Namanya Industri Pencitraan
Oleh: Ndaru Anugerah – 07022024
Dalam konteks analisa sosial, maka yang muncul ke permukaan-lah yang akan kita telaah.
Untuk urusan ini, di era 1990-an, saya pernah beberapa kali diundang untuk menjadi pemateri dalam sesi analisis sosial pada gerakan mahasiswa. Dalam sesi tersebut, saya diamanatkan untuk melatih proses berpikir seseorang untuk mampu menganalisa keadaan, baik itu lewat tulisan maupun gambar yang dilihatnya.
Jadi, saat seorang mahasiswa dikasih suatu potret keadaan, dia akan mampu menganalisa dengan baik tentang apa cerita yang ada di balik gambar tersebut.
Perhatikanlah apa kita temui di media sosial akhir-akhir ini, dimana tingkah pak lurah yang kerap mempertontonkan hegemoni yang dimilikinya, demi mengorbitkan Samsul anaknya sebagai ban serep di kelurahan, kelak.
Jika anda yang merupakan makhluk homo sapiens, tentu anda akan bereaksi keras saat gambar pak lurah yang dengan tampang khas plonga-plongonya saat membagi sembako diseputaran kelurahan tempatnya bekerja.
Apalagi kalo anda tahu bahwa bansos tersebut bukanlah dari kocek pak lurah, tapi diklaim (oleh para pasukan minion-nya) sebagai bantuan dari pak lurah.
Membagi bansos pada rakyat miskin kok bangga, bukannya malu? Bukankah tugas kepala ‘kelurahan’ adalah menjamin rakyatnya sejahtera dan bukan membuatnya tetap misqueen sehingga mengharapkan bansos? Etika kenegaraannya dimana? (https://epaper.mediaindonesia.com/detail/bansos-bukan-bantuan-jokowi)
Makin muak, bukan?
“Kok bisa begitu sih Bang?
“Manusia abad kontemporer, hidup dalam dunia simulacra,” begitu kata filsuf Jean Paul Baudrillard. “Era dimana batas antara realitas dan citra setipis kondom. Sulit untuk dibedakan,” demikian kurleb-nya.
Simulacra sendiri adalah term yang digunakan Baudrillard dalam bukunya Consumer Society yang merujuk pada citra suatu peristiwa yang telah menggantikan peristiwa itu sendiri. (https://monoskop.org/images/d/de/Baudrillard_Jean_The_consumer_society_myths_and_structures_1970.pdf)
Maksudnya gimana?
Sederhanya, yah pencitraan, dimana semua telah digeser, dari yang bernilai guna menjadi hanya simbolis saja sifatnya. Contoh yang paling gamblang adalah kebutuhan hidup (life need) yang disulap menjadi gaya hidup (life style).
Dengan demikian terjadi proses yang dinamakan hyper-reality alias realitas semu, produk kebohongan yang diusung oleh simulacra tadi.
Jangan heran sekarang, kalo semua ditentukan oleh brand tertentu.
Rasanya hidup kita menjadi tidak percaya diri kalo tidak punya mobil dengan merek tersebut.
Belanja menjadi kudet alias kurang update kalo nggak ke mall tertentu. Dan liburan menjadi tidak bermakna kalo hanya sekedar dirumah ketimbang traveling dan shopping-shopping.
Prinsip yang diusung: “I shop, therefore I am.” Saya belanja maka saya ada.
Maka gak heran kalo kita melihat, bahwa ada proses masif yang mengubah pola berpikir semua orang.
Kalau kita mau makan, harus nyari tempat yang instagramable, sehingga orang lupa apa esensinya, mau makan apa mau selfie-selfie?
Mau nyari baju, harus yang branded biar tambah pede. Padahal esensinya, kan kita sudah pakai baju bukan telanjang. Dan bukan tujuannya nambah pede? Itu jelas salah kapra.
Itulah pencitraan.
Trus, siapa yang mengusung konsep pencitraan ini?
Merujuk pada pendapat Milan Kundera dalam novelnya Immortality (1991), mereka adalah agen periklanan dan konsultan politik. Mereka-lah yang paling berkeinginan untuk mengubah mindset seseorang dari kebutuhan hidup menjadi sekedar gaya hidup. (https://excerpts.numilog.com/books/9782072920462.pdf)
Di Indonesia, Pepo-lah yang mempopulerkan istilah pencitraan ini. Tak tanggung-tanggung, lewat partai mercedes-nya, dia rela menggelontorkan Rp. 59,143 milyar untuk sekedar beriklan di televisi sepanjang tahun 2009 saja, demi membangun image sebagai partai yang ‘bersih’. (https://olahraga.kompas.com/read/2009/04/28/19123183/iklan-parpol-dan-pemerintah-habiskan-rp-1065-triliun)
“Lanjutkan! atau “Katakan tidak pada korupsi”. Demikian slogan-nya.
Gak jelas juga, apa maksudnya? Apa lanjutkan korupsinya, atau lanjutkan ngoceh di-twitter-nya?? Karena nyatanya, setelah iklan tersebut tayang di televisi, makin banyak kader partai-nya pepo tersebut yang tercyduk KPK karena terjerat kasus korupsi. (https://nasional.tempo.co/read/784106/daftar-kader-partai-demokrat-yang-terlibat-korupsi)
Ada lagi?
Tentu saja.
Lihatlah kelakuan mantan gabeber Jekardah saat masih berkuasa. Semua yang diucapkan di media, selalu saja kontroversial. Dan itu tak lepas dari arahan konsultan politiknya. Citra yang ingin dibangun: pemimpin yang santun dan agamis. Mirip dengan pemimpin-pemimpin lain yang kerap memakai topeng kemunafikan dibalik sikap santun-nya plus religius.
Persetan dengan yang lain. Padahal tugas utamanya menata kota, bukanlah menata kata. Dan itu diabaikannya.
Konyol memang. Tapi lewat proses ini, maka seorang Nyahok yang dicitrakan sebagai guberner yang ‘kasar bin kafir’ dalam kontestasi pilkada 2017, harus tersisih dalam proses demokrasi. Walaupun etos kerja seorang Nyahok dan kejujurannya tak perlu diragukan lagi.
Padahal, yang esensi dari seorang pemimpin adalah kerjanya, bukan yang lain. Apalagi kesantunannya atau sifat agamisnya. Apa iya kalo rakyat mendapat musibah, cukup dengan didoakan? Kan nggak. Apa iya dalam berurusan dengan preman dan mafia anggaran, kita cukup berkata-kata santun? Kan nggak juga.
Dan yang terakhir ada sosok pak lurah yang dicitrakan ndeso dan tulus, tapi punya misi mulia membawa Planet Namek ke puncak kejayaannya. Setidaknya itu citra yang ingin dibangun di mata publik oleh para buzzer-buzzernya.
Nyatanya, tampang ndeso nggak jadi jaminan seseorang untuk tidak punya ambisi untuk berkuasa selama-lamanya. “Kalo saya harus lengser karena masa jabatan, apakah salah jika anak saya yang mewarisi kursi singgahsana?” demikian angan-nya.
Seperti kata Baudrillard, orang yang sudah terjebak dalam simulacra, dapat dipastikan kehidupan sosialnya telah berakhir.
Semoga anda bukan salah satunya…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments