“Beberapa hari yang lalu ada acara besar di Monas hadir jutaan orang tapi banyak media di Indonesia tidak melihatnya,” kata Om Wowo di Hotel Grand Sahid, Jakarta (5/12/2018).
“Jutaan hadir tapi media kita tidak melihatnya. Ini aneh bin ajaib. Mereka saya katakan kelompok itu menunggu gue salah ngomong kemudian ‘digoreng’ lagi,” katanya.
Menurut Prabowo mayoritas media enggan memberitakan adanya 11 juta orang berkumpul di Monas dalam reuni 212. Padahal hal tersebut merupakan momentum akbar yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia.
Entah dunia mana? Dunia ghoib, kek nya…
Apa motivasi utama ‘marahnya’ Om Wowo pada media?
Pertama, seperti saya pernah ulas (baca disini), karena bowheer sudah kasih dana buat himpun massa, tapi toh kurang greget hasilnya. Konon melalui aplikasi map developers yang dikembangkan oleh Herbert Jacobs, jumlah kerumunan yang tertangkap jumlahnya hanya sebesar 772.976 orang, paling pol.
Nggak nyampe angka 1 jeti apalagi 11 jutaan. Angka togel darimana, tuh?
Dan para bowheer cukup tahu kondisi di lapang, karenanya ‘menegur’ Prabowo. Karena merasa ‘ditegur’, yah ujung-ujungnya, media mainstream-jugalah yang kena damprat mantan Danjen Kopassus tersebut kemudian.
Kedua, karena ada upaya dari Prabowo untuk mempersepsikan media mainstream sebagai media yang tidak fair dalam pemberitaan. Solusinya perlu diboikot.
Kenapa harus diboikot? Pertama karena Prabowo nggak punya akses media mainstream. Dan kedua, kekuatan utama Prabowo justru bukan di media mainstream baik itu cetak maupun online, tetapi di media sosial.
Ini selaras dengan hasil survei yang pernah dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tepat setahun yang lalu (4/11). Menurut riset tersebut, pada media sosial terpopuler seperti: Facebook, Twitter, Instagram dan Path, Prabowo berhasil unggul atas Jokowi.
“Makanya jangan heran, kalo populasi kampret di medsos, terutama Twitter dan Instagram, sangat banyak jumlahnya dan sangat sulit diberantas,” begitu kata seorang pegiat medsos.
Berdasarkan pada kenyataan ini, Om Wowo mati-matian mau menggeser peran media mainstream ke media sosial yang gak jelas kredibilitasnya. Tujuannya untuk mempengaruhi massa pemilih yang kebingungan untuk kemudian memilihnya digelaran pilpres 2019, nanti.
Seperti yang kita tahu, peran media mainstream selain menyampaikan berita juga berupaya untuk mengedukasi masyarakat lewat konten yang disampaikan. Dengan kata lain, media mainstream sangat diperlukan untu menangkal hoax. Kalo misalnya terbukti menyebarkan hoax, akan ada UU yang menjeratnya. Jadi penyajian berita jelas ada aturannya gak bisa seenak jidat.
Nah kalo media sosial?
Berdasarkan hasil riset 30% informasi yang beredar di media sosial adalah informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya alias hoax. Paling banyak kontribusinya menurut Presdir VIVA Media Group, Anindya Novyan Bakrie adalah melalui aplikasi chatting-an (62,8%) dan situs web abal-abal (34,9%).
Aliasnya ada grand design kubu BOSAN untuk menggembosi peran media mainstream untuk kemudian beramai-ramai beralih hijrah ke media sosial. “Kalo terus-terusan ngandelin media mainstream, pasti boncos.”
Apakah cara ini efektif? Bagi kampret, “sepandai-pandainya cebong berenang, pasti akan cape juga.”
Yang jelas, ditengah lesunya tema-tema kampanye yang diusung oleh TKN Jokowi-Amin, masukkan ini perlu mendapat perhatian serius. Perbaiki sisi kampanye melalui media sosial.
Jangan terlalu jumawa apalagi berpuas diri dalam menghadapi aksi para kampret. Sejarah sudah membuktikan bagaimana pilkada DKI bisa sukses terjadi. Apalagi lawan Pakde kali ini berasal dari sekte Hulai. “Bisa keok lu bongg.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments