah menjegalnya. Dia juga lupa, kalo mau “dianggap” oleh bawahannya dan diterima didalam kelompok “pimpinan”, dia harus berprestasi dan bukan duduk terlena dalam posisinya sebagai atasan. Kerja nyata adalah diktumnya.

Temanku mulai manggut-manggut, tanda mengerti. Bahwa ternyata orang yang dia anggap sebagai pimpinan, orang yang dia anggap sebagai seorang pemenang, ternyata tak lebih dari seorang yang kalah dalam hidupnya.

Seorang boss tahu bagaimana sesuatu dikerjakan. Tapi seorang pemimpin tahu bagaimana mengerjakannya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!