Menyoal NGO (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, bisa bahas soal organisasi nirlaba non-pemerintah?” tanya seorang pada lini masa. Mungkin term yang dimaksud adalah LSM alias Non-Governmental Organization (NGO).
Pertanyaan ini sudah lama diajukan, namun saya belum sempat menjawabnya. Masalah klasik. Pertama, sumber daya yang saya miliki terbatas untuk membuat suatu analisa. Dan yang kedua, saya merasa, itu bukan masalah pokok untuk dibahas. Bukan berarti nggak penting lho ya.
Setelah timbang-timbang, saya akan menjawab pertanyaan orang tersebut saat ini. Namun karena banyaknya informasi yang saya sampaikan, tulisan ini akan saya break menjadi 3 bagian.
Langsung aja kita mulai.
Dalam Bahasa Inggris, ada istilah Good Samaritan, yang mengacu pada seorang Samaria yang punya niatan membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan, tanpa pamrih.
Dengan kata lain, niat membantunya itu tulus, meskipun bagi orang Yahudi, orang Samaria itu termasuk kasta ‘paria’. “Bagaimana mungkin orang berkasta rendahan bisa punya niatan membantu orang lain yang dalam kesulitan, tanpa pamrih?” Bagi orang Yahudi, itu hal yang di luar nalar. (https://www.bbc.co.uk/bitesize/guides/zwxm97h/revision/6)
Singkatnya, kebanyakan ‘pemberian’, pasti ada sesuatu di belakangnya. Istilah ‘nggak ada makan siang yang gratis’, mungkin bisa menjawab perihal bantuan bersyarat tersebut.
Maksudnya gimana?
Kita sudah mahfum, bahwa lembaga sekelas USAID, kerap memberikan dana ‘jumbo’ bagi pengembangan ‘demokratisasi dan HAM’ di banyak negara di dunia. Bahkan AS sebagai asal lembaga tersebut, kerap memberikan penghargaan kepada siapapun yang dianggap berjasa bagi pengembangan demokratisasi dan HAM ala AS.
Salah satu yang mendapat anugrah penghargaan tersebut adalah Azimjon Askarov, yang dikenal sebagai jurnalis dan aktivis HAM di Kirgistan, di tahun 2014 silam. (https://2009-2017.state.gov/r/pa/prs/ps/2015/07/244903.htm)
Tapi itu nggak berlangsung lama, karena setahun kemudian, pemerintah Kirgistan malah menjebloskan Askarov ke jeruji besi selama seumur hidup, lantaran dianggap sebagai ‘aktor intelektual’ dalam membuat kerusuhan di Kirgistan Selatan di tahun 2010.
Bukan itu saja, pemerintah Kirgistan juga memutuskan perjanjian kerjasama sepihak dengan AS sebagai imbas ditangkapnya Askarov. Dengan kata lain pemerintah Kirgistan menuding AS sebagai biang kerok di belakang aksi Askarov. (https://www.rferl.org/a/kyrgyzstan-united-states-cooperation-agreement/27141499.html)
Merespons aksi penangkapan Askarov, seperti biasa, oulet media mainstream ramai-ramai buka suara dan mengatakan jika pemerintah Kirgstan anti-demokrasi dan HAM. “Ini semua salah Rusia,” demikian teriakan vokal mereka. (http://thediplomat.com/2015/07/is-russia-behind-the-u-s-kyrgyzstan-diplomatic-row/)
Kalo anda mengatakan hanya Kirgistan yang merespons keras terhadap bantuan lembaga nirlaba asal AS kepada LSM yang ada di negaranya, anda salah besar, karena nyatanya banyak negara yang juga mengambil langkah yang sama.
Rusia, misalnya. Sudah lama pemerintah Kremlin mengendus pola yang dikembangkan AS dalam memberikan bantuan kepada LSM di negaranya. Ujung-ujungnya, bantuan tersebut dipakai untuk menggalang oposisi dalam menjatuhkan rezim yang berkuasa.
Nggak aneh kalo bantuan dari AS melalui berbagai lembaga nirlaba seperti: MacArthur Foundation, Open Society dan berbagai lembaga afiliasi lainnya, langsung dicap sebagai organisasi yang tidak disukai di mata hukum Rusia.
Bukan hanya itu. Siapapun yang terlibat dengan organisasi asing tersebut, siap-siap saja untuk menghadapi hukuman 6 tahun penjara dari negara. (https://www.youtube.com/watch?v=2g5JNKNihg8)
Berikutnya ada China. Negeri Tirai Bambu itu telah lama membuat UU yang mengatur tentang keberadaan LSM luar negeri yang beroperasi di negaranya.
Pada tataran teknis, semua LSM tersebut harus daftar diri dan bersedia mengungkapkan dari mana asal dana yang mereka dapatkan untuk beroperasi. (https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00472336.2021.1955292)
Di India, kasusnya juga sama, dimana pemerintahan Bombay tersebut telah memberikan status red-label pada Ford Foundation (FF) alias masuk dalam daftar pengawasan. Jadi, kalo FF mau kasih bantuan dana, harus melalui persetujuan Mendagri India terlebih dahulu.
Dalam kasus ini, pihak Mendagri bekerjasama dengan Reserve Bank of India untuk memverifikasi data bantuan yang akan disalurkan.
Dengan melakukan skema tersebut, maka pemerintah India bisa memastikan bahwa dana yang berasal dari FF digunakan untuk mendorong kesejahteraan rakyat dan bukannya digunakan untuk mengancam keamanan nasional. (https://timesofindia.indiatimes.com/india/govt-puts-ford-foundation-under-watch-list/articleshow/47032656.cms)
Nggak ketinggalan ada Mesir yang juga menerapkan kebijakan serupa pada LSM lokal yang terkoneksi dengan lembaga hibah dari LN.
Di tahun 2013, pemerintah Mesir menjatuhkan hukuman pada 43 pekerja LSM dan 16 warga AS karena kedapatan melakukan aktivitas ilegal di Mesir yang mendorong penggulingan rezim. (https://www.reuters.com/article/us-egypt-ngos-idUSBRE9530C420130604)
Implikasinya, lembaga nirlaba donor asal AS seperti International Republican Institute (IRI), National Democratic Institute (NDI) dan Freedom House (FH) yang dituding telah melakukan operasi ilegal di Mesir, dan berpotensi mengganggu keamanan nasional, kena status cekal. (https://www.timesofisrael.com/egyptian-court-sentences-international-ngo-workers/)
Pertanyaannya: mengapa negara-negara tersebut bereaksi keras terhadap lembaga non pemerintah asal AS yang katanya memberikan dana hibah untuk amal dan bantuan?
Jawabannya sederhana.
Pemberian itu bukan ‘gratisan’ seperti yang tampak dari luar. Itu adalah bantuan bersyarat yang punya tujuan mengancam kedaulatan negara mereka. Ingat kata sandinya: nggak ada makan siang yang gratis.
Bagaimana mereka mengembangkan modus operasinya?
Pada bagian kedua nanti, kita akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments