Nggak Konsisten
Oleh: Ndaru Anugerah – 25112024
Apa yang bisa disimpulkan dari Konferensi Perubahan Iklim COP29 yang masih berlangsung di Baku, Azerbaijan? (https://unfccc.int/cop29)
Nggak konsisten.
Kok bisa?
Bagaimana mungkin negara sekelas Azerbaijan dijadikan tuan rumah? Berdasarkan data, Azerbaijan adalah salah satu negara penghasil bahan bakar karbon terbesar di dunia.
Dari pasokan gas alam-nya saja, negara ini telah menghasilkan pertumbuhan 128% antara rentang waktu 2000 hingga 2021. (https://zerocarbon-analytics.org/wp-content/uploads/2024/05/May-2024.-Briefing-on-COP29-Presidency-Azerbaijan-energy-and-climate-plans.pdf)
Antara rentang waktu 2006 – 2021, ekspor gas negara tersebut telah meningkat sebesar 29,3% sehingga bisa dikatakan bahwa sekitar 95% ekspor utama dari negara tersebut adalah minyak dan gas yang merupakan musuh ‘bersama’ karena dianggap pemicu pemanasan global.
Bagaimana mungkin bisa mencapai net zero carbon, jika negara penyelenggara COP29 adalah negara penghasil dan sekaligus penikmat bahan bakar karbon?
Sekarang anda paham pada frase ketidak-konsistenan yang saya maksud, kan?
Lantas, apa yang terjadi saat KTT berlangsung?
Para pidato pembukaan, Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengatakan bahwa bahan bakar fosil adalah anugerah dari Tuhan. Karenanya, itu harus dioptimalkan penggunaannya.
Apa yang diungkapkan Aliyev sebenarnya bukan hal baru.
Pada April 2024 silam, Aliyev pernah menyatakan bahwa dirinya sebagai pemimpin negara yang kaya akan bahan bakar fosil, tentu saja akan membela hak negaranya untuk melanjutkan investasi dan produksi migas. (https://www.politico.eu/article/azerbaijan-president-ilham-aliyev-cop29-climate-change-gas/)
Jadi, sebenarnya apa yang diungkapkan oleh Aliyev adalah soal realita, dimana kondisi net zero carbon dalam rangka mencegah kenaikan suhu global hingga 1,50C pada 2050 mendatang nggak terlalu penting untuk dicapai.
Bagaimana mungkin energi terbarukan yang selama ini digembar-gemborkan oleh kartel Ndoro besar sebagai energi pengganti bahan bakar fosil kelak, nyatanya nggak bisa diandalkan sama sekali baik secara kualitas maupun kuantitas. (baca disini, disini dan disini)
Karena tahu skenario utopis tersebut, makanya Presiden Aliyev bersikap pragmatis, “Daripada mengandalkan pada energi pengganti yang nggak jelas juntrungannya, kenapa nggak kita gunakan energi fosil yang ada yang sudah pasti dan bisa diandalkan?”
Mungkin sikap pragmatis tersebut bukan hanya diambil sosok seperti Aliyev.
Berdasarkan laporan yang dibuat Climate Change Tracker pada November 2024 ini menyatakan bahwa hampir tidak ada target perubahan iklim yang berarti alias kemajuan-nya hanya minimal. (https://climateactiontracker.org/documents/1277/CAT_2024-11-14_GlobalUpdate_COP29.pdf)
Padahal COP28 di Dubai pada tahun 2023 silam telah menggerakkan banyak kepala pemerintahan di dunia untuk bersepakat untuk mencapai target net zero carbon pada 2050 mendatang dan menyelaraskannya dengan tujuan 1,50C sesuai Perjanjian Paris. (https://unfccc.int/cop28/5-key-takeaways)
Apa artinya ini?
Sama halnya dengan COP tahun-tahun sebelumnya, bahwa para pejabat banyak menggunakan jet pribadi sebagai alat transportasi menuju Baku. Hal ini memicu sikap sinis beberapa kalangan pemerhati lingkungan.
“Bepergian dengan jet pribadi adalah pemborosan anggaran karbon dunia yang terbatas, karena setiap perjalanan menghasilkan lebih banyak emisi dalam beberapa jam dibandingkan emisi yang dihasilkan rata-rata orang di seluruh dunia dalam setahun penuh,” demikian ungkap Alethea Warrington. (https://www.euronews.com/green/2024/11/15/did-people-have-to-fly-to-cop29-private-jet-use-soared-but-one-group-got-to-baku-overland)
Sekali lagi bentuk ketidak-konsistenan yang kita dapatkan di ajang COP29.
Alih-alih ingin mengurangi emisi gas buangan, nyatanya banyak delegasi KTT malah menyumbang emisi gas buangan yang jauh lebih besar dengan mengendarai jet pribadi.
Dan yang terakhir, ternyata COP29 merupakan kesempatan lain untuk mencapai kesepakatan yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan pengurangan emisi dan semuanya berkaitan dengan kepentingan kelompok lobi dan perusahaan di pasar energi, yang parahnya berkaitan erat dengan bahan bakar fosil.
Maksudnya gimana?
Dalam suatu dokumen yang bocor, dikatakan tentang rencana presiden COP28 dan bos perusahaan minyak nasional UEA, Sultan Al Jaber malah membahas permintaan bisnis bahan bakar fosil dalam pertemuan bilateral yang membahas soal iklim tersebut. (https://climate-reporting.org/cop28-president-oil-climate/)
Jadi, pertemuan yang seharusnya membatasi penggunaan bahan bakar fosil dalam menanggulangi pemanasan global, nyatanya dipakai untuk ajang lobi dan bisnis migas di antara negara-negara yang hadir.
Centre for Climate Reporting (CCR) mengonfirmasi bahwa kepentingan bisnis Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi (Adnoc) dimana Al Jaber merupakan CEO-nya yang justru diangkat selama pertemuan dengan negara lain.
Dengan kata lain, nggak ada point penting tentang pengurangan konsumsi bahan bakar fosil, karena yang justru ‘dipromosikan’ malah bisnis migas yang sudah pasti dituding sebagai biang kerok pemanasan global.
Apa artinya?
Konferensi Perubahan Iklim COP29 yang masih berlangsung di Baku, Azerbaijan nggak lain adalah pertemuan omong kosong yang sudah dijamin ketidak-konsistenannya. Lha wong yang dibicarakan bukannya mengurangi, eh malah ngomongin soal peluang investasi di bidang migas. (https://www.bbc.com/news/articles/crmzvdn9e18o)
“It’s not personal. It’s just business as usual,” begitu ungkap Don Corleone.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)