Apa yang daya tarik dari seorang Zakir Naik? Retorikanya dalam memberikan dakwah. Setidaknya begitu pendapat mayoritas pemujanya.
Pada salah satu sesi tanya jawab di stasiun TV ARY, seseorang bertanya kepadanya, “Golongan muslim boleh mendirikan masjid dan menyebarkan Islam di negara Kristiani seperti Inggris, tetapi mengapa negara-negara Islam melarang warganya yang memeluk agama lain untuk mendirikan rumah ibadah dan menyebarkan keyakinan mereka?
Dan kurang lebih begini jawabannya: “Sebab hanya pemeluk Islam yang tahu keyakinannya benar. Para penganut agama lain tidak memahami ‘kebenaran religius’ itu. Menyampaikan Islam kepada mereka berarti membimbing mereka ke jalan yang benar.”
Dan orang mulai terpukau pada kemampuannya dalam mengolah kata, plus keahlian mencomot berbagai teks suci sebagai referensi dakwahnya. Walhasil, jadilah Naik sebagai influencer dimana-mana, termasuk di berbagai platform media sosial.
Tercatat ada lebih dari 300 ribu subscriber di kanal Youtube miliknya. Di facebook, akunnya disukai oleh lebih 16 juta orang. Bahkan kanal televisi miliknya – Peace TV – berhasil menjaring 100 juta pemirsa yang berasal dari 125 negara. Angka yang fantastik.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tak salah jika harian India – The Indian Express – mendaulat dirinya sebagai 100 orang India paling berpengaruh di tahun 2009.
Apa yang salah dari seorang Naik?
Konten dakwahnya yang diduga kerap mengandung ujaran kebencian (hate speech). Bahkan pihak India, dimana Naik pernah berstatus sebagai warga negara, menuduhkan pasal berlapis atas dirinya: ujaran kebencian sekaligus kasus pencucian uang yang diduga sebagai bagian terorisme global.
Bahkan pemerintah India mendesak pihak Interpol untuk mengeluarkan Red Notice atas dirinya. Dengan kata lain, Naik harus dideportasi ke India untuk menjalani pengadilan yang dituduhkan atas dirinya.
Tapi Naik mangkir, dengan dalih bahwa pemerintah India nggak akan bisa menyajikan pengadilan yang adil bagi dirinya. Terpaksa, si Naik hijrah ke Malaysia. Bermodalkan kemampuan menarik simpati masyarakat muslim disana, Naik berhasil mendapatkan status Permanent Resident di negeri Jiran tersebut.
Sudah sejak 2016 Naik tinggal di Kondominium di tepi danau di dekat Putrajaya. Sejauh itu masih fine-fine aja.
Sampai kemudian Naik kembali membuat kontroversi di Malaysia. Dalam ceramahnya baru-baru ini, Naik mengatakan umat Hindu Malaysia memiliki hak 100 kali lipat lebih banyak ketimbang minoritas muslim di India. Bukan itu saja, ia juga menyebut orang Tionghoa sebagai ‘tamu’ di Malaysia.
Menanggapi konten ceramahnya yang provokatif, maka beramai-ramailah laporan atas diri Naik meluncur ke pihak yang berwajib Malaysia. Tuduhannya nggak main-main, melanggar pasal 504 UU pidana Malaysia tentang provokasi dan upaya merusak perdamaian.
Bahkan ada yang menyerukan agar sebaiknya Naik dideportasi ke India, agar menghindari provokasi lanjutan yang bakal dilakukannya.
Akibatnya, pemerintah Malaysia melarang Naik untuk berdakwah diberbagai platform media sosial untuk sementara waktu.
Apa benar tuduhan yang dialamatkan ke Naik, bahwa materi dakwahnya merupakan sumber inspirasi atas kegiatan kekerasan dan terorisme?
Adalah Praveen Swami yang menuding bahwa Naik adalah bagian dari infrastruktur ideologis yang mendukung tujuan politik ekstrimis Islam. Dengan kata lain, Naik adalah jembatan penghubung untuk aksi terorisme. Swami sendiri merupakan seorang pakar terorisme yang paling terkemuka di India.
Tudingan ini cukup beralasan, mengingat pemimpin kelompok terorisme National Thowheeth Jama’ath – Moulavi Zahran Hashim – yang pada Minggu Paskah (21/4) lalu berhasil meledakkan 3 gereja dan 3 hotel di Sri Lanka, menyatakan bahwa dirinya terinspirasi atas beberapa konten ceramah Naik.
Mungkinkah seorang teroris mau melakukan aksi terornya jika tidak ada yang memprovokasi?
Sementara itu di belahan bumi yang lain, ada seorang dengan jenis yang sama dengan Naik, namun beda haluan. Milo Yiannopoulos, namanya. Mantan editor senior Breitbart di Inggris yang kini jadi warga AS. Kalo Naik mati-matian membela Islam, nah si Milo justru mati-matian menyerang Islam.
Tak kalah dengan Naik, ceramahnya juga cukup provokatif. Misalnya dia menyatakan bahwa “Tidak ada satupun universitas kelas dunia di dunia Islam.” Atau ungkapan yang lain, “Sebagian orang di Arab Saudi masih tidak percaya orang telah mendarat di bulan, karena mereka menganut prinsip bumi datar.”
Bukan itu saja, bahkan Milo terang-terangan mengatakan, “Apakah ada yang lebih ironis daripada agama yang membenci gay, tapi memerintahkan kaum laki-laki berada dalam satu ruangan yang menunggungi di depan muka satu sama lain hingga lima kali sehari.”
Saya nggak bisa membayangkan gimana nasib Milo jika dia ada di Indonesia?
Berbekal ucapannya yang sangat provokatif tersebut, Milo berhasil mengkapitalisasi dirinya dengan sukses. Di berbagai platform media sosial, dirinya bahkan dianggap sebagai Dewa. Tak sedikit yang mau melakukan apa yang disuruhnya dengan gelap mata. Bahkan ada yang berani mati untuk sekedar membelanya.
Ada kesamaan yang kita bisa tarik dari kasus Naik dan Milo. Keduanya menebar ujaran kebencian guna mendapatkan simpati massa. Dan terbukti sangat efektif. Timbul pertanyaan, jika keduanya terus menerus diberikan ‘panggung’, apa yang akan terjadi kemudian?
Selain itu, ada benang merah antara keduanya, sama-sama mengembangkan industri kebencian sebagai barang dagangannya. Siapa pihak-pihak yang bermain di dalamnya? Dan apa tujuannya?
Saya akan ulas pada tulisan saya berikutnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments