Menyoal Pertanian Karbon (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah – 09092024
Coba bayangkan!
Di tahun 2050 mendatang, bakal ada 9.8 miliar orang yang menempati planet bumi. Otomatis akan ada banyak mulut yang perlu diberi makan sebab kalo tidak kelaparan menjadi hal yang tidak terelakan. (https://www.un.org/en/desa/world-population-projected-reach-98-billion-2050-and-112-billion-2100)
Untuk mengantisipasi hal ini, maka pertanian harus bisa kasih solusi, dengan cara meningkatkan hasil pertanian menjadi berlipat-lipat agar banyak mulut bisa tercukupkan.
Masalahnya, pertanian diklaim sebagai salah satu biang keladi pemanasan global dengan emisi karbon yang dihasilkan. Contoh ada gas metana pada peternakan sapi dan penanaman padi. Ada juga dinitrogen oksida yang dihasilkan oleh pupuk pertanian sebagai penyumbang gas rumah kaca.
Menjadi sia-sia, jika pertanian yang diharapkan menjadi tulang punggung dalam memberikan solusi pangan pada masyarakat dunia, ternyata di sisi yang lain justru merusak planet Bumi dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, yang diklaim memicu pemanasan global.
Bingung, kan?
Tenang, karena saat ini ada istilah baru yang bisa mengatasi masalah ini, namanya pertanian karbon yang digadang-gadang dapat menghasilkan lebih banyak makanan tanpa harus merusak planet Bumi. Selain melindungi iklim juga dapat memulihkan keanekaragaman hayati.
Secara definitif, apa itu pertanian karbon?
Pertanian karbon adalah serangkaian cara yang bisa dilakukan petani dalam menangkap dan menyimpan emisi karbon yang mereka hasilkan dari aktivitas pertanian ke tanah ataupun ke vegetasi lainnya melalui proses fotosintesis, daripada melepaskannya langsung ke atmosfer. (https://www.carboncycle.org/what-is-carbon-farming)
Masih ingat net zero carbon? (baca disini, disini dan disini)
Tentu saja itulah hal yang ingin dicapai melalui aktivitas pertanian karbon.
Segudang aktivitas pertanian karbon bisa dilakukan, dari mulai rotasi ternak, penggunaan mulsa organik, agroforestri, tanaman penutup hingga mengurangi aktivitas pengolahan tanah agar karbon yang ada di tanah tidak dilepaskan kembali ke udara alias teknik olah tanah regeneratif.
Indah sekali, bukan?
Pertanyaannya: apakah pertanian karbon seindah kenyataannya?
Mari kita intip datanya.
Di Afrika, pertanian karbon telah diterapkan dengan cara membangun perkebunan pohon-pohon besar, sehingga diharapkan makin banyak oksigen yang dihasilkan sekaligus menangkap karbon dalam jumlah besar.
Proses inilah yang menghasilkan kredit karbon yang bisa mereka jual ke pasar karbon internasional. (https://unfccc.int/process/the-kyoto-protocol/mechanisms/emissions-trading)
Jadi, perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak karbon yang sangat besar, bisa menghapus ‘dosa-dosa’ mereka dalam menyumbang pemanasan global, dengan membeli kredit karbon dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang kredit karbon tersebut. Kurleb begitu mekanisme-nya.
Dengan demikian, perusahaan yang awalnya dicap sebagai pencemar lingkungan, bisa dihapus jejak karbon-nya setelah membayar pajak karbon alias carbon tax.
Kasus di Nigeria, dimana perusahaan AS yang bernama African Agriculture berhasil mendapatkan hak sewa atas lahan seluas 2 juta hektar yang rencananya akan mereka tanami pohon pinus di tahun 2022 silam dengan hak guna selama 50 tahun. Tentu saja rencananya bakal mereka jual dengan skema kredit karbon. (https://grain.org/e/6909)
Di Kongo juga punya kasus yang sama, dimana perusahaan raksasa energi Perancis yang bernama Total telah menanam pohon akasia dalam skema kredit karbon pada lahan seluas 40 ribu hektar, dengan hak guna selama 20 tahun (https://unearthed.greenpeace.org/2022/12/12/total-congo-offsetting-land-dispossessed/)
Kalo dilihat-lihat, maka upaya yang dilakukan untuk skema kredit karbon sangat mulia adanya.
Bagaimana tidak?
Kurang bagusnya dimana kalo lahan digunakan untuk proses reboisasi dan menanggulangi desertifikasi? Bukankah itu bersifat ramah lingkungan? Jadi wajar donk, kalo perusahaan bisa mendapatkan ‘cuan’ dari skema kredit karbon ini?
Namun, kenyataan di lapangan tidaklah demikian adanya.
Maksudnya?
Alih-alih mengurangi gas rumah kaca, perusahaan kredit karbon justru memutus hubungan masyarakat lokal dengan tanah dan sumber air mereka. Jadi masyarakat yang awalnya punya tanah dan punya akses ke sumber air, menjadi tergusur oleh proyek hijau tersebut.
Lantas, bicara soal kompensasi atas ‘perampasan tanah ini’ apakah perusahaan membayar ganti rugi semisal proyek sosial seperti pusat kesehatan, sekolah, dll?
Kan nggak.
“Negara-negara di Afrika harus menghentikan aktivitas menjual hak atas tanah dengan harga murah jika mereka ingin mendapatkan lebih banyak dari pasar kredit karbon global yang telah ternoda dan terdepresiasi,” begitu ungkap African Finance Corporation. (https://african.business/2023/12/energy-resources/africa-must-stop-selling-land-on-depreciated-carbon-credit-market-says-report)
Dengan kata lain, pertanian karbon cuma akal-akalan dalam memperoleh cuan lebih besar lagi ditengah isu pemanasan global.
Yang terjadi kemudian, masyarakat lokal hanya ‘dirampas’ tanahnya dan nggak mendapatkan kompensasi yang sepadan. Ini sama saja dengan kolonialisme gaya baru.
Apakah masih ada lagi sisi gelap pertanian karbon?
Kita lanjut ke bagian kedua nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)