Once More


502

Kalo sudah liburan anak sekolah, jadi serba susah. Maklum anak masih kecil-kecil dan so pasti nuntut untuk liburan. “Bete kan pa, kalo di rumah aja tauuk,” begitu kata si Boy. Terpaksa deh diturutin. Lagian kasian juga. Dan ujung-ujungnya, rencana mau nulis di-blog, jadi tersita dan gak jadi terealisasi.

Tapi bukan soal liburan anak sekolah yang saya mau tulis kali ini. Pernyataan teman saya yang lumayan menghantui pikiran saya, walau kasusnya udah kadaluarsa. Betul, SP3 Habibul.

Jujur saya nggak terlalu tertarik menanggapi kasus SP3. Karena apa? Itu adalah spy-game yang dilakukan dengan sangat ciamik oleh seorang Moeldoko. Dan itu udah saya ulas. Jadi terlepas SP3 kasus chat mesum dikeluarin apa nggak, biarlah itu permainan sang Jenderal saja. Ngitungnya gimana, terlalu rumit untuk dijelaskan.

But, okay lah saya coba jelaskan, agar kita tidak multi tafsir pada proses keluarnya SP3 tersebut.

Perlu dicatat, bahwa keluarnya SP3 tersebut, tak lama setelah kunjungan Om Wowo ke Mekkah guna mendapat dukungan dari HRS. Dari situ muncullah Koalisi Keumatan. Point-nya mendukung majunya Prabowo sebagai capres di 2019.

Tapi apakah dukungan itu tulus? Sangat saya ragukan. Dalam politik praktis, ada yang namanya take and give. Gue dukung lu, trus gue dapat apa? Dari situ aja, polemik mulai bermunculan. Belum lagi soal biaya nyapres yang nggak sedikit. Peta koalisi dengan poros Cikeas, gimana lagi? Singkatnya, koalisi itu masih bersifat sangat cair.

Terus kenapa juga sang Jenderal mengeluarkan SP3? Saya jadi teringat The Art of War-nya Sun Tzu. Dalam karya monumental – yang banyak dirujuk oleh ahli perang kelas dunia, setingkat Napoleon tersebut – Sun Tzu menyatakan: “Ketika sepuluh lawan satu, kepunglah. Ketika lima lawan satu, seranglah. Ketika dua lawan satu, bertempurlah. Ketika seimbang, pecah belahlah.”

Dan menurut hitungan kekuatan, kekuatan pakde lawan oposisi, kurang lebih sepuluh lawan satu. Coba lihat beberapa survei kredibel belakangan, berapa angka elektabilitas Jokowi? Menang jauh. Itu sebab 10:1 adalah proporsinya. Berdasarkan dalil Sun Tzu, yang harus dilakukan adalah mengepung. Apa tujuannya? Musuh tidak bisa keluar dari permainan yang kita ciptakan.

Terbukti setelah SP3 nongol, Gerindra meradang. Dipikir ada deal-deal tertentu antara HRS dan Jokowi. Dan sang dalang, tinggal senyum-senyum ngakak dibelakang panggung.

Belum lagi secara linguistik, lebih parah lagi. Paling tidak ada 2 hal.

Pertama, pernyataan “bila diketemukan cukup bukti, bukan tidak mungkin SP3 dibuka kembali.” Apa artinya kalo nggak SP3 tersebut cuma jebakan betmen semata? Udah balik ke tanah air, eh malah di-cyduk. Kan konyol namanya…

Kedua, pernyataan “karena belum ditemukan siapa yang mengunggah chat mesum tersebut ke dunia maya”. Ini sama aja dengan bilang kalo chat mesum sungguh nyata, dan tinggal nyari siapa pelaku yang mengunggahnya. Pertanyaan selanjutnya, apa sulit mencari siapa pengunggahnya?

“Kondisi Jokowi saat ini jauh lebih baik ketimbang demo berjilid-jilid tempo hari,” kataku kepada teman yang masih galau. Ngapain juga galau dengan pemikiran bahwa seolah-olah ada deal antara Pakde dan HRS tentang keluarnya SP3 tersebut.

Pertama itu bukan urusan kita. Yang kedua ngapain juga kita rempong mikirin yang bukan urusan kita. Tugas kita cuma satu: merapatkan barisan. That’s it, nothing more. “Pakde sudah punya orang-orang terbaik di sekelilingnya,” kataku meyakinkannya.

Anyway, kalo benar SP3 itu murni keluar, apa iya sang Singa Allah nggak mau cepat-cepat pulang untuk mengulang nostalgia episode kandang kambing yang bergoyang? Betul kan, kak Emma??

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!